PUISI DAN PERKARA EKSISTENSI

Ibnu Wahyudi *
Media Indonesia, 30 Mar 2014

BUKAN hanya di sini genre puisi memulai kiprah suatu khazanah sastra; tapi juga di banyak negara. Kenyataan seperti ini bukan sesuatu yang mengherankan sebab tradisi lisan, yang tentu mendahului tradisi tulis, erat berkait dengan penciptaan bentuk-bentuk sastra yang dapat dikategorikan sebagai puisi.

Di Indonesia sudah sangat terang benderang bahwa karya puisi telah memulai perjalanan sastra. Entah itu berbentuk misalnya pantun, seloka, talibun, gurindam, atau syair, serta mungkin yang memperlihatkan adanya kecenderungan akrostik, telah menjadi kekayaan sastra yang tidak bernilai. Karya-karya berpola maupun yang ditampilkan dengan gaya akrostik itu, pada galibnya merupakan suatu upaya memudahkan dalam mengingat atau menghafalkannya, di saat teks atau tulisan belum diakrabi sebagai wahana pengetahuan oleh khalayak.

Dalam kaitan dengan apa yang kemudian disebut sebagai “sastra modern” di Indonesia, pemulanya juga sebuah kumpulan puisi, berjudul Boek Saier Oetawa Terseboet Pantoen yang diterbitkan di Batavia oleh Lange & Co, tahun 1857. Memang, dari judulnya, tampak adanya kegamangan ihwal bentuk yang ditulis oleh pengarangnya yang menamakan dirinya Sa-Orang jang Bangsjawan; namun hal itu kiranya sangat wajar. Jangankan di masa ketika kesadaran terminologis masih sangat tipis; bahkan di masa kini pun banyak yang begitu abai dalam soal ketepatan penyebutan seperti ini.

Dengan pengertian lain, sang pemuisi yang bernama Sa-Orang jang Bangsjawan ini tidak harus kita harapkan untuk mampu dengan tegas membedakan antara “syair” dengan “pantun” sementara kita sekarang pun saat ini juga tidak sepenuhnya paham akan makna kata “syair” itu. Sudah barang tentu dewasa ini kita sungguh mafhum bahwa “syair” ternyata tidak selalu dirujukkan kepada bentuk berpola yang terdiri atas empat baris dengan rima /a-a-a-a/ dan setiap barisnya berupa “isi” itu karena banyak sastrawan yang menghasilkan puisi tidak berpola saja juga kita sebut sebagai “penyair”!

Terlepas dari kekurangcermatan kita maupun karena adanya pergeseran atau perkembangan makna kata “syair” tersebut, telah jelas bahwa puisi sesungguhnya memang sangat dekat dalam keseharian kita. Bahwa banyak siswa atau mahasiswa cenderung alergi kepada puisi lantaran konon tidak mudah dimengerti, kenyataan telah membuktikan bahwa puisi telah mengiringi gerak sehari-hari manusia. Tidak sedikit yang menulis dalam catatan hariannya dengan bentuk puisi, dan bukan hal aneh pula iklan di jalan-jalan atau bahkan modus kampanye saat ini yang memanfaatkan puisi. Dengan mudah dapat kita jumpai baliho, poster, maupun kain rentang para calon anggota legislatif itu yang memanfaatkan atau “memperkosa” puisi, utamanya yang berupa pantun.

Demikian pula jika kita ikuti perkembangan atau populasi pemuisi, di depan kita segera akan terpampang deretan penulis baru yang begitu tekun menghasilkan puisi. Padahal, seperti sudah biasa dikemukakan, dari karya yang berupa puisi itu, hanya sedikit atau bahkan hampir tidak ada kekayaan materi yang dapat digapai. Belum lagi dengan sedikitnya media massa yang bersedia menampung puisi dalam halaman atau rubriknya, terasa absurd kiranya bahwa puisi masih ditulis.

Akan tetapi jangan pula dilupakan, seperti pernah dikemukakan oleh seorang guru besar sastra dan pemuisi ternama, bahwa puisi memang mungkin tidak akan memberikan kekayaan materi, namun dari puisi yang kita hasilkan, kita sangat mungkin akan dapat ke mana-mana dan dipandang dengan mata terpana. Bukti sudah menunjukkan hal ini, yaitu sejumlah pemuisi diundang ke mancanegara, bukan karena esai atau karyanya yang berupa prosa atau drama, melainkan karena karya puisinya.

Demikian juga jika kita mau sedikit menelisik, tidak sedikit sastrawan yang telah diberi penghargaan dunia semisal hadiah Nobel Sastra, karena karya-karya puisinya, dan bukan karyanya yang lain. Sekadar contoh, perhatikan nama-nama ini; Rudyard Kipling (Nobel Sastra 1907), William Butler Yeats (Nobel Sastra 1923), T.S. Eliot (Nobel Sastra 1948), Czeslaw Milosz (Nobel Sastra 1980), Seamus Heaney (Nobel Sastra 1995), atau Harold Pinter (Nobel Sastra 2005). Di sini, di Indonesia, tidak jauh berbeda. Tidak sedikit sastrawan yang lebih dikenal dan memperoleh penghargaan lantaran karya puisinya dan bukan karena karya atau prestasinya yang lain. Amir Hamzah, Chairil Anwar, Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi W.M. misalnya, sekadar menyebut beberapa nama, lebih dikenal karena karya-karya puisinya daripada cerpen, esai, atau profesi lainnya.

Itu sebabnya, kendati puisi memang tidak mendatangkan kelimpahan harta, ia tetap ditulis sebab selalu ada persekongkolan antara dimensi emosional dengan intelektual yang intens dan sekaligus subtil dalam sebuah puisi. Namun demikian, jika puisi yang banyak dihasilkan tersebut tidak menemukan ruangan artikulasinya, juga dapat dikatakan akan sia-sia juga. Oleh karena itu, media massa yang bersedia menyediakan ruangan untuk pemuatan puisi secara rutin, pantas diberi acungan ibu jari atau apresiasi tinggi sebab ia telah turut membangun intelektualitas dan peradaban yang berkualitas.

*) Sastrawan, esais, dan pengajar sastra dari Universitas Indonesia.
https://cerpenmediaindonesia.wordpress.com/2014/04/05/esai-puisi-dan-perkara-eksistensi/

Leave a Reply

Bahasa »