RAMADHAN: REESENSIALISASI BUDAYA

Ahmad Kekal Hamdani *

Pada suatu kesempatan berkumpul dalam suatu obrolan di kediaman seorang Kiai, terbukalah suatu percakapan perihal puasa. Salah satu Kiai, sebut saja Kiai Togog berkata: “puasa di bulan Ramadhan itu puasa budaya. Beberapa Kiai yang lain sontak setengah terkaget.

Bagaimana puasa Ramadhan bisa dikatakan puasa budaya? Toh, jelas-jelas puasa Ramadhan berasal dari perintah agama, fadhilah tentang Ramadhan bahkan dapat ditemui di banyak literatur baik yang bersumber dari Al-Qur’an maupun hadist Rasulullah?

Kiai Togog, si pelempar persoalan akhirnya menyambung kembali: “Begini, karena puasa Ramadhan kini bergeser dari banyak hakikat yang sesungguhnya! Banyak orang berpuasa karena hanya mengkhawatirkan soal bagaixar pendapat sementara golongan bahwa budaya itu haram hukumnya! Loh? Kok bisa!

Kita tampaknya mesti kembali pada suatu nilai universalitas Islam. Puasa, pada dasarnya tak hanya berasal dari Islam. Agama-agama lain seperti Yahudi, Nasrani, bahkan Hindu dan Budha juga memiliki suatu ritual ibadah berbentuk puasa. Sama halnya dengan hijab (kerudung) juga berasal dari budaya-budaya sebelumnya seperti Yahudi maupun Nasrani. Meski hal ini tidak lantas mempersama-ratakan antara kesemuanya dalam suatu esensi yang sama.

Kenyataan bahwa kebudayaan tidak bisa ditampik dalam suatu pengejawantahan nilai dan ajaran agama, misalnya dapat kita temui secara langsung dalam kenyataan sehari-hari kita. Dalam bab shalat misalnya, secara legal formal ketentuan agama dalam menutup aurat laki-laki sebatas antara di atas pusar dan menutup lutut.

Tapi apakah bisa kita shalat hanya dengan menutup sebagian tubuh seperti itu? Walau tak keliru dalam fiqh, kita akan mudah dianggap tak waras bila menjadi imam shalat seperti itu. Makanya dibutuhkanlah sarung, kemeja, kopiah dan sebagainya sebagai perwujudan adab lokal yang justru menunjang nilai dan ajaran Islam tersebut.

Sehingga jika kemudian bulan Ramadhan menimbulkan suatu gejala budaya merupakan suatu hal yang tak bisa semena kita tolak. Kenyataan kultural dari keadaan geografis, budaya merantau dan mudik, menelorkan suatu gejala kultural yang tak terelakkan. Kesemuanya itu merambat dalam lokus lain seperti sosial dan ekonomi: meningkatnya laju pasar di saat Ramadhan.

Di sisi lain, Puasa Ramadhan dikatakan sebagai puasa dalam artian puasa budaya merupakan suatu bentuk otokritik. Seperti apapun kenyataan budaya, kita menyadari tak semua budaya tepat dalam suatu konteks ruang dan waktu tertentu.

Islam sebagai suatu “Shirat al-Muataqim” merupakan jalan yang sangatlah luas dimensinya. Ia tak hanya mengatur soal-soal permukaan dan dhahiriyah semata, lebih esensial dari itu, ia mengatur soal-soal batiniah dan lapisan dasar dari eksistensi kehambaan kita.

Puasa Ramadhan dalam hal ini merupakan suatu momentum reesensialisasi dari penghambaan itu sendiri. Untuk kembali menjadi suatu bayi, dalam fitrah dan kebeningan batin. Pada suatu kecondongan dasar bahwa syahadah atasNya dimiliki oleh manusia sejak asal mula: suatu arus siklikal memaknai kekhalifahan manusia dalam hidup.

Sejak zaman Descartes, bahkan mungkin sebelumnya, fikiranlah yang sangat menentukan bahwa segala bentuk keberadaan alam ini mungkin dipahami. Kenyataannya, perkembangan fikiran justru tampak merumitkan persoalan-persoalan sederhana dalam bahasa kompleks yang bertele-tele.

Nilai fitri kultural kemanusiaan kita menjadi terlalu dominan, ketika momentum Ramadhan merupakan momentum di mana kedirian kita justru ditebalkan. Tak jarang, forum silaturrahmi justru beralih rupa menjadi ajang panggung menunjukkan sesukses apa kita ditimbang yang lain dalam hal duniawi.

Nilai fitri natural yang azali, sebagai (sekedar) hamba, sekedar manusia, terpojok ke tepian. Sementara penenkanan nafsu dengan memerangi lapar, dahaga, prasangka dan semacamnya pada dasarnya untuk menekan rasionalitas yang kerapkali melahirkan kebenaran dan kebudayaan semu.

Imam Ghazali menerangkan, dalam hati manusia terdapat suatu misykat, lentera cahaya. Di mana bila lentera ini bersih dari segala bentuk penghalang ia akan memancar dan berkait dengan lapisan cahaya ilahi: nur ala an-nur.

Maka kita dapat mengambil penalaran secara sederhana, bahwa akal dan budi manusia hanyalah lanskap, sebuah peta buta. Jika pancaran hati meredup, maka seluas apapun peta digelar, ia tetaplah berpotensi menjadi sesuatu yang menyesatkan. Tak heran jika kita temukan, perkembangan akal budi di sisi lain keterperosokan patologi sosial juga menajam.

Ramadhan dalam diskusi kita kali ini tentang budaya merupakan suatu pedang bermata dua. Ia di sisi lain mengaskan fungsi dan kenyataan budaya, di sisi lain ia juga meragukan budaya itu sendiri. Menyangsikan hasil budi akal kita, puasa adalah peperangan untuk membaca kembali peta-peta dalam diri (kebudayaan) kita dengan menyulut terus menerus lentera dalam hati, dalam jantung permenungan kebudayaan kita.


*) Pegiat Budaya. Ketua Yayasan Paddhang Bulan Tacempah, Pamekasan, Madura.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *