MEMBACA PROSES KESADARAN MANUSIA

Catatan Kesan atas Kumpulan Cerpen “Bocah Luar Pagar”
Ahmad Syauqi Sumbawi *

Lahirnya sebuah karya sastra, pada umumnya, merepresentasikan proses berkesadaran. Dimulai dengan pembacaan atas hidup dan kehidupan, manusia membuat jarak. Bukan terpisah, tetapi menjadikannya sebagai “medan makna” untuk kemudian hadir dengan kesadaran atas eksistensinya, yang termanifestasikan dalam karya. Karena itu, sebuah karya sastra tidak hanya bermakna, tetapi juga menciptakan ruang bagi tumbuhnya kesadaran pada diri manusia.

Proses di atas merupakan catatan kesan terhadap 17 karya cerpen dalam buku antologi ini. Dari keseluruhannya, tampak “potensi kesadaran” berkelindan dalam ragam gagasan dan kreativitas para penulisnya, terutama berkaitan dengan permasalahan eksistensi diri, absurditas, maupun idealitas vis a vis realitas.

Kesadaran atas Eksistensi Diri

Persoalan eksistensi diungkapkan Arul Chandrana melalui cerpen ”Bocah Luar Pagar”— yang juga menjadi judul buku antologi—, dengan menghadirkan tokoh Amar dalam upaya mewujudkan keberadaan dirinya, yakni sebagai pelajar. Diawali dengan pengungkapan ketidakberdayaan, Arul menempatkan tokoh dalam posisi bertahan. Tidak lari, melainkan berdiri di luar pagar untuk melihat keberadaan diri yang tergambar dalam kehidupan di dalamnya. Ketika mengakrabi kondisi yang “menyiksa” sekaligus merawat harapan inilah, pemahaman atas konsep diri—kepenulisan dan dunia literasi— menjadi dorongan kuat untuk menerobos pagar. Tidak hanya meraih gambaran atas keberadaan diri, tetapi juga mengeskpresikannya, dimana pada gilirannya melahirkan kesadaran baru, yakni keberadaan sebagai penulis. Dari sini, tampak bahwa kesadaran atas eksistensi diri tidak bersifat tunggal, tetapi beragam mengikuti perkembangan seluruh potensi yang dimiliki oleh manusia.

Pada cerpen “Tekad Penulis Muda” karya Agus Buchori, eksistensi diri tidak dipandang sebagai hal yang tiba-tiba, tetapi mensyaratkan adanya proses. Dalam kaitan ini, sebuah target pencapaian dianggap penting sebagai “penanda” yang menghadirkan kesadaran. Selain itu, cerpen ini juga menampilkan entitas lain yang saling mempengaruhi dengan eksistensi diri. Hal inilah yang tersirat dalam tuntutan Gayatri kepada tokoh aku. Tidak hanya sebagai calon suami, tokoh aku juga harus “menjadi sesuatu”, yakni penulis yang keberadaannya ditandai oleh karya—yang dimuat—. Secara umum, cerpen ini memproyeksikan kehidupan para penulis—sastrawan—, dimana karya merupakan penanda atas kehadirannya.

Hubungan dengan keberadaan di luar eksistensi diri, diungkapkan oleh Imamuddin SA. Melalui cerpen “Kiyai Sumeh”, kesalihan dan dimensi supranatural ditampilkan sebagai kondisi yang melahirkan kharisma dan sugesti, dimana pada gilirannya menggerakkan perubahan nilai terkait keberadaan manusia—individu—dalam kehidupan masyarakat. Penambahan sebutan Kiyai kepada tokoh Sumeh merupakan pengakuan terhadap proses kemanusiaan, yang terus berlanjut dengan lahirnya perilaku konkrit masyarakat, yaitu menitipkan anak-anaknya kepada sang Kiyai. Dalam posisinya sebagai reaksi, pengakuan tersebut melahirkan reaksi lain, yakni kehadiran tokoh aku yang berusaha melenyapkan Kiyai Sumeh. Meskipun sebuah “alibi” diciptakan melalui keberadaan dua pemuda suruhan, tetapi keberadaan sebagai pembunuh, menjadi hal yang tidak bisa disembunyikan. Keberadaan ini juga diidentifikasi oleh tujuh orang anak, yang menuntut tokoh aku untuk menghadirkan kembali Kiyai Sumeh dalam kehidupan mereka. Kiyai Sumeh yang menjadi “penanda” atas keberadaan mereka sebagai santri.

Pemahaman atas keberadaan sebagai santri, juga diungkapkan oleh Luluk Dianah dalam cerpen “Gus Fahmi Cairkan Kebekuan Mawar Melatiku”. Dengan latar belakang hubungan antara santri dan Kyai—juga keluarganya—, lahir kesadaran baru pada tokoh aku. Tidak hanya sebagai santri, tokoh aku juga seorang perempuan yang mencintai putra Kyai-nya. Sayangnya, keberadaan sebagai santri menjadi “pagar” bagi perasaan dan harapannya sebagai perempuan. Secara umum, kesan cerpen ini mengarah pada proses “berkah” yang umumnya dibuka dengan kesadaran atas eksistensi diri dan perjuangan nilai-nilai.

Sementara dalam cerpen “Islah Pengabdian”, Jadid El Farisy menampilkan kenangan sebagai entitas yang mempengaruhi keberadaan diri dalam hubungan dengan yang lainnya. Dimulai dari kematian ayah, tokoh aku kemudian hidup di pesantren. Tidak seperti santri yang lain, tokoh aku tinggal di ndalem kyai, mengingat persahabatan antara ayah dan kyai. Di sinilah, hubungan santri dan kyai “tidak mandiri”, tetapi dibalut oleh kenangan seorang ayah. Kemudian setelah Bu Nyai meninggal dunia—pasca 1000 hari—, seluruh hubungan memperlihatkan proses rekonsiliasi, yakni ketika kyai berniat melamar ibu dari tokoh aku. Terkait hal tersebut, sebuah kesan memperlihatkan bahwa segala perbuatan yang didasari oleh niat dan tujuan yang baik, tidak akan merusak hubungan di antara manusia. Bahkan mempererat keberadaannya.

Kenangan sebagai ruang kesadaran manusia, menjadi kesan penting dari cerpen “Mozaik Rindu” karya Pradhini HK. Barangkali, karena berada di wilayah bawah sadar manusia, serta kehadirannya yang mensyaratkan entitas lain, maka wajar jika keberadaannya dianggap utopis. Dalam cerpen ini, foto keluarga merupakan entitas tersebut, yang tidak hanya menghadirkan kenangan pada tokoh aku, tetapi juga menghadirkan kesadaran tentang keberadaan dirinya, yakni seorang anak yang lama tidak bertemu dengan orang tuanya, disebabkan kesibukan sebagai dosen. Demi mendamaikan rasa rindu, maka tokoh aku pun mengubah rencana. Pulang, untuk bertemu dengan keberadaan yang memberi makna keberadaan dirinya sebagai seorang anak.

Kenangan pada cerpen “Berkunjung” karya Fitri Areta, dimunculkan dalam kaitannya dengan kepentingan manusia. Selain itu, berkunjung juga menghadirkan kesadaran terkait keberadaan tokoh aku sebagai sahabat. Dalam posisi dilematis antara persahabatan dan kepentingan, maka wajar jika kegamangan menjadi ekspresi umum dari tokoh aku saat bertemu dengan Rani, sahabat masa kecilnya. Kegamangan yang juga ditangkap oleh Rani. Hal yang menarik dari cerpen ini, adalah posisi dilematis yang dijelaskan di bagian akhir cerpen, yakni ketika map merah dihadirkan. Map merah berisi berkas dokumen yang disiapkan untuk menjadi tanda terima penjualan sawah peninggalan orang tua sahabatnya, yang tampaknya dimaksudkan oleh Fitri sebagai suspens. Dan sebagai pilihan solusinya, kesadaran atas persahabatan yang dijalin secara emosional dan senantiasa tersimpan dalam kenangan, tidak bisa dibandingkan dengan hubungan apapun yang didasarkan pada kepentingan.

Berbeda dengan kenangan yang sudah “jadi” di atas, Haris del Hakim menampilkan peristiwa-peristiwa “potensial” untuk tidak mudah dilupakan dalam kehidupan tokoh saya. Barangkali, hal ini bisa menjadi alasan terkait pemilihan judul “Sang Guru” dalam cerpennya kali ini. Karena itu, wajar jika beberapa peristiwa yang dihadirkan mengarah pada hubungan yang sifatnya personal dan emosional. Hal ini bisa dibaca pada kesan pertemuan pertama dan juga reaksi tokoh saya ketika Sang Guru meninggal dunia. Begitu juga peristiwa di sekitar munculnya dialog-dialog di antara keduanya. Kesan yang tampak dalam cerpen ini, yakni peristiwa di atas tidak hanya tertancap kuat dalam memori, tetapi potensial dalam membentuk diri manusia.

Kesadaran dan Absurditas Manusia

Persoalan terkait absurditas hidup manusia diungkapkan oleh A. Rodhi Murtadho dalam cerpen “Abadi”. Keinginan untuk hidup selama mungkin dengan cara melakukan penindasan dan sebagainya, menyiratkan kehampaan makna atas keberadaan manusia. Hal inilah yang terjadi pada tokoh aku, yang semakin terjerumus dalam absurditas ketika segala peristiwa berjalan menguatkan asumsinya. Karena berpijak pada materialisme, maka tidak heran jika hal tersebut akan sampai pada kondisi kering spiritual, kendati tidak diakui, sebagaimana perbuatan tokoh aku yang lebih merupakan pelarian. Semakin jauh dalam keterasingan, tokoh aku kemudian mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan terkait hidupnya pada sosok Pak Kirman yang mewakili kesadaran spiritualitas. Satu kesan penting yang dapat diungkapkan, bahwa hidup bukan menunda kematian, tapi perjalanan kembali dengan kesadaran atas hidup dan kehidupan.

Kekalahan hidup menjadi kesan penting dalam cerpen berjudul “Bang Mandor” karya Ahmad Zaini, yang diarahkan untuk menghidupkan kesadaran baru dalam setiap perubahan. Di sini, menjadi tua, tampaknya menjadi satu-satunya absurditas yang dihadapi oleh manusia yang cenderung mengandalkan kekuatan fisik. Begitu juga yang terjadi pada tokoh Darmo, yang tidak menyangka bahwa posisi sebagai mandor perusahaan, dirampas dari tangannya. Tentu saja, Darmo tidak percaya dan menggugat. Karena tidak ada kesadaran lain terkait keberadaan dirinya, selain menjadi mandor. Bahkan hingga akhir hidupnya. Kondisi ini yang kemudian mengantarkan Darmo pada keterasingan hidup. Kalaupun ada kesadaran, maka hal itu adalah ketidakberdayaan yang semakin kentara bersama tubuh yang semakin renta.

Keterasingan menjadi kesan yang kuat dalam cerpen “Mukjizat dalam Cerita yang Meragukan” karya Atho’illah. Hal inilah yang melatarbelakangi lahirnya cerita seorang tamu yang datang ke rumah Romo Yai di malam hari yang hujan. Keterasingan hidup yang disebabkan kondisi yang tidak sejalan antara harapan dan kenyataan pada diri Kamidi. Tidak seperti empat orang kyai pengasuh pesantren, Kamidi tidak menemukan makna keberadaan dirinya, selain adanya itu sendiri. Begitu juga cerita membanggakan yang diulang-ulangnya, yang tidak lebih sebagai tempat pelarian bagi kehidupannya yang tidak berarti. Kondisi ini juga yang tampaknya dialami oleh mereka yang melestarikannya secara turun temurun. Lantas, apa kondisi yang mewakili keberadaan orang-orang yang mengetahui kebenaran, namun tetap melestarikan versi bualannya?!

Kondisi absurd ditampilkan Yuana Fatwallah dalam cerpen berjudul “Gelap”, yang menceritakan nonton bareng pertandingan sepakbola di halaman rumah Pak Lurah. Akan tetapi, berbeda dengan cerpen “Bang Mandor”, setiap permasalahan dalam cerpen ini disikapi secara sederhana. Menunggu pertandingan bola dengan bercengkerama bersama tetangga. Menghidupkan televisi tepat pada waktunya, sebagai solusi atas kondisinya yang bermasalah. Juga, tidak ada kekecewaan yang berlebihan ketika televisi tiba-tiba mati di saat pertandingan bola sedang berlangsung. Di sini, absurditas dimaknai sebagai hal yang biasa, sebagaimana tokoh Iqbal yang akrab dengan gelap. Hal yang menjadi kesan dalam cerpen ini, bahwa ketidakcocokan antara harapan dan kenyataan, perlu diakrabi secara sederhana. Dan ini hanya bisa dilakukan ketika kehidupan manusia didasarkan pada nilai-nilai spiritual.

Kesadaran dan Idealitas versus Realitas

Persoalan terkait idealitas dunia kesusastraan diangkat oleh Saiful Anam Assyaibani alam cerpen “Belajar Sastra.” Didorong oleh keinginan untuk mengikuti lomba menulis cerpen, tokoh Aluna memberanikan diri untuk mengadakan percakapan lebih intens dengan tokoh ustadz—yang menjadi narasumber diskusi literasi—. Kehidupan para sastrawan dan karya-karyanya yang merepresentasikan idealitas dunia kesusastraan disajikan oleh tokoh ustadz. Begitu juga pemahaman dalam berkarya, dimana pada gilirannya merubah mindset tokoh Aluna. Pragmatisme untuk mengikuti lomba, berevolusi menjadi proses berkesadaran. Hal yang menarik, sekaligus menjadi suspens cerpen ini adalah hadirnya realitas—yakni permasalahan ekonomi—, yang tampaknya sengaja dimunculkan untuk menjadi ruang-ruang bagi lahirnya kesadaran dalam pembacaannya.

Jika dunia kepenulisan dalam cerpen Saiful menunjuk pada proses kesadaran atas kemanusiaan, cerpen berjudul “Impian” karya Nur Sholihah menghadirkan nilai-nilai yang menjadi dasar orientasinya. Bahwa menulis harus dimaknai sebagai dakwah bil qalam. Pemahaman ini sangat efektif, sebagaimana yang dialami oleh tokoh Firman ketika dihadapkan dengan “realitas yang mengganggu”. Baik permasalahan ekonomi dan asumsi negatif yang diwakili oleh pandangan tokoh ibu, “narasi yang terpenggal” tentang kepenyairan, maupun rasa tidak percaya diri. Dengan pemahaman menulis sebagai bagian dari melaksanakan perintah Allah, maka dapat dikatakan bahwa menulis adalah proses ideologis. Hal positif yang bisa didapatkan, yaitu gairah dan ekspresi akan tersalurkan secara wajar, dimana secara perlahan turut merubah stigma masyarakat terhadap para sastrawan yang akrab dengan “kegilaan”.

Proyeksi idealitas “yang kalah” ketika berhadapan dengan realitas, dalam cerpen “Balada Warung Kopi” karya Nuruddin Zanki, secara spesifik menunjuk pada harapan sosial. Bukan hasil yang menjadi ukuran, tetapi kehendak baik dan usaha maksimal. Dalam pembacaan sederhana, cerpen ini menghadirkan kritik terhadap “kebandelan” manusia ketika berada pada kondisi yang tidak ideal. Keberadaan warung kopi yang hanya menjual kopi, tidak lain merupakan pelarian dari kondisi kekurangan ekonomi pada tokoh Jiwo. Bukan untuk menghadapi kenyataan, warung kopi adalah tempat untuk menghadirkan berbagai dalih atas kekalahan hidup secara sosial.

Posisi saling berhadapan antara idealitas versus realitas dalam kehidupan manusia menjadi kesan paling kuat dari cerpen “Mbok Nem dan Kelulusan” karya Atafras. Keberadaan orang tua yang tidak ditemukan oleh tokoh Claverico, membuatnya yakin bahwa keduanya adalah orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Berbeda dengan tokoh Mbok Nem—orang lain—yang terus mencurahkan kasih sayang kepadanya. Mbok Nem yang selalu membela ibunya, ketika mereka berdebat. Mbok Nem yang terus bekerja, membiayai sekolahnya, meskipun dengan tubuh renta. Kondisi inilah yang menjadikan Mbok Nem digambarkan sebagai sosok yang ideal oleh Claverico. Dan, rahasia pun terbuka. Mbok Nem mengemis untuk memenuhi segala kebutuhan, termasuk biaya sekolah Claverico. Kenyataan ini membuatnya kaget. Idealitas terkait keberadaan Mbok Nem, seketika hancur. Termasuk juga, kelulusannya. Hancur bersama jasad Mbok Nem yang terkubur. Dalam kesendirian bersama kenangan tentang Mbok Nem, Claverico terus berusaha memperjuangkan idealitas. Tidak lagi pada sosok, melainkan pada nilai-nilai.

Kesadaran idealitas terkait identitas diungkapkan oleh Ahad Bee dalam cerpen berjudul “Hujrahku dan Hijabku”. Hal yang digarisbawahi dalam cerpen ini, bahwa menjadi pribadi yang ideal mensyaratkan kehendak yang kuat untuk melakukan perubahan. Namun, hal itu belum cukup, tanpa kesadaran terhadap nilai-nilai religius yang menjadi pijakannya, sebagaimana digambarkan dalam episode tokoh aku yang berada pada posisi dilematis. Karena itu, setiap perubahan untuk menjadi lebih baik harus dimaknai sebagai hijrah. Begitupun dengan berhijab, yang tidak cukup dipandang sebagai upaya menutup aurat jasmaniah, tetapi harus bermakna ketakwaan. Pada tataran yang lebih khusus, berhijab pada hakikatnya adalah menutup segala sesuatu kecuali Dzat-nya.

Ulasan di atas merupakan catatan kesan penulis terhadap 17 cerpen yang terkumpul dalam buku Bocah Luar pagar ini. Karena lebih diarahkan untuk mencari pesan umum dan kategorisasinya, tentunya catatan ini memiliki banyak kekurangan. Juga belum mewadahi seluruh unsur yang terkandung di dalamnya. Sebagai karya yang sudah jadi, maka inilah “Bocah Luar pagar” yang setidaknya dapat diharapkan sebagai ruang-ruang bagi lahirnya kesadaran.

[Tulisan ini disampaikan pada acara Launching dan Bedah buku kumpulan cerpen “Bocah Luar Pagar” , jumat, 5 oktober 2018 di PERPUSTAKAAN DAERAH LAMONGAN]

_________________
*) Ahmad Syauqi Sumbawi, sastrawan kelahiran Lamongan 28 April 1980. Menulis cerpen, puisi, novel, esai, kritik, dll. Sebagian karyanya dipublikasikan di media massa. Puisi-puisinya terkumpul dalam antologi: Dian Sastro For President; End of Trilogy (Insist, 2005), Malam Sastra Surabaya; MALSASA 2005 (FSB, 2005), Absurditas Rindu (2006), Khianat Waktu (DKL, 2006), Laki-Laki Tanpa Nama (DKL, 2007), Gemuruh Ruh (2007), Kabar Debu (DKL, 2008), Tabir Hujan (DKL, 2010), Darah di Bumi Syuhada (2013), Pesan Damai di Hari Jumat (2019), Menenun Rinai Hujan (2019). Dan beberapa cerpennya dapat dibaca pada kumpulan: Sepasang Bekicot Muda (Buku Laela, 2006), Bukit Kalam (DKL, 2015), Di Bawah Naungan Cahaya (Kemenag RI, 2016).
Sementara antologi tunggalnya: Tanpa Syahwat (Cerpen, 2006), Interlude di Remang Malam (Puisi, 2006), dan #2 (SastraNesia, Cerpen 2007). Novel-novelnya yang telah terbit: Dunia Kecil; Panggung & Omong Kosong (2007), Waktu; Di Pesisir Utara (2008), dan “9” (2020). Sedangkan bukunya dalam proses cetak ulang “#2,” dan Limapuluh (kumpulan puisi) segera hadir. Selain menulis, juga berkebun, dan mengelola Rumah Semesta Hikmah, dengan kajian dibidang sastra, agama dan budaya, di dusun Juwet, Doyomulyo, Kembangbahu, Lamongan.

Leave a Reply

Bahasa »