(Lukisan karya Rachman Efendi, dengan judul Semar).
Taufiq Wr. Hidayat *
Tetapi percintaan selalu ingin kekal. Ia menolak usia. Tak ingin dikalahkan kefanaan yang niscaya. Bagai syair manis yang dinyanyikan seorang penyanyi asal Semarang, Jawa Tengah, Daniel Sahuleka, pada 1979.
Don’t sleep away this night my baby
Please stay with me at least ’till dawn
It hurts to know another hour has gone by
And every minute is worthwhile
Begitu katanya. Usah tidur. Lantaran ia ingin ditemani hingga akhir penanda waktu. Alangkah sakitnya membayangkan satu jam saja telah berlalu. Ingin kekal. Tiap menit adalah segalanya, ujarnya.
Tapi manusia selalu tak punya dugaan yang pasti. Segalanya boleh tepat. Segalanya boleh meleset. Dalam kemungkinan itulah sesungguhnya hidup tengah dijalankan. Dan kita menjalaninya dengan kecemasan. Itulah mungkin kenapa harapan itu harus ada. Agar kecemasan menjadi doa, katanya. Jika Daniel Sahuleka tak ingin sedetik pun waktu terlewatkan bersama sang kekasih, betapa sebenarnya cinta yang kekal itu harus sadar terhadap waktu. Ia harus tunduk pada waktu. Atau menyesuaikan diri dengannya.
Iwan Simatupang menulis cerita “Tunggu Aku di Pojok Jalan Itu”. Cerita pendek yang dimuat Majalah Sastra 1/7 1961 ini, mengisahkan seorang suami yang beli rokok pada warung di sana, dan dia meminta sang istri menunggunya di pojok jalan itu.
Tetapi ganjil! Sejak itu, sang suami tak kunjung kembali dari warung, menghilang sampai 10 tahun. Tanpa kabar, tanpa konfirmasi, tanpa apa-apa. Lenyap!
10 tahun kemudian, sang suami datang ke pojok jalan itu, menemui istrinya kembali. Dan sang istri masih tetap menunggu seperti ketika ditinggalkan pada 10 tahun yang lampau, tetap di pojok jalan itu! Benarkah itu kesetiaan?
Sang suami dalam kisah Iwan Simatupang, mencium aroma tak lazim dari tubuh istrinya. Ia menghirup aroma minyak wangi dari tubuh istrinya bukan aroma minyak wangi yang sering diberikan kepada sang istri 10 tahun yang lalu.
Suami-istri yang terpisah 10 tahun lamanya itu bercengkerama, melepas apa saja yang butuh dilepaskan. Keduanya masih seperti dulu. Tapi, ketika sang suami mengajak istrinya tidur, sang istri memasang tarif! Dia bukan lagi “tubuh gratis” bagi suaminya. Dia telah menjadi perempuan malam yang dapat ditiduri siapa saja dengan tarif yang ditentukan oleh penanda waktu. Apakah sang istri bukan perempuan yang setia?
Kisah Iwan Simatupang itu menggedor dada. Banyak hal yang tak singkat diuraikan dalam ungkapan-ungkapan perihal kisah tersebut. Saya menduga, kesetiaan itu omong kosong. Ketika kesetiaan itu tak dirawat dengan tanggungjawab terhadap kehidupan, ia hanya sebuah pengandaian yang absurd. Ia membutuhkan harapan. Juga tanggungjawab yang jujur bagi kehidupan. Lantaran ada kenyataan yang tak selalu mudah. Tetapi yang tak mutlak sukar. Yang fana dan yang kekal senantiasa niscaya dalam kehendak. Yang lahir dan yang batin selalu ingin saling mendahului. Dan manusia memerlukan kearifan. Ialah kearifan untuk saling mengenali dan saling menyelamatkan. Sesuatu yang tak hanya sekadar keinginan dan ucapan-ucapan yang menyesakkan paru-paru kebudayaan.
Jika seseorang merasa telah berbuat baik, kemudian mengklaim surga baginya, sesungguhnya ia telah salah menduga Tuhan. Barangkali lantaran surga memang tak mungkin diraih tanpa harapan. Ialah harapan kepada welas-asih dan rahmat-Nya dengan menciptakan harapan bagi sesama makhluk-Nya dalam kehidupan yang fana. Bukan surga yang kelak yang harus dipertanyakan. Melainkan bagaimana ia menciptakan surga dengan segenap sifat-sifat surgawi dalam dunia yang jenak itu.
Gus Dur pernah mengisahkan perihal kepastian surga dalam salah duga kaum yang merasa hidupnya telah banyak melakukan kebaikan itu.
Kelak di pintu surga, tim panitia penerimaan penghuni surga menyediakan meja panjang sekali. Itulah meja untuk pengisian formulir kelengkapan identitas diri sebelum masuk ke surga.
Di situ para pastur, romo, kiai, ustad, pendeta, biksu, ahli tasawuf, ahli tarekat, ahli dzikir, ahli sembahyang dan semua pemuka atau pengabdi agama yang saleh mengisi formulir. Formulir kelengkapan masuk surga itu repot sekali, harus diisi dengan jelas nama lengkap, alamat, golongan darah, agama, status, pendidikan, dll.
Saat para pemuka agama tengah sibuk mengisi formulir masuk surga, tiba-tiba saja ada seorang pemuda memakai topi di kepalanya yang dibalik ke belakang, tanpa mengisi formulir langsung saja nyelonong masuk surga. Para pemuka dan pengabdi agama yang sudah kerepotan berlama-lama mengisi formulir itu, tentu saja protes.
“Tuan Malaikat, bagaimana itu? Kami bersibuk mengisi formulir, lha dia siapa kok tiba-tiba nyelonong masuk surga seenaknya tanpa ngisi formulir terlebih dahulu?!”
Malaikat ketua panitia penerimaan penghuni surga menjawab.
“Oooh.. Itu ‘kan sopir angkot. Tuhan memberinya prioritas khusus untuk masuk surga. Waktu di dunia, dia ngebut ngejar waktu dan setoran, sehingga para penumpang mendoakan keselamatannya. Sedangkan kalian berkhotbah dan menyampaikan ajaran Tuhan berlama-lama, meliuk-liuk, dan ribet. Sehingga para jama’ah kalian bosan dan diam-diam memaki di dalam hati. Itulah yang menyebabkan kalian tertahan di meja formulir ini. Paham kalian?! Ayo cepat isi formulir itu! Lambat!” kata malaikat menuding. Bahkan malaikat pun jengkel. Tetapi Tuhan tertawa. Dan di situ, entah di mana, ada yang kepingkel-pingkel, badannya terguncang-guncang.
Tembokrejo, 2019
*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab IBlis” (PSBB, 2018), “Agama Para bajingan” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.