Moh. Husen
Radar Banyuwangi, 4 April 2018
“Baca Qur’an jangan “eker-ekeran” (bertengkar). Kalau baca kitab, jangan ketatap-tatap! Nanti malah kepalamu yang saya tatapkan tembok!” ujar Kiai Sutara.
“Ampun, Kiai.”
“Kitab itu bermakna buku atau teks yang terhimpun. Bukan belaka teks. Membaca itu perintah Tuhan. “Iqra'”: bacalah! Berdhamir tunggal, bermakna dengan diri, masing-masing diri. Bukan belaka membaca teks.”
“Tak sekadar membaca teks, pun mendalami teks dan apa-apa yang terangkai yang membentuk sebuah himpunan, baik mikro maupun makro, lokal dan global, unifikasi lokal atau yang berjalin utuh dalam aneka warna yang begitu kaya, dengan berpikir dan berinteraksi untuk saling mengarifi dan saling menyelamatkan. Dan kitab sejati itu, selalu kamu bawa dalam dirimu. Kamu baca sendiri, kamu pelajari sendiri, kamu pikir dan perhitungkan sendiri: iqra’ kitabaka kafa binafsika al-yawma ‘alaika hasiba.”
(Taufiq Wr Hidayat, Kitab Kiai Sutara dalam Serat Kiai Sutara, hal 72)
Belilah buku tebal berjudul Serat Kiai Sutara karya seorang sastrawan dan budayawan Banyuwangi yang tinggal di Muncar, yakni, Taufiq Wr Hidayat. Kini, karena buku tebal itu, Taufiq Wr sering dipanggil teman-temannya sebagai Kiai Sutara.
“Saya kapan hari mampir ke rumah Kiai Sutara,” kata Pejabat Sementara Kabupaten tatkala bertemu saya ngopi pagi menjelang siang di sebuah hotel di utara Banyuwangi. Yang dimaksud Kiai Sutara disitu tak lain dan tak bukan ialah Taufiq Wr itu sendiri.
Disebuah undangan diskusi tertulis namanya sebagai pembicara tunggal Taufiq Wr “Kiai Sutara” Hidayat. Pokoknya kini Taufiq Wr kemana-kemana selalu dipanggil Kiai Sutara. Tentunya itu sebuah bentuk keakraban dan kemesraan Taufiq dengan sahabat-sahabatnya.
Sebenarnya saya ingin iseng-iseng menulis isra’ mi’raj. Bahwa peristiwa isra’ mi’raj Kanjeng Nabi Muhammad SAW yang terjadi di bulan Rajab itu merupakan proses “melampaui dualitas” tatkala sudah tak ada lagi dan lenyaplah dualitas timur dan barat, susah senang, kaya miskin, tinggi rendah, damai dan ruwet, “masjidil haram” dan ” masjidil aqsho” yakni di malam hari: lambang keheningan dan kekosongan, kesadaran “Oh iya Tuhan, saya ini nggak ada, yang ada hanya Engkau, saya mah nggak ada, termasuk masalah-masalah itu nggak ada, kosong”, sehingga fresh bersih segar untuk kemudian diperjalankan oleh-Nya “sebentar semalam” saja.
Kesadaran semacam itu jangan lama-lama. Harus sebentar saja. Semalam itu adalah bahasa lainnya dari sebentar. Kita harus ingat kembali keluarga kita, pasar shubuh kita, termasuk hutang piutang kita. Kalau kita kosong melulu, dianggapnya persoalan ini nggak ada, fatamorgana, apalagi hutang piutang kita anggap lenyap, kosong, hampa alias tak ada apa-apa, termasuk nggak ada hutang, maka gawatlah kita. Bank Kredit bisa ngaplo dan melongo atas kesadaran kosong dan hampa kita tersebut: “Lho pak, hidup ini kosong, saya dan bapak tidak ada. Kosong dan lenyap. Yang ada itu hanya Tuhan. Hutang piutang itu nggak ada.” Gawat.
Tapi tidaklah. Kalau kita terlalu ramai alias banyak omong mengenai isra’ mi’raj, bisa-bisa dituduh orang sebagai tong kosong nyaring bunyinya. Yang sangat nyaring kakehan cangkem ngomongin isra’ mi’raj, berarti dia yang paling kosong alias paling jauh dari mengerti isra’ mi’raj. Wah, ini gawat juga. Jadinya saya mending diam, belagak paling paham isra’ mi’raj.
Juga puisi. Kalau kita rame banget mengomentari sebuah puisi yang mendadak muncul lantas viral di media sosial, lagi-lagi bisa gawat kalau kita justru dianggap sebagai tong yang paling goblok dan kosong, sehingga paling ramai bunyi komentarnya. Gawat. Sangkaan semacam ini gawat.
So, mending menulis singkat mengenai Taufiq Wr Hidayat yang kini lebih sering dipanggil Kiai Sutara, sosok kiai fiksi yang ditulis dalam buku tebalnya oleh Taufiq Wr yang bertugas memisuhi alias “membersihkan” santrinya, yakni Taufiq Wr itu sendiri.
Namanya saja singkat. Ya sudah. Selesai. Jangan komentar, apalagi membatin, dari pada dengan sangat dungu akan saya tuduh: “Anda ini tong kosong nyaring bunyinya ya?”
Banyuwangi, 4 April 2018
https://radarbanyuwangi.jawapos.com/read/2018/04/04/62467/dipanggil-kiai-sutara