(Esai untuk Ulang Tahun Dr Ignas Kleden, 1948-19 Mei-2013)
Gusti Tetiro
I
Saya hampir yakin bahwa ketika kita mendengar atau membaca istilah ‘dunia ketiga’, pikiran kita pertama-tama akan terarah pada istilah untuk menggambarkan negara-negara tertinggal atau yang dalam istilah orde baru: lepas landas. Indonesia dan beberapa negara lainnya pernah disebut sebagai dunia ketiga. Mungkin sampai saat ini dengan istilah lain.
Kadang saya berpikir, jangan-jangan istilah emerging market atau darling investasi untuk Indonesia adalah cara barat (dan kita mesti jujur mengatakan juga China) mengungkapkan atau memberi nama lain Indonesia sebagai dunia ketiga. Kali ini dengan definisi sebagai sarana dan objek investasi Barat (dan China). Hal ini bukan tanpa alasan kalau kita melihat besarnya portofolio investasi barat (dan China) pada sector riil dan pasar modal Indonesia.
Sebagai seorang sarjana filsafat, saya mempunyai cadangan ingatan lain kalau menemukan istilah ‘dunia ketiga’. Saya ingat konsep tiga jenis dunia dari filosof Karl R Popper. Menurut dia, kehidupan manusia dibatasi oleh tiga jenis dunia. Pertama, dunia fisika. Kedua, dunia psikologi dan social. Ketiga, dunia pengetahuan objektif. Dunia ketiga itu sering disebut dunia epistemologis.
Saya tidak pernah secara langsung membaca satupun buku Popper. Perkenalan saya dengan Popper murni hanya melalui komentar-komentar Ignas Kleden atas filosof yang terkenal dengan teori masyarakat terbuka itu. Alasannya? Pertama, saya menyukai cara dan gaya Ignas menafsir dan memahami Popper. Kedua, mungkin untuk mendukung yang pertama, Ignas pernah secara intens mendalami teks-teks Popper ketika menulis tesisnya di Jerman tentang kritik Popper terhadap filsafat sejarah. Ketiga, saya kadang menduga, saya lebih menyukai pemikiran Ignas daripada Popper sendiri. Mungkin karena kami sama-sama orang Flores dan sama-sama mantan frater.
Oke, kita tinggalkan untuk sementara dunia ketiga. Saya ingin mengajak saudara-saudari untuk sedikit mengenal Ignas Kleden. Sebenarnya, saya juga tidak mempunyai hak untuk memperkenalkan Ignas pada kalian. Toh, Ignas sendiri belum mengenal saya secara dekat. Akan tetapi, apa artinya berkenalan secara fisik kalau secara rohani (bukan istilah agama) saya merasa sangat akrab dengan beliau melalui tulisan-tulisannya.
II
Ignasius Nasu Kleden dikenal sebagai penulis esai ilmu social, kebudayaan dan kesusasteraan (bdk. Ignas Kleden, 2004, “Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan. Esai-esai Sastra dan Budaya”, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, p. 497). Lahir di Waibalun, Larantuka, Flores Timur pada 19 Mei 1948.
Ignas mendapat pendidikan di seminari menengah San Dominggo Hokeng, Flores. Kemudian meneruskan studi filsafat dan teologi di STFK Ledalero hingga 1974. Pada 1979, Ignas meneruskan studi filsafat di Hochschule fuer Philosophie di Munchen dan mendapatkan gelar MA Phil dengan tesis berjudul “Poppers Kritik der Geschichtsphilosphie: Untersuchungen zu Motiv und Wert einer Anwendung seiner Falsifikationsfoerderung”.
Pendidikan doctoral ditempuhnya di Universitas Bielefeld, Jerman, dengan meraih DR.rer.soc. (doctor rerum societatis) pada 1995 dengan tulisan berjudul “The Involution of the Involution Thesis: Geertz’s Studies of Indonesia Revisited”. Saat ini, selain sebagai dosen, peneliti dan kesibukan lain, Ignas giat memperkenalkan dan mengedukasi masyarakat dalam kehidupan berdemokrasi melalui komunitas Indonesia untuk demokrasi (KID) yang didirikannya.
Sekilas kembali ke masa lalunya. Ignas adalah seorang anak guru agama. Dia dan saudara-saudarinya hampir pasti menjadi contoh untuk anak-anak kampong lainnya. Majalah Hidup, mungkin masih dengan nama Leven waktu itu, menjadi bacaan mereka yang mewah.
“Kami mesti menunggu pater di paroki selesai baca dulu, baru kami bisa baca itu majalah (Hidup),” kata salah seorang saudarinya saat ulang tahun majalah Hidup dua tahun lalu.
Ketika di Seminari Hokeng, Ignas terkagum-kagum dengan bahasa Latin. Seperti gayung bersambut, di panti pendidikan calon imam itu, bahasa Latin diajarkan 6 jam seminggu. Di sana juga, Ignas menekuni bahasa Inggris dan Jerman. Tentu, tata bahasa Indonesia diajarkan secara tekun di sana. (Anda kenal Gories Keraf, kan? Beliau juga tamatan Seminari Hokeng).
Ignas tidak langsung serta merta ingin menjadi seorang sosiolog waktu itu. Ignas hanya ingin menjadi imam paroki dan tinggal bersama-sama dengan umatnya di tengah kampong di Flores.
Kerennya, permulaan perkenalan Ignas dengan sastra menukik pada karya-karya besar dunia dalam bahasa Latin seperti Julius Caesar, Cicero, Ovidius, Horatius, Augustinus dan Hieronimus. Ignas kemudian membaca Charles Dickens dan lain-lain. Juga, riwayat para negarawan dunia. Cool!!!
Diakuinya, minat pada sastra Indonesia bermula ketika membaca buku HB Jassin berjudul “Kesusasteraan Indonesia dalam Kritik dan Esei”. Mulai saat itu, dia bertanya, “Apa itu kritik dan esai dalam kesusastraan?”.
Ignas mulai berkenalan dengan nama-nama Chairil Anwar, Asrul Sani, Pramoedya Ananta Toer, M Balfas, Idrus, Hamka, Utuy Tatang Sontani, dan lain-lain. Ignas juga berkenalan dengan para jagoan Balai Pustaka seperti Abdul Muis, Nur St Iskandar, Marah Rusli, dan Hamka. Juga penyair seperti STA, Tatengkeng, Sanusi Pane, Amir Hamzah, Rustam Efendi, Muhammad Yamin, dan lain-lain.
Ketika di novisiat, Ignas membaca riwayat hidup para orang kudus. Ignas menerjemahkan The Heroes of God-nya Henri Daniel-Rops dan beberapa karya Thomas Merton seperti Thoughts in Solitude, Seeds of Contemplation dan The Seven Storey Mountain. Judul terakhir adalah biografi riwayat hidup Merton.
Memasuki kuliah filsafat, Ignas menaruh minat pada pemikiran Gabriel Marcel. Dia menulis tentang religi (baca: filsafat agama) untuk sarjana mudanya. Selain itu, dia memberontak secara kreatif ketika mengetahui betapa para dosennya waktu itu mencurigai eksistensialisme. “Terlalu apologetic dan membela habis-habisan posisi Thomisme dalam berhadapan dengan aliran filsafat lainnya,” tulis Ignas (Ibid., p.36)
Sebagai gantinya, dia membaca secara intens psikologi dan sastra. Karya-karya Kretschmer, Freud, dan Allport dikunyahnya secara baik. Hal itu dilanjutkannya ketika menjadi frater TOP, penerjemah dan editor pada penerbit Nusa Indah, Ende.
Setelah TOP, Ignas mengikuti kuliah teologi. Baginya, teologi membiasakan latihan untuk merenung dan kontemplasi sebagai suatu pekerjaan yang dapat dilakukan secara sistematis. Sekalipun teologi berhubungan dengan objek yang tidak terlihat dan tidak selalu terasa dalam kehidupan sehari-hari.
Ignas harus meninggalkan seminari tinggi di bukit sandar matahari itu. Dia membuka jubah rohaniwannya setelah ditegur seorang formator yang melihatnya mengikuti salve tanpa sepatu. Ketika itu, Ignas menggunakan sandal jepit. “Tidak habis pikir, apakah Tuhan lebih menyukai orang yang mengenakan sepatu atau yang berhati murni menghadapNya?,” kira-kira begitu protes Ignas.
Ignas ke Jakarta bekerja di Yayasan Obor yang dipimpin Mochtar Lubis. Dia semakin dekat dengan sumber-sumber dan narasumber-narasumber sastra dan ilmu pengetahuan negeri ini.
Waktu studi di Jerman, Ignas semakin mengagumi cara khas para pengarang dan penulis Jerman. Di negeri itu, tulisan haruslah ada fondasi (gruendlich), “harus ada tiang-tiang penyangga, dinding, lngit-langit dan atap. Berapa banyak tiang yang dapat dibangun dalam sebuah gedung akan sangat tergantung pada berapa kuat fondasinya.”
Ignas mengakui, dia bukan sastrawan karena tidak pernah menulis karya sastra seperti sajak, cerpen atau novel. Dia menulis esai dan studi kecil tentang beberapa sastrawan Indonesia. Dia dekat dengan filsafat dan ilmu pengetahuan dan dapat menghargai masing-masing bidang itu dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing.
“Filsafat adalah disiplin yang penting untuk membuka cakrawala dan memperluas wawasan, tetapi terlalu serebral. Ilmu pengetahuan merupakan disiplin yang memaksa kita untuk tidak terus mengembara, tetapi memilih suatu medan terbatas tempat kita dapat mencoba kemampuan. Namun, ilmu cenderung mengungkung dan membatasi. Sedangkan sastra tidak terlalu berhubungan dengan wawasan dan pengetahuan, tetapi dengan kepercayaan, harapan, dan simpati kepada kehidupan,” jelas Ignas.
O iya, sesuatu yang perlu diketahui di sini,meskipun dikeluarkan dari seminari, Ignas tidak anti Gereja. Dengan lelucon yang jenius, dikatakan: Ledalero adalah panti pendidikan cendekiawan yang sebagian alumninya menjadi imam katolik.
Ignas terus menyumbangkan ide-ide briliannya untuk Gereja. Dengan demikian juga bisa dikatakan di sini untuk perkembangan teologi itu sendiri.
III
Kembali ke istilah ‘dunia ketiga’ kita di atas. Ignas pernah mengatakan dalam catatan kaki sebuah tulisannya, “Nampaknya kalau Indonesia bersungguh-sungguh hendak mengembangkan ilmu pengetahuan maka dunia ketiga ini harus lebih diperkuat menjadi otonom.” Tentu, dunia ketiga yang dimaksud adalah istilah dari Karl R Popper.
Ide Ignas itu dalam rangka penjelasannya tentang relevansi intelektual dan relevansi social pemikiran yang baru akan ditemukan kalau dunia epistemology berpisah dari dunia social. Tuntutan epistemologis itu terjadi ketika buah pikiran seseorang diuji menurut apa adanya dan tidak perlu dikaitkan dengan hal-hal yang tidak ada sangkut pautnya dengan benar-salah pemikirannya seperti status social atau pangkat dan gelar.
Menurut saya, Ignas ingin mengatakan,ide yang teruji jauh lebih mencerahkan dibandingkan perintah mutlak seorang jenderal kepada kopral untuk menembak para tahanan di penjara atau nasihat saleh seorang imam pada umatnya yang belum tentu benar. Ignas sendiri selalu membuka peluang untuk diuji ketika setiap kali menulis bahwa semua kesalahan dalam penulisan esai-esainya adalah tanggung jawabnya sendiri.
Untuk sebuah penafsiran yang lebih luas, ditengah puji-pujian Barat (dan China) kepada Indonesia sebagai emerging market dan darling investasi (bisa dibaca: dunia ketiga?!!!), kita bangsa Indonesia jangan sekali-kali terlena.
Sebagai missal, pujian barat (dan China) tentang keunggulan Indonesia dengan bonus demografis adalah cara meninanabobokan kita, terutama orang-orang muda. Karena, kalau lebih jeli kita bisa melihat bahwa hal itu berarti membengkaknya kaum pekerja dan hukumnya jelas: dimana banyak pencari kerja di situ upah pekerja menjadi kecil.
Kecemasan tentang hal itu bisa dilawan dengan cara menjadi ahli, termasuk ahli ilmu social seperti Ignas Kleden. Ahli tidak identik dengan menjadi spesialis yang meluluh teknis dan melupakan dimensi-dimensi lain dari kehidupan manusia. Bayangkan kalau seseorang yang terlalu berambisi menjadi pembuat bom menghabiskan seluruh harinya di laboratorium tanpa tahu bahwa ada judul novel Harry Potter dari JK Rowling atau ada seorang yang bernama Ahmad Fathanah yang ‘dermawan’ membagi uang kepada perempuan-perempuan cantik. Ini hanya sekedar contoh.
Mengapa saya memilih Ignas Kleden sebagai contoh? Karena, saya merasa tercerahkan dengan ide-idenya yang teruji. Menurut Popper, dunia ketiga adalah dunia epistemologis, oleh karena itu, murni tidaknya tulisan ini, benar-salahnya, harus diuji oleh pembaca sendiri terhadap esai ini. Apakah saya masih berada di dunia kedua dalam mengagumi Ignas? Saya serahkan sepenuhnya untuk dibedah.
Pada akhirnya, saya harus mengakui, saya mengagumi Ignas. Pada ulang tahunnya kali ini, saya ingin melukiskan idola saya ini sebagai seorang yang ber-rumah (homo sapiens) pada ilmu sosial yang menjadi peziarah (homo viator) di gurun filsafat dan secara rutin bertamasya (homo ludens) ke taman sastra. Juga, pribadi yang membuka dirinya pada misteri Ilahi. Karena, dia masih manusia yang benar sekaligus salah. Seorang epistemolog yang juga makhluk social dan budaya.
Selamat Ulang Tahun Pak Ignas. Ad Multos Annos!
Jakarta, 19 Mei 2013
https://www.facebook.com/notes/agustinus-tetiro/dunia-ketiga-esai-untuk-ulang-tahun-dr-ignas-kleden-1948-19-mei-2013/457295181021203/