Joyo Juwoto
Berbicara mengenai sastra Tuban seperti berbicara pada angin yang berhembus, berdialog dengan diri sendiri atau seperti bertanya pada rumput yang bergoyang, hanya simbol dan pralambang-pralambang yang mungkin bisa kita dapati jika kita memaksa untuk terus bertanya dan menelusuri tentang geliat sastra Tuban.
Walau Tuban mungkin telah mengidentifikasikan diri dengan tokoh-tokoh besar sejak zaman Ronggolawe, namun dalam bidang sastra saya belum pernah mendengar nama cucu-cucu Ronggolawe ikut serta mewarnai jagad sastra nasional.
Tuban sebagaimana yang dikatakan oleh Cak Sariban dalam dialog para penulis Tuban di Cafe Nusantara sabtu kemarin (16/12/2017) mengatakan bahwa sastra Tuban tumbuh dalam gerilya. Ini memiliki arti bahwa di Tuban sendiri sebenarnya gerakan sastra sudah ada, hanya saja masih dalam tahapan gerakan senyap alias para sastrawanTuban sedang berada di jalur sepi, atau istilah anak jaman now sedang jomblo tanpa pendamping.
Angin positif tampaknya mulai berhembus, hawa segar mulai terasa, setelah sekian tahun menjadi gerakan senyap sastra Tuban mulai menampakkan identitasnya. Bersama Dewan Kesenian Tuban para penulis yang kemarin berkumpul menyatakan kesiapannya untuk membangun sastra Tuban agar lebih dikenal dunia luar. Setidaknya ini adalah awal yang baik para para gerilyawan sastra Tuban.
Tidak seperti Bojonegoro, Lamongan, dan Gresik, masih menurut Cak Sariban dalam makalah yang beliau sampaikan, bahwa tetangga dekat Kabupaten Tuban bisa maksimal gerak langkah dalam meniti tangga sastra nasional salah satu sebabnya adalah daerah-daerah tersebut memiliki jaringan organisasi formal dan rapi serta memiliki dana yang dibiayai uang pajak rakyat melalui dewan kesenian masing-masing wilayah. Tuban, saya sendiri tidak tahu, apakah ada dana sejenis untuk mengembangkan dan menggerakkan sastra Tuban melalui Dewan Kesenian Tuban (DKT).
Tetapi kita patut catat, Tuban dengan status jomblo akutnya, dengan konsep kemandirian dan gerakan senyapnya bisa bertahan bahkan menggeliat bangkit secara perlahan menuju status jomblo revolusioner dan mulai menunjukkan identitasnya, ini lho penulis Tuban. Perlahan namun pasti nama-nama penulis Tuban mulai mekar dan moncer melalui komunitas-komunitas lokal yang dihidupi oleh energi cinta dan kasih sayang.
Sekarang Tuban bisa dengan pede mengatakan dan menyebutkan nama-nama penulis dengan karya-karyanya yang luar biasa. Selain itu Tuban juga memiliki komunitas-komunitas lokal yang siap membangun jaringan organisasi yang nantinya bisa dikenal di level sastra nasional. Dalam Pertemuan penulis Tuban dalam rangkaian TAF (Tuban Art Festival) di cafe Nusantara menjadi bukti ruh kepenulisan Tuban itu ada.
http://www.joyojuwoto.com/2017/12/gerak-sastra-tuban-kini-dan-masa-depan.html