KOTA KECEMASAN

Taufiq Wr. Hidayat *

Ada puisi yang mengusung diksi atau metafora kesepian, keperihan, dan patah hati. Ada kenangan, wajah-wajah datang, meleleh di permukaan air sungai usia, menghanyutkan sehelai hati manusia ke lautan.

Keperkasaan waktu pada dinihari ditundukkan perempuan-perempuan baya yang membawa sayur-mayur dari tempat-tempat jauh. Mereka datang bagai mengepung kota yang sedang lelap, lengah dalam senyap, bersama beban-beban, bersama kereta, hingga senja. Hingga segala lelah cuma lelucon belaka.

Mereka merayap. Kota-kota pun senja. Dan tetap saja. Mengingatkan puisi Toto Sudarto Bachtiar. Seolah ia hendak menegas, entah sejak zaman apa, kota tak pernah berganti raut muka. Perubahan memang telah terjadi. Bangunan-bangunan semakin megah, ruang-ruang kerja yang bertambah sesak dan saling desak. Tiap-tiap benda, tiap-tiap ruang, dan lampu-lampu berganti diri. Tapi, kecemasan dan pertarungan belum selesai. Dan tidak akan pernah selesai, hingga barangkali Tuhan pun menggelengkan kepala pada debu-debu itu.

Kehidupan sehari-hari,
penghidupan sehari-hari
Antara kuli-kuli berdaki
dan perempuan telanjang mandi

Puisi Toto bagai menginterupsi sejarah yang mengisahkan derita manusia dalam ibukota. Mungkin hanya puisi sanggup melakukan interupsi, memecah kemeluluan, lena waktu. Lantaran kata-kata mengusung belaka maksud dan kehendak praktis manusia, menyesaki budaya dengan sumpah serapah, atau basa-basi palsu dari belantara pergulatan sosial-politik.

Ada kota yang gemerlap, tapi memberat. Ia tak pernah mewakili rasa kehilangan atau bersimpati bagi entah siapa yang tengah patah hati. Derita dan kesibukan yang terus-menerus menciptakan keterasingan, di antara kebusukan kuasa-kuasa dan kesenjangan hidup. Apa yang harus ditunggu selain kelemahan usia, pensiun, tua, dan mati seorang diri. Tak ada yang bersedia mengenang mereka yang tertimbun jauh ke dalam lupa dan budak-budak zaman. Tanpa sejarah, tanpa ingatan, tanpa catatan-catatan.

Menunggu waktu
mengangkut maut

Kecemasan itu, dalam metafora yang muram itu, mengusung pertanyaan yang tak pernah punya jawaban. Toto menginterupsi kenyataan, menegur segala yang belaka sia-sia, seperti mengatakan sesuatu pada diri sendiri di dalam sepi, yang tak kunjung dimengerti, dengan diksi, dengan puisi, dengan apa yang tak mudah diungkapkan dan diuraikan.

Aku tiada tahu apa-apa,
di luar yang sederhana
Nyanyian-nyanyian kesenduan
yang bercanda kesedihan
Menunggu waktu
keteduhan terlanggar di pintu dinihari
Serta keabadian
mimpi-mimpi manusia

Di pintu dinihari itulah, penanda waktu yang begitu lelah begitu fana melungsurkan sunyi yang menyayat hati. Ada keteduhan yang ditegur keadaan, membawa serta mimpi-mimpi yang abadi dari dalam diri manusia. Mimpi-mimpi yang selalu lelap di dalam malam, tapi yang dicampakkan di dalam siang, yang mewarnai sejarah dengan derita keterasingan tiada tara. Wajah-wajah purba meratapi kehilangan, melanjutkan hidup dengan luka sejarah yang membengkak di kepala. Ada diri yang ditukar sepotong roti. Dan pikiran yang dicetak oleh mesin. Manusia berdesakan bagai ternak. Oh alangkah agungnya hidup! Meski lalu menyerah di kaki keangkuhan kuasa yang menindas dengan gagah perkasa, yang tak pernah mau diajak berbicara dalam satu meja.

Tetapi, baiklah. Bukankah semua omong kosong kota telah membisikkan maut, mengisahkan kecemasan, dan sebentuk cermin retak sebuah negeri. Negeri yang semakin hari jauh tersesat di rimba tanda tanya hari-hari yang tak dimengerti, rawan dan bertelanjang dada menyambut dampak yang tak tampak dan tak pernah terduga, negeri yang tak bergairah untuk mengarifi dirinya sendiri. Di situ, di kota-kota itu, orang-orang mengobral nasehat dengan mulut berbusa. Menawarkan obat gatal-gatal, menjual peta jalan ke surga dengan bidadari-bidadarinya.

Pertanyaan-pertanyaan membentur malam, seperti salak anjing jalanan, perihal kehilangan, keganjilan-keganjilan dan tipu daya yang menjadi wajar, dan di manakah jalan keluar di antara kumuh peradaban yang menyalakan lampu-lampu, memasang tanda, rambu, dan ranjau-ranjau? Kemudian di mana kenangan dapat melintas di antara bau busuk mulut kekuasaan dan nabi-nabi palsu, yang memandang manusia cuma kerumunan bagai binatang?

Kota menyimpan kecemasan dalam tubuhnya. Tetapi, ia tak kuasa menyembunyikan keangkuhan sebagaimana ia selalu tak sanggup menyembunyikan para pelacur dan mereka yang terbuang dari jalan-jalannya, sebagaimana pula ia tak sanggup untuk tidak menyembah kepongahan dan perhatian-perhatian palsu dari gedung-gedung kekuasaan.

Di antara tumpukan kertas-kertas tagihan, uang kakus dan pendidikan, pil pegal-linu dan ketertinggalan yang tak kunjung ditemukan. Di antara harga-harga yang bertahta menindas leher kehormatan manusia, dalam korsleting realitas yang tak terselesaikan cukup dengan khotbah dan nasehat-nasehat gombal atau cita-cita politik yang absurd. Tetap ada yang tidak akan pernah ditumbangkan: akal sehat dan nurani kemanusiaan.

Curahpacul, Muncar, 2017
*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab IBlis” (PSBB, 2018), “Agama Para bajingan” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *