Bangsa yang besar ialah bangsa yang bisa menghargai jasa para pelawaknya. Penghargaan itu dapat dilakukan pada peringatan tahunan dalam rangkaian acara Lucubelas Agustus, yang diisi aneka lomba dan karnaval yang memacetkkan jalan raya.
Entah siapa yang telah membuat lelucon itu. Sebuah lelucon tidak terlahir dari kehampaan. Ia mirip puisi. Puisi yang baik tidak tercipta dari ruang hampa atau khayalan manusia, kemudian jadi rangkaian kata-kata klise yang menyesakkan paru-paru kebudayaan. Tapi tercipta dari realitas empiris, pengendapan permenungan mendalam, menggali diksi hingga pada ceruknya yang terjauh. Sampai ke tulang-belulangnya, kata Chairil.
Sigmund Freud yang jelas bukan pelawak, melihat lelucon dalam “Jokes and Their Relation on the Unconcious” mirip mimpi. Seba—lanjut Freud yang tidak dalam rangka berlelucon, lelucon membuka peluang sangat luas munculnya ide-ide terlarang sebagaimana mimpi.
Seperti juga mimpi, lelucon dapat membebaskan daya dan ketegangan melakukan relaksasi diri. Pun wajah tersamar dari sebentuk strategi perlawanan, resistensi pada realitas yang tak terbantah, dan pembangkangan terhadap hegemoni kekuasaan. Tapi lelucon pun kesadaran untuk mengoreksi ketidak-konsistenan dalam logika. Ketaklaziman, paradok, tak masuk akal.
Bayangkan seandainya gedung rakyat runtuh kena gempa bumi saat para wakil rakyat sedang berkumpul di dalamnya. Akibat dari peristiwa heboh dan viral itu ada dua. Pertama; rakyat beruntung lantaran uang negara aman selama para wakil belum ada penggantinya. Kedua; jutaan rakyat dapat terselamatkan.
Tentu itu cuma lelucon! Ada yang irasional di situ. Tapi irasionalitas yang diam-diam diharapkan, bukan? Di situlah paradok Lucubelas Agustus. Di satu bagian dirayakan kemerdekaan, tapi di bagian lain terjadi penjarahan. Dirayakan kebebasan, namun diselenggarakan secara bersamaan sikap gemar mempermasalahkan segala hal yang bukan masalah. Sehingga jangan heran, di negeri yang merdeka ini, masalah selalu muncul ketika tidak ada masalah. Kalau muncul permasalahan, masalah cuma berputar-putar yang itu-itu juga. Ketidak-amanan terjadi di tengah keamanan. Atau kebencian terselenggara di tengah-tengah pergulatan politik yang seharusnya menciptakan kesejahteraan. Orang beragama yang mestinya bersikap damai, justru meledakkan diri dan mengutuk orang lain. Kaum beragama berupaya pula meng-agamakan yang bukan agama. Kata “viral” diganti saja pakai “virol”, supaya tampak religius. Sesuatu yang tak ada diada-adakan. Dan yang ada ditak-ada-tak-adakan. Banyak yang bukan persoalan lalu diolah menjadi persoalan, yang tidak penting dipentingkan, yang penting ditidak-pentingkan. Orang gemar begitu. Sehingga ribut pada persoalan yang bukan persoalan.
Lelucon getir yang, di saat lain, membuat seseorang tidak mengerti harus bagaimana. Untuk bertahan adalah dengan menertawakan, mengecilkan pengaruh keadaan, agar hidup tetap waras.
Tapi percayalah pada Gus Dur. Menurut Gus Dur, para pemimpin bangsa ini tidak perlu diragukan kehebatan otaknya. Sebagaimana diungkapkan para pakar, tiap manusia memiliki dua otak. Yakni otak kiri dan otak kanan. Menurut pakar, otak kiri para pemimpin negeri ini cukup besar. Otak kanannya pun besar. Ini merupakan keuntungan yang besar. Nah celaka besarnya, kedua otak yang sama-sama besar itu sering tidak nyambung! Ditanya mana arah barat, jawabnya: “pisang goreng”. Ditanya pisang goreng, jawabnya: “ke barat saja!”
Dapat dibayangkan, betapa sabarnya rakyat negeri menghadapi ketidak-nyambungan—bahkan kesalahan sambung , kedua otak dari pemimpin-pemimpinnya. Cukup sabar. Sehingga di mana-mana orang tetap bekerja, tidak mengumpulkan bensin untuk membakar kasur. Dalam rangka menghadapi dampak dari ketololan kedua otak pemimpin yang gagal sambung atau salah sambung itu, rakyat membuat propaganda ampuh dan “virol”: “ngopi dulu biar gak edan!”
Orang pun getir. Tapi ada humor yang cerdas. Humor yang dapat mencerdaskan. Sampai di sini, keganjilan terjadi. Menganggap rakyat dapat cerdas karena humor atau mencerdaskan bangsa dengan lelucon jelas tidak wajar! Kalau ingin cerdas, orang perlu belajar. Bukan berhumor. Alangkah pintas pikiran zaman!
Sama halnya orang mengira wajah pahlawan itu lucu. Dan menganggap wajah pelawak adalah pahlawan yang berhasil memerdekakan ketegangan hidup sehari-hari. Itulah kenyataan. Terbukti para wakil rakyat atau pemimpin-pemimpin negeri yang seharusnya menjadi pahlawan, justru memerankan diri sebagai pelawak di gedung-gedung negara, di panggung-panggung publik, dan dalam kehidupan sehari-hari. Untung ada pelawak yang—meskipun tidak cerdas dan gemar menampilkan lelucon-lelucon rendah, terus-menerus melepaskan ketegangan terhadap ulah para pahlawan yang menjadi pemimpin-pemimpin pelawak.
Ada yang tertawa sampai terbatuk-batuk. Untuk itu, ia meminum sirup obat batuk. Setelah mengonsumsi sirup obat batuk, seorang wakil rakyat marah-marah dan tidak mau meminum sirup obat batuk lagi. Itu karena di botol sirup obat batuk tertera peringatan: “Botol harap ditutup dengan rapat”. Wakil kita protes; “Masak menutup botol saja harus rapat? Terlalu birokratis dan tidak efisien!”
Muncar, 2019
*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab IBlis” (PSBB, 2018), “Agama Para bajingan” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.