Ternyata, menulis bisa digunakan untuk apa saja. Saat hadir di Majelis Halaqah Quraniyah Akbar di Asrama Hidayatul Quran PP Darul Ulum Rejoso, Sabtu (21/10), sastrawan Dr Aguk Irawan MN menjelaskan alasannya pertama kali menulis. “Saya menulis untuk membaca,” paparnya.
Aguk kemudian bercerita bahwa saat mondok di Langitan merasa sangat bosan dengan banyaknya pelajaran menghafal. Kebosanan itu membuatnya sulit menghafal. “Imriti saja saya tidak hafal sampai tuntas.”
Di tengah kebosanan itulah dia secara tidak sengaja menemukan novel karya Buya Hamka dan Pramoedya Ananta Toer. “Saya menemukan gairah kembali ketika membaca karya sastra,” ungkapnya. Padahal saat itu, buku-buku karya sastra sangat jarang di pesantren.
Ketika melanjutkan kuliah di Al Azhar Mesir, dia kembali bertemu pelajaran-pelajaran menghafal yang membosankan. Dia pun kembali mencari pelampiasan dengan membaca buku-buku sastra. “Agar semakin semangat membaca, akhirnya saya putuskan menulis,” tuturnya. Jadi saya ini menulis untuk membaca, lanjutnya.
Sebab jika tidak membaca, dia tidak punya inspirasi untuk ditulis. Dia pun akhirnya memutuskan menerjemahkan karya-karya sastra dalam Bahasa Arab ke dalam Bahasa Indonesia. Ini membuatnya semakin menguasai Bahasa Arab. Juga semakin banyak inspirasi. “Saya bela-belani buka-buka kamus dan tanya kesana kemari,” paparnya.
Sampai sekarang, Aguk sepertinya keranjingan membaca. Novel-novelnya banyak mencantumkan data dan referensi. “Asal ada data, nulis novel biografi siapapun saya bisa,” ucapnya saat jagongan usai halaqah di rumah Dr KH Afifuddin Dimyati, pengasuh Asrama Hidayatul Quran.
Setahu saya, dia sudah menulis tiga biografi yang sangat bagus. Sang Penakluk Badai yakni biografi KH Hasyim Asy’ari yang segera difilmkan. Juga ada novel biografi KH Abdul Wahid Hasyim. Novel biografi Gus Dur-nya sempat dibedah saat pameran pada Muktamar NU 2015 di Tebuireng. Kala itu yang jadi pembanding, seniornya di Al Azhar yang juga penulis produktif, Zuhairi Misrawi.
Aguk juga sudah menulis novel kisah cinta Gus Dur dan Ibu Sinta Nuriyah. Judulnya Buku, Bunga dan Cinta. Gus Dur rupanya sangat romantis. Sering mengirimkan bunga kepada Bu Sinta. Bunga itu diselipkan dalam buku. Baik saat mondok di Tambakberas maupun setelah tinggal di Mesir, Irak dan Eropa. Saat di Tambakberas, bunga itu diselipkan dalam kitab kuning. Sampai saat ini, bunga-bunga itu masih disimpan dengan rapi oleh Bu Sinta.
Sampai di sini saya membatin, berarti orang-orang besar itu memang romantis. Presiden Soekarno kan sangat terkenal romantisnya. Dalam kitab Fathul Izar disebutkan, tidak akan memuliakan perempuan kecuali orang-orang mulia. Tidak akan menghinakan perempuan kecuali orang-orang yang hina.
“Novel kisah cinta Gus Dur dan Bu Sinta ini sudah saya tulis dan dicetak, namun dilarang beredar,” kenang Aguk sedih. Setelah dicetak, Bu Sinta bermimpi berulangkali dimarahi Gus Dur. Bunga yang diberikan kok ditaruh di halaman. Mimpi itu ditafsirkan sebagai larangan mengedarkan buku tersebut. Akhirnya, semua buku dibeli sendiri oleh Bu Sinta dan tidak diedarkan.
Manfaat Menulis
Aguk cerita, dia memasukkan banyak hikmah dari kitab Alhikam ke dalam novel-novel yang ditulisnya. Harapannya, pembaca bisa menangkap pesan hikmah tersebut setelah membaca. Aguk lalu mengutip Imam Suyuti yang telah menulis setidaknya 700 kitab. Imam Suyuti mengatakan, dia khawatir di akhirat nanti tak ada satupun yang membelanya. Makanya dia terus menulis dengan harapan setiap huruf yang ditulis kelak menjadi pembelanya di akhirat.
Menulis bagi Aguk juga merupakan cara bertahan hidup. “Demi sesuap nasi,” ucapnya dengan nada bercanda. Salah satu novelnya ada yang telah dikontrak production house untuk difilmkan senilai Rp 600 juta. Ada juga yang Rp 500 juta. “Yang Rp 500 juta ini tidak saya pakai sama sekali. Saya gunakan membangun pondok di rumah,” akunya.
Aguk sangat produktif menulis. Dalam waktu seminggu dia bisa menyelesaikan novel 800 halaman. Novel 300 halaman bisa dia selesaikan dua hari. Kuncinya, dia menyediakan waktu khusus menulis. “Biasanya pukul 05.00-08.00 sudah dapat 30 halaman.”
Setelah membaca dua jam, dia biasanya bisa menulis satu jam. “Kadang juga membaca tiga jam, menulis empat jam,” ungkapnya. Jadi kalau menulis tetap didampingi buku bacaan. Pernah suatu ketika, dia bosan ikut seminar. Akhirnya, waktu lima hari seminar lebih banyak dia habiskan di kamar untuk menulis. “’Lumayan dapat satu buku.” Selain di komputer atau laptop, dia juga menulis di HP.
Menurutnya, apapun bisa menjadi bahan tulisan. Termasuk kisah yang dialami temannya. Dia sempat membuat novel yang mengangkat kisah temannya sesama mahasiswa Al Azhar. Temannya ini sangat cinta mati dengan seorang perempuan. Saking gendengnya, ketika takbir shalat, dia menyebut nama gadis tersebut.
Begitu novel itu beredar, suami si perempuan itu mendatanginya. Karena kebetulan juga sama-sama kuliah di Mesir. Si suami ini paham jika yang ditulis itu kisah yang melibatkan istrinya. Walaupun nama-namanya disamarkan. Si suami itu lantas memborong novel tersebut. “Saya cetak lagi,” ucap Aguk lantas tertawa.
Dari novel-novel yang ditulis Aguk, banyak orang yang disebutkannya terinspirasi. Contohnya novel Haji Back Packer yang mengisahkan seseorang yang bertobat dari berbagai maksiat dengan cara mengikuti mimpinya berangkat haji jalan kaki lewat jalur darat tanpa bekal. “Hamim anak Pekalongan meniru perjalanannya dan benar-benar sampai di Mekkah dalam waktu satu tahun dua bulan,” paparnya. Rute-rute yang dilalui tokoh dalam novel itu memang berdasarkan hasil analisis peta yang melibatkan tim. Jadi benar-benar akurat dan bisa ditiru.
Dari novel Air Mata Surga, kata Aguk, ada ratusan pembaca yang mengirimkan email kepadanya menghaturkan terima kasih. Setelah membaca novel itu, dia tidak jadi bercerai. “Ada juga yang terima kasih karena tidak jadi poligami,” paparnya.
Apa yang dikatakan Aguk bisa jadi memang benar. Malam itu, Aguk membawa empat judul novelnya dan saya membeli seluruhnya. Setelah membaca novel kisah TKW di Arab, saya langsung berdoa, semoga keluarga dan keturunan saya serta semua orang Islam tidak ada yang menjadi TKW di Arab.
Namun sayang, novel yang berjudul Air Mata Surga malam itu tidak ada. Padahal istri saya, paling senang kalau saya baca novel yang kesimpulannya kalau bisa jangan poligami, hehe.
https://pwnujatim.or.id/menulis-untuk-apa-saja-belajar-dari-aguk-irawan/