Dr. H. Sutejo, M.Hum. *
Selalu, setiap kali datang bulan Agustus kita merayakan kemerdekaan dengan berbagai rupa. Yang paling banyak, merayakannya dengan “eforia yang tanpa makna” –untuk tidak menyebutnya bukan hakikatnya–, yakni berupa permainan-permainan dan perayaan yang lebih mengarah pada “hiburan”. Bukan mementingkan urgen substansinya, ngelaras pesan para founding father.
Khususnya apa, bagaimana, dan mengapa Soekarno-Hatta misalnya, memiliki kekuatan brilian sehingga mampu mengantarkan persalinan bangsa besar bernama Indonesia. Bangsa Jepang contohnya, selalu merayakan “duka Hiroshima” untuk memantik dendam di satu sisi dan pada sisi lain untuk mengobarkan nasionalisme “melawan” bangsa yang lain. Sekutu telah menjadi “api dendam positif” bangsa Jepang yang terus menyala-nyala.
Bulan Agustus mestinya mengingatkan kita untuk terus belajar kepada sejarah. “Jangan melupakan sejarah,” kata Sukarno. Ya, sejarah sebuah bangsa untuk menjadi dinamo besar dalam bergerak. Begitu banyak orang khilaf, –paling tidak memandang sederhana perjuangan pahlawan—Dan, Sukarno adalah seorang pahlawan, proklamator, dan inspirator besar bangsa Indonesa. Kali ini, mari merenungkan sejenak beberapa pesan beliau untuk modal bekerja, belajar, “berbakti” kepada kehidupan, dan untuk mengisi kemerdekaan.
Suatu waktu, Sukarno bilang, “Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda niscaya akan kuguncangkan dunia.” Apa maknanya? Sebuah metafora dahsyat! 1000 orang tua, kata Sukarno, bisa mencabut akar Semeru. Semeru sendiri adalah sebuah gunung berapi kerucut di Jawa Timur, Indonesia. Gunung Semeru merupakan gunung tertinggi di Pulau Jawa, dengan puncaknya Mahameru, 3.676 meter dari permukaan laut. Meletus terakhir pada tahun 2015 dan terletak di kabupaten Malang dan Lumajang. Sementara, hanya dengan 10 orang pemuda, janji Sukarno, akan mampu mengguncang dunia. Kala itu, mungkin, “revolusi kepemudaan” didorong untuk merebut kemerdekaan dan mengisi di awal kemerdekaan. Sekarang, 10 pemuda kreatif dan inovatif seperti perintis Go-Jek, Bukalapak, Tokopedia; dan seterusnya dipastikan akan menggonjangkan dunia, itu akan sangat nyata ke depan.
Menjadi pemuda dengan demikian, pesan Sukarno mengisyaratkan mental petarung, kreatif, inovatif, tanpa kenal menyerah, dan –tentu bermental revolusioner–. Indonesia, di usianya yang ke-74 ini, tentu sangat membutuhkan pemuda demikian. Sosok pengubah kehidupan dan peradaban untuk mampu bersaing dan kancah nasional dan internasional. Bukan pemuda pencari kerja tetapi pencipta lapangan kerja. Bukan penunggu tetapi pelaku perubahan. Pemuda pekerja keras dan petarung di segala bidang bukan terlibas dalam konsumsi teknologi-digital sehingga menjadi ampas-ampas zaman; pemuda-pemuda sial, bermental opurtunis dan pengecut kepada bangsanya. Pemuda-pemuda pemburu birahi tanpa kreasi. Korban-korban semu peradaban kehidupan baru! Tentu, bukan inilah yang diimpikan Sukarno. Realitas pemuda mutakhir, jika kita mau berselancar di media sosial dan maya, –termasuk you tube—ironi dan paradoks tentang realitas pemuda itu sungguh memprihatinkan. Apalagi, berita-berita “abnormalitas”-nya hampir memenuhi halaman kehidupan sehari-hari.
***
Dalam era disrupsi sekarang, yang dibutuhkan adalah manusia pemikir (jernih-logis) yang terus mau belajar. Pesan Sukarno berikut menarik direnungkan. “Belajar tanpa berpikir itu tidaklah berguna, tapi berpikir tanpa belajar itu sangatlah berbahaya!” Begitu banyak mereka yang hanya berpikir tetapi tidak mau belajar. Belajar yang hakiki untuk melakukan perubahan dan mendapatkan kemenangan. Bukan korban-korban kehidupan, yang semakin terkilir tanpa jernih pikir. Maka, berpikir untuk belajar tentu adalah pesan filosofis agar sebagai bangsa kita memiliki harga diri tinggi, mampu berkompetisi, siap belajar dari kekalahan-kesalahan, dan mampu berdiri rendah ketika menjadi pemenang.
Menjadi pembelajar sejati kata Sukarno, adalah mereka yang mau dan senantiasa belajar dari para pahlawan. Apa, bagaimana, dan mengapa penghormatan dengan kata “pahlawan” dilekatkan. “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya.” Begitulah pesan Sukarno. Jika para pahlawan menyediakan darah, pikiran, tenaga, jiwa, dan raganya untuk bangsa; lalu di manakah kita mampu meletakkan jiwa pembelajar di tengah pijar pesona aura kepahlawanan itu? Mengisi kemerdekaan dengan menyadari harga diri untuk tidak terus diperbudak oleh bangsa lain mungkin adalah yang pertama-tama. Itulah, yang sejak dulu digaungkan Sukarno. Bagaimana agar kita memiliki jiwa “kematian” (berkalang tanah) daripada hidup dijajah oleh bangsa lain.
Penjajahan dalam konteks mutakhir, tentu berbeda dengan penjajahan tempo dulu. Penjajahan intelektual contohnya, kini massif terjadi di kalangan ilmuwan perguruan tinggi (PT) dengan begitu tunduk dan membungkuk-bungkuk pada “tuhan Scopus”. Padahal ia, sebuah “mesin yang tak bernyawa”, yang tak “memberikan” apa-apa bagi kehidupan luas. Masyarakat awam tak kenal Scopus, mereka mengenal tulisan dan buku yang menyadarkan, menggerakkan, dan mampu mengubah cakrawala pemikiran untuk keadaban. Scopus tak memberikan ruang keadaban, tetapi tunduk pada mesin-mesin pengiring semacam Mendeley sebagai alat penjebaknya. Jejaring jurnal internasional yang melahirkan broker-broker jurnal. Kritik Budi Darma dalam opininya berjudul Jebakan Rogue Journals, dituliskannya begini, “Kalau ada permintaan, pasti ada persediaan. Itulah adagium ekonomi yang paling utama. Ada keinginan untuk masuk Scopus, apalagi diimingi dengan berbagai kemudahan, antara lain lewat seminar internasional. Itulah demand, pasti ada supply, yaitu pihak-pihak penyedia. Maka orang-orang nakal pun berkelebatan sebagai ujung tombak dari rogue journals.”
Membangun kepercayaan diri sebuah bangsa bukan perkara mudah. Di sinilah, maka Sukarno pernah berpesan: “Bangsa yang tidak percaya kepada kekuatan dirinya sebagai suatu bangsa, tidak dapat berdiri sebagai suatu bangsa yang merdeka.” Bukankah hakikat pendidikan itu memerdekakan dan memandirikan? Tetapi, mengapa kita semakin terdidik semakin tidak mandiri? Guyonan tentang pentingnya rektor asing adalah sebuah kecelakaan paling dramatis dalam sejarah membangun kepercayaan diri bangsa. Bangsa Indonesia adalah bangsa besar dengan perabadan besar, mengapa kemudian berubah menjadi mental tempe? Budaya instan itu cermin mental tempe. Budaya instan adalah produk mentalitas yang tidak memiliki kepercayaan diri, dan itu wajib dilawan dengan pemikiran dan perbuatan nyata untuk memulihkannya kembali. Penjajahan harus dihapuskan di atas “dunia” Indonesia!
Bagaimanapun kita wajib memiliki kepercayaan diri. Di bulan kemerdekaan ini, kita penting merefleksikan kembali: masih adakah kemerdekaan itu? Kita takut berbeda dari kecenderungan umum, indeks pemeringkatan PT misalnya, semua PT berbondong-bondong mengejar peringkat, sementara tak ada yang berani mencari cara sendiri untuk melawan pemeringkatan penjajahan intelektual itu. Ingat pesan Sukarno: “Bebek berjalan berbondong-bondong, akan tetapi burung elang terbang sendirian.” Menjadi “elang kehidupan” mutakhir sungguh berat, apalagi “menjadi elang perguruan tinggi” sangat berat. Indikator keterwakilan mahasiswa asing, publikasi Scopus berikut sitasinya adalah “godaan” dagelan gaya Belanda yang dirancang jauh waktu untuk memenangkan pertarungan “combe-combe” penulisan jurnal ilmiah dunia.
Mari belajar menjadi insan terdidik, intelektual kampus –yang bukan bebek-bebek intelektual—tetapi pemikir dan perentas perubahan pendidikan. Ingat, pendidikan –terlebih perguruan tinggi—wajib menyadari titik tolak keberangkatan pendidikan sehingga penting menentukan peta jalan untuk dilalui sehingga tidak menyesatkan. Dengan gaya bahasa eufimisme, marilah mencontoh kerendahan Ki Hajar Dewantara yang pernah berpesan begini: “Taman siswa menurunkan mutu pengajaran dan membawa kita kembali sepuluh tahun ke belakang! Memang kita harus kembali beberapa puluh tahun, kita amat mengingini untuk menemukan ‘titik tolak’ agar kita dapat berorientasi kembali: kita telah salah jalan.”
***
*) Sutejo adalah Ketua STKIP PGRI Ponorogo, Ketua Litbang PCNU Ponorogo, Anggota Dewan Pakar PC ISNU Ponorogo, Ketua Bidang Pengembangan SDM PGRI kabupaten Ponorogo, Anggota Dewan Pakar PW LTNU Jawa Timur.
https://www.stkippgriponorogo.ac.id/2019/08/nglaras-nasionalisme-sukarno/