YANG TERTAWA


Taufiq Wr. Hidayat *

Bagi yang kaku dalam beragama, akan tampak alergi pada lelucon. Lantaran ia mengedepankan tradisi dan keharusan. Ia tidak yakin dan selalu meragukan pikiran atau perbuatan yang spontan, ambigu, atau sesuatu “yang lain” secara nyeleneh. Agama yang melembaga, yang dipagari secara ketat oleh keharusan hukum dan aturan, tak pernah bisa menyambut baik guyonan, sesuatu yang dianggap tidak serius. Ia dijaga iman yang berwajah sangar, bagai satpam supermarket yang mengawasi dengan kecurigaan tiap orang berbelanja.

Humor dan kejenakaan menghancurkan bangunan struktur yang melembaga dalam agama itu. Sehingga humor hanya dianggap sikap yang lalai. Membuat orang melupakan Tuhan. Dan melihat aturan agama yang adalah segala-galanya itu dengan enteng. Atau yang terkesan diringankan. Agama harus menghindari humor dan pikiran-pikiran kritis, supaya agama (yang melembaga itu) kokoh dengan kewibawaannya menertibkan dan menghakimi masyarakat, berkuasa atas kebebasan manusia.

Agaknya agama yang berwatak melembaga itu, menjadi cara pandang mereka yang memang berwatak kaku. Bercanda itu dosa! Lantaran canda dapat merusak pandangan orang terhadap tatanan demi tatanan yang dipastikan dan diniscayakan dalam agama. Dalam lawakan umpama, seorang pembantu dapat bergurau dan duduk sejajar dengan tuannya.

Sehingga tidak heran, orang-orang yang taat beragama secara gawat tak pernah bisa bercanda dan tertawa dengan bebas. Menghina, mengolok-olok, memandang rendah orang lain yang tak sejalan adalah cara kebakhilan tertawa. Tertawa yang congkak merendahkan. Merasa paling suci dan benar, sehingga ia melihat semua orang yang tak sejalan harus digurui dan ditunjukkan ke jalan yang penuh hidayah. Bukan yang mengkritik dan membebaskan keadaan. Di tangan mereka, Tuhan sangat keras dan membenci yang di luar agama atau konsepsi keimanan tertentu. Mengkapling surga dengan sejuta persyaratan tak masuk akal, bahkan mustahil. Orang pun mengejar laki-laki atau perempuan surga dalam doktrin agama. Padahal perempuan dan lelaki dunia lebih nyata. Tinggal santap saja. Sedangkan perempuan surga di dalam pikiran agama yang melembaga dengan ketentuan pasti itu, tak lain serupa perempuan dunia belaka, hanya dibubuhi lebih cantik lagi, lebih hebat lagi, lebih seksi lagi, sampai berkali-kali lipat sebatas ukuran sahwat dan kekuasaan jenis kelamin.

Pengertian Tuhan maha-tertawa (sebagaimana diabadikan dalam teks suci), sesungguhnya mengajarkan nilai ketundukan yang cair. Lentur. Dan penuh dengan kemungkinan dan ketakterdugaan dalam kehidupan. Dengan demikian, orang dapat bersikap dan berpikir kritis mengarifi agamanya sebagai ajaran yang membebaskan serta memudahkan hidup yang diniscayai ketaksempurnaan. Tak belaka kelembagaan yang menegakkan dirinya dengan struktur yang paten dan tak dapat diotak-atik oleh suatu konteks dan peristiwa, membatasi kebebasan berpikir dan menggali ilmu sebagai alat menemukan kearifan sebagaimana yang diinginkan ajaran agama itu sendiri. Dalam kekakuan beragama, tak ada peluang sedikit pun bagi manusia. Hanya Tuhan maha-kuasa, kemahakuasaannya itu lalu diterjemahkan dalam aturan iman yang dipraksiskan pada sebentuk sistem yang harus berada di atas segala-galanya, maha-menindak dengan tanpa toleransi dan kelonggaran. Bukankah hal itu sejatinya telah mengkufuri kemaha-pengampunan Tuhan?

Bagi Adonis, seorang sastrawan Arab modern yang mashur, dalam buku “al-Huwiyyah Ghairu al-Muktamilah”, Tuhan berada dalam segalanya. Tetapi sekaligus melampaui segalanya. Pun segala yang tak pernah dimengerti. Dia mustahil tak berdaya dalam doktrin suatu agama. Meski Dia pun bisa berada di dalamnya. Dia adalah diri-Nya sendiri. Ketika Allah yang dikecilkan dalam sebuah konsepsi manusia belaka, kemudian menjadi satu definisi yang baku, harus, dan pasti, maka dunia ini—dalam konsepsi keberimanan yang bakhil/eksklusif itu—dipandang secara serupa dengan konseptualisasi yang baku tersebut. Benturan tak terhindarkan. Karena di luar konsepsinya, berarti kafir dan murtad.

Dalam “al-Huwiyyah Ghairu al-Muktamilah”, Adonis mengisahkan sebuah anekdot. Sahdan Ratu Bulqis yang memesona jatuh cinta dan bersedia menerima lamaran Nabi Sulaiman bukan lantaran kekuasaan. Karena barangkali baginya, kekuasaan akan menjelma penindasan dan penguasaan. Pemerasan dan kejahatan. Tatkala kekuasaan atau kekayaan itu tak dilandasi pengertian yang halus dan memelihara yang hanya dapat dicapai oleh manusia yang memahami nilai kemanusiaannya. Nilai kemanusiaan itu ditandai dengan pengertian dan keimanan kepada Tuhan, ketundukan kepada Tuhan, dan pengentasan. Ketundukan yang bermakna tak menguasai Tuhan dan mengklaim-Nya secara mutlak dalam doktrin dan konsepsinya sendiri. Sehingga ia dapat menerima sesama dalam kasih-sayang yang tidak menguasai. Ratu Bulqis bertanya.

“Wahai Sulaiman yang agung, Tuhan itu warnanya apa?”

Nabi Sulaiman gugup. Dengan wibawa kenabiannya, ia mengatakan bahwa dirinya tidak tahu. Benar-benar tidak tahu. Ia pun tak berusaha memberikan penjelasan perihal Tuhan. Atas itu, ia tak punya kuasa pengetahuan meski ia seorang nabi. Luluhlah hati Ratu Bulqis. Ia menerima lamaran Nabi Sulaiman. Ketidaktahuan—atau ketidakberkuasaan, Nabi Sulaiman perihal “apa warna Tuhan”, membuktikan ketundukan. Maka cinta baginya bukan untuk menguasai, meski secara politik ia berkuasa. Tapi menjaga, menerima, dan menghamba kepada Tuhan dengan sepenuh keyakinan, juga kecemasan. Namun dengan harapan. Bukankah itu sikap sang pujaan hati yang menakjubkan?

Canda dan anekdot perihal pertanyaan Ratu Bulqis itu, sesungguhnya telah melampaui doktrin keimanan. Ia memasuki sikap keimanan yang sejati. “Yang lain”, nyeleneh, ambigu, baru, dan spontan dalam sebuah humor yang sehat, memberi sebentuk kearifan untuk memahami agama ke dalam kelenturan dan apa yang manusiawi. Syauqi Dhaif menulis perihal muslihat Abu Nawas kepada Allah. Dalam “tarikh al-adab al-arabi”, sebuah buku klasik perihal sastra Arab kuno, dikisahkan tentang doa jejaka tua. Jejaka tua itu bernama Tuan Abu Nawas. Ia berdoa.

“Ya Allah, anugerahilah hamba seorang istri cantik, pintar, muda, dan ahli masak. Amin.”

Doanya tak terkabul. Bertahun-tahun. Usianya bertambah. Abu Nawas memaksa Allah. Ia pun merubah doanya.

“Ya Allah, kasih aku istri. Tidak perlu cantik, pintar, dan ahli masak. Yang penting perempuan. Titik! Amin.”

Bertahun-tahun doa itu ia panjatkan ke hadirat Allah. Tak terkabul. Ia berpikir. Ia bermuslihat. Ia merubah lagi doanya.

“Ya Allah, ayolah. Beri aku istri. Jangan kasihani aku. Tapi kasihanilah ibuku. Beliau memerlukan menantu perempuan untuk merawatnya di hari tua. Amin.”

Kali ini doa Abu Nawas dikabulkan. Ketiga doanya jadi kenyataan. Ternyata Allah gemar bercanda. Pikir Abu Nawas. Apakah Tuhan bisa dimuslihati? Bukan begitu kiranya pesan kisah ini. Melainkan manusia telah bernegosiasi dengan dirinya sendiri untuk meraih segala yang diinginkan dengan upaya yang tak berputus asa. Namun ia tanpa daya selain atas kehendak yang maha-daya. Yang ia punya hanya doa dan upaya-upaya apa adanya. Ia menyiasati dirinya sendiri guna mengarifi keadaan dan mengolah hidupnya dalam penghambaan kepada Tuhan yang tak mungkin ia duga dan ia definisikan.

Kisah dalam sastra Arab yang mashur ini telah melampaui kesantunan kepada Tuhan yang ditegakkan secara kaku dan gawat dalam aturan agama yang melembaga. Ia dihancurkan dengan anekdot: menipu Tuhan. Bisakah Tuhan ditipu? Kita tertawa. Tuhan pun tertawa. Bagai dalam film Ernst Ingmar Bergman—sutradara teater dan film Swedia yang berpengaruh di paruh kedua abad ke-20—“The Seventh Seal” (1957), mengisahkan seseorang yang menolak kematian dengan cara mengajak sang maut bermain catur, taruhannya nyawa. Bisakah maut diajak bermain catur? Orang tertawa. Menertawakan dirinya yang alangkah bodoh. Puncak penderitaan itu tertawa. Manusia gemar membunuh. Tapi dirinya tak mau dibunuh. Gemar membenci, tapi ia tak mau dibenci.

Tuhan yang menciptakan tawa dan air mata, kata segaris teks suci. Menangis atau bergembira. Agar sekiranya manusia dapat mengarifi dan menikmati lezatnya syukur atas kasih-sayang-Nya yang tak terbatas. Tapi kasih-sayang-Nya yang maha tak terbatas itu pula yang seringkali disempitkan manusia sendiri dengan sikap dangkal, harus, dan angkuh.

Tembokrejo, 2019
*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab IBlis” (PSBB, 2018), “Agama Para bajingan” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *