Taufiq Wr. Hidayat *
Sahdan di pinggiran kota Prancis, sekitar tahun 1960-an, hiduplah seorang muslim bernama Tuan Ibrahim. Kemiskinan di pinggiran kota itu telah menciptakan keterpurukan: kriminalitas, pelacur jalanan, anak-anak terlantar. Tuan Ibrahim adalah seorang pedagang. Secara tak sengaja, ia bersahabat dengan seorang anak belasan tahun bernama Moses.
Moses adalah seorang anak dari keluarga yang beragama Yahudi. Ia tak punya ibu. Ayahnya meninggal kemudian. Lantas Moses dijadikan anak angkat Tuan Ibrahim. Persahabatan dua manusia beda usia, agama, budaya itu terjalin mesra dan hangat. Tuan Ibrahim selalu menyampaikan cara hidup yang baik tanpa menggurui. Ketika ia melihat Moses mencuri barang Tuan Ibrahim demi memenuhi kebutuhan hidupnya, ia tak mengutuk atau menghukumnya. “Apa yang kau beri adalah milikmu yang abadi. Tapi apa yang kau terima, akan musnah tiada bekasnya,” tutur Tuan Ibrahim.
Tuan Ibrahim tak mengucapkan ayat-ayat suci untuk mendukung suatu nilai atau keyakinan yang ia jalani. Ia hanya menunjukkan perhatian, kehangatan, senyum, kerendahan hati, pengayoman, dan ketulusan dalam sebuah persahabatan. Baginya ayat-ayat suci tak membutuhkan mulut manusia apalagi pengeras suara. Melainkan kepribadian yang hangat dan terbuka, manusiawi, dan kebaikan hati yang tulus. Itulah bunga-bunga abadi ayat suci. Bukan belaka bunyi. Sehingga kedamaian Tuhan dapat dirasakan manusia dalam segala perbedaan agama, budaya, dan latar belakang.
Itulah film “Mosieur Ibrahim and The Flowers of The Qor’an” (2003) dalam Bahasa Prancis garapan Francois Dupeyron. Film diadaptasi dari novel dan naskah pertunjukan Eric Emmanuel Schmitt “Monsieur Ibrahim et les Fleurs du Coran” (Tuan Ibrahim dan Bunga-bunga Qur’an). Agaknya bunga-bunga abadi itulah yang menggerakkan Sir Mohammed Iqbal menulis puisi panjang “Javid Nammah” (The Book of Eternity). Ia bagai kembara panjang pada keabadian dalam imajinasi kemanusiaan. Bahwa segala jawaban atas segenap persoalan kemanusiaan, sejatinya tak membutuhkan bunyi-bunyi ayat suci belaka yang terus menerus digemakan bagaikan berhala. Melainkan perilaku kemanusiaan yang bagaikan ayat suci. Bukan surga, karena surga hanya tipuan, jika manusia yang mengimani tak membangun perilakunya seindah surga. Bagi Iqbal, neraka pun cuma tipu daya, jika manusia yang menghindarinya tak menegakkan kesadaran untuk insaf dan memperbaiki diri.
Terdapat kisah menarik, tapi saya lupa siapa yang telah mengisahkannya. Seorang anak bertanya kepada bapaknya.
“Apakah di surga kelak aku bisa bermain layangan?”
“Bahkan sekarang pun, kau bisa bermain layangan, Anakku. Buatlah layangan. Naikkanlah dengan riang. Kerianganmulah surga.”
“Apakah surga adalah keriangan?”
“Persis, Nak.”
“Kapan?”
“Sekarang dan kelak, Anakku.”
Kisah ringan ini, mengingatkan saya pada dialog pendek entah di mana dan entah siapa yang telah mengisahkannya.
“Apakah Tuhan Maha-adil?” tanya seorang penyair kepada para “ulama kekuasaan” pada zamannya. Dia adalah seorang penyair yang tidak punya dan tidak butuh kredo bagi kepenyairannya. Baginya kredo kepenyairan itu tidak penting. Dan hanya omong kosong.
“Kenapa Anda meragukannya? Pasti Tuhan Maha-adil!” jawab jubir para ulama.
“Kapan keadilan Tuhan itu ditegakkan? Mana keadilan Tuhan ketika kelaparan, ketertindasan, perang dan kejahatan terjadi? Kenapa para penindas tetap sejahtera, yang ditindas terus-menerus menderita?”
“Kelak di akhirat Tuhan akan memberikan keadilan yang seadil-adilnya serta mengganjar dengan hukuman yang setimpal atas segala perilaku manusia di dunia.”
“Apakah Tuhan membutuhkan akhirat untuk menegakkan keadilan? Kalau Tuhan membutuhkan akhirat untuk menegakkan keadilan-Nya, betapa Tuhan tidak maha kuasa karena harus tunduk pada akhirat yang tak lain adalah ciptaan-Nya sendiri. Lalu apa kabar keadilan hari ini, Tuan-tuan? Di manakah Tuhan? Sedang apa Dia? Dan kalian masih saja memercayai-Nya?”
Sampai di sini, tak ada satu pun “ulama kekuasaan” dapat menjawab pertanyaan itu. Sang penyair yang tanpa kredo kepenyairan itu pun berlalu sambil bersiul, mengepulkan asap rokok ke udara.
Tembokrejo, 2019
*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab IBlis” (PSBB, 2018), “Agama Para bajingan” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.