Anton Kurnia *
Koran Tempo, 12 Okt 2014
BUKAN kematian mengejutkan si Pak Guru John Keating dalam Dead Poets Society yang pernah memukaumu dengan mantra “Carpe diem!” yang membuatku menuliskan kisah ini. Bukan pula “Smells Like Teen Spirit” yang kudengar lagi setelah bertahun-tahun dan membuatku terbayang sosok urakan Kurt Cobain yang pernah membuatmu tergila-gila sebelum dia menarik pelatuk maut untuk mengakhiri hidupnya yang muda dan murung.
Sesungguhnya, aku menuliskan kisah ini karena tak sengaja kutemukan lagi buku lama Paulo Coelho yang judulnya menyitat nama depanmu dan kau serahkan kepadaku setelah dengan susah payah aku berhasil membujukmu mengurungkan niat bunuh diri.
Veronika, di halaman pancir buku itu kubaca lagi tulisanmu yang bertinta biru dan kaukutip dari Alkitab: “Lalu aku melihat takhta putih yang besar dan Dia yang duduk di atasnya. Dan aku melihat orang-orang mati berdiri di depan takhta itu. Lalu dibukalah semua kitab. Dan dibuka juga sebuah kitab lain, yakni kitab kehidupan. Dan orang-orang mati dihakimi menurut perbuatan mereka, berdasarkan apa yang tertulis dalam kitab-kitab itu. Lalu maut dan kerajaan-kerajaan maut itu dilemparkanlah ke dalam lautan api. Dan setiap orang yang tidak ditemukan namanya tertulis di dalam kitab kehidupan itu dilemparkan ke dalam lautan api. Barang siapa menang, dia tak akan menderita apa-apa oleh kematian yang kedua.”
Kutipan itu membuatku terkenang pada dua kematian terawal dalam hidupku.
Kematian Pertama
KEMATIAN pertama dalam hidupku adalah kematian bapakku. Saat itu usiaku baru genap sembilan tahun. Tubuh bapakku yang semula subur menjelma kurus rapuh setelah bertempur bertahun-tahun melawan kanker tulang belakang. Pada suatu sore tubuh ringkih itu melepas nyawa. Begitu nenekku memekik menyerukan kepergiannya, sanak-saudara yang berkumpul di rumah istri tua bapakku meledak dalam tangis. Aku semula hanya tercenung. Tapi seorang sepupu perempuanku yang telah dewasa menubruk dan mendekapku seraya berurai air mata sehingga aku pun jadi ikut menangis.
Yang kuingat, sore itu begitu murung. Jenazah bapakku yang diselubungi kain batik dibaringkan di ruang depan yang segala perabotannya sudah disingkirkan agar orang banyak bisa leluasa duduk bersila. Aku duduk diam bersilang kaki di dekat kepala bapakku. Belum pernah rasanya aku sesedih itu. Besok tubuh bapakku bakal dikuburkan dan aku tak akan dapat lagi bertemu dengannya. Bayangan itu saja sudah cukup memedihkan. Aku terus duduk di situ hingga malam larut dan kantuk mendera. Ibuku membimbingku ke sebuah kamar lalu aku pun tertidur di atas kasur.
Esok paginya lebih banyak lagi orang berkumpul di rumah masa kecilku yang saat itu ditempati ibu tiriku. Sebelum jenazah digotong ke makam, kami sekeluarga berjalan di bawah keranda berhias selubung hijau bertuliskan huruf Arab dan roncean melati wangi yang dijunjung tinggi-tinggi oleh empat lelaki dewasa. Lalu aku diminta mencuci muka dengan segayung air yang tersisa dari bekas memandikan jenazah bapakku.
Rombongan pengantar jenazah begitu banyak sehingga barisannya memanjang amat jauh. Saat keranda telah sampai ke liang lahat, ekor barisan masih berada di halaman rumah duka yang berjarak sekitar lima belas menit berjalan kaki. Karena aku tak berpengalaman dalam hal ritual kematian (dan bahkan hingga saat itu belum pernah sekalipun pergi ke kuburan), kuduga semua orang yang meninggal pastilah diantarkan sebegitu banyak orang. Kelak aku tahu tak semua orang yang mati ditangisi dan diantar banyak orang. Kelak ibuku bercerita, budi baik bapakku membuatnya dicintai banyak orang sehingga amat ramai yang mengantar kepergiannya dan memberikan penghormatan terakhir dengan berdoa di pusaranya.
Setelah kematian pertama itu, aku berubah menjadi pemurung. Aku yang semula menyukai warna-warna merah dan putih, perlahan-lahan berubah menjelma pecinta warna-warna biru dan hitam.
Bukan Kematian Benar yang Menusuk Kalbu
LEBIH dari setahun kemudian, aku mengalami kematian kedua dalam keluargaku. Saat itu ibuku, aku, dan adik perempuanku telah pindah ke ibu kota untuk tinggal bersama suami ibuku dan anak perempuannya yang lebih tua dariku.
Dan seperti yang dikatakan seorang penyair, dalam peristiwa ini sesungguhnya bukan kematian benar yang menusuk kalbu.
Pada suatu pagi buta ibuku membangunkanku. Dalam kabut kantuk ibuku menyuruh aku dan adikku segera mandi. Kami akan pergi ke Bandung. Dengan wajah sedih ibu memberitahuku bahwa Mbah Kung meninggal semalam dan kami berharap bisa sampai di rumah duka sebelum pemakaman dilangsungkan. Yang membuatku senang, hari itu aku tak usah bersekolah.
Saat hendak mandi dan beranjak dari kamar, kulihat dalam keremangan ruang tamu Pakde Baran—kakak ibuku satu-satunya—tengah duduk sambil merokok dengan wajah tegang. Aku menangkap suasana yang genting. Saat aku selesai mandi, Pakde Baran sudah tak ada, pergi mendahului kami menuju Bandung.
Dalam suasana pagi yang dingin dan muram kami berempat—papa tiriku ikut, tapi anaknya tidak—berangkat ke Stasiun Gambir tanpa banyak bicara, bahkan kami tak sempat sarapan.
Mbah Kung adalah kakak lelaki ibunda ibuku. Dengan kata lain, dia pakde ibuku. Karena ayahanda ibuku yang kelasi meninggal saat ibuku masih dalam kandungan nenekku—konon karena kapalnya dibom Jepang di Laut Jawa—sejak kecil ibuku diasuh oleh Mbah Kung dan istrinya yang tak punya anak. Ibuku menjadi anak kesayangan Mbah Kung yang ketika ibuku remaja adalah salah satu pengusaha kaya di Bandung.
Semula Mbah Kung yang ganteng, berkulit terang, dan berperawakan ramping gagah itu adalah perwira tentara Siliwangi yang bertempur melawan pasukan Belanda pada masa revolusi. Saat terjadi long march prajurit Siliwangi dari Jawa Barat ke Yogyakarta menyusul Perjanjian Renville tiga tahun setelah proklamasi kemerdekaan, ibuku yang belum genap enam tahun ikut Mbah Kung mengungsi dengan berjalan kaki menembus hutan di tengah desingan mortir dan peluru. Ketika Belanda kalah dalam perundingan dan perusahaan-perusahaan milik orang Belanda dinasionalisasikan, Mbah Kung termasuk di antara para perwira yang ketiban pulung mendapat saham perusahaan asing yang diambil-alih. Dia berhenti jadi tentara dan hidup nyaman sebagai pengusaha.
Ketika ibuku berusia belasan, usaha Mbah Kung jatuh bangkrut akibat dia ditipu orang dan tak lama kemudian perusahaannya gulung tikar. Kehidupannya berubah cepat dari semula naik sedan Impala jadi naik becak. Mbah Kung terpaksa menggantungkan penghidupan hanya dari uang pensiun sebagai bekas kapten. Pada saat inilah ibuku dijodohkan dengan seorang pegawai pemerintah yang berusia dua kali lipat umurnya. Perkawinan mereka bertahan hingga empat belas tahun dan menghasilkan delapan anak. Tiga tahun setelah bercerai, ibuku menikah dengan bapakku. Setahun kemudian, pada tanggal sembilan bulan kemerdekaan, aku lahir sebagai anak sulung bapakku dan anak kesembilan ibuku.
Sejak usahanya bangkrut, Mbah Kung jadi perenung akut dan banyak berdiam di rumah bersama Mbah Putri yang jadi sakit-sakitan. Belakangan Mbah Kung tertarik memperdalam ilmu agama dan bergabung dengan sebuah tarekat sufi. Sebelum dibaiat menjadi anggota tarekat ini, Mbah Kung diharuskan berpuasa khusus. Di samping nasi dan garam serta minum air bening, dia hanya diperbolehkan memakan kacang-kacangan atau bahan makanan yang tumbuh di dalam tanah. Setelah empat puluh hari berpuasa macam itu, Mbah Kung disumpah sebagai anggota tarekat itu dan bersetia kepada guru mursyidnya yang dipanggil Syekh.
Kata ibuku, Syekh ini orang saleh yang telah mencapai ilmu makrifat; ia paham segala hakikat penciptaan, kejadian, dan kehidupan. Dia bahkan tahu kapan hendak dipanggil Yang Mahakuasa. Beberapa hari sebelum wafat, sang Syekh berpesan kepada istri dan para pengikutnya bahwa pada hari anu jam anu dia akan pulang ke tempatnya yang sejati. Konon, betul saja pada waktu yang telah dikatakan itu dia meninggal dengan tenang. Seulas senyum tersungging di bibir dan aroma wangi menguar dari jenazahnya. Kabarnya, tarekat ini memang mengajarkan pertanda orang akan mati yang hanya bisa dirasakan oleh yang bersangkutan sendiri. Kila-kila kematian ini terkait dengan ungkapan sedulur papat lima pancer dan tujuh lubang pelepasan ruh di seluruh tubuh: telinga, hidung, mulut, mata, alat kelamin, dubur, dan pusar.
Kata ibuku pula, sejak bergabung dengan tarekat itu kehidupan Mbah Kung jadi berubah. Dia yang semula flamboyan dan abangan jadi rajin beribadah. Beberapa tahun kemudian, para tetangga di sekitar rumah barunya yang lebih kecil di sebuah gang (setelah ia menjual rumah besarnya untuk menutupi utang-utang akibat usahanya yang bangkrut) mengenalnya sebagai ahli agama. Dia kerap diminta memimpin doa, berceramah, bahkan mengimami salat berjamaah.
Maka, tak heran bagiku jika ibuku amat bersedih mendengar kematian Mbah Kung yang sudah serupa ayah sendiri baginya. Namun, Jumat pagi itu kala menunggu keberangkatan kereta api di peron stasiun, kurasakan ada sesuatu yang ganjil dalam kesedihan ibuku yang terus bermuka mendung sejak berangkat dari rumah. Sesekali ibuku berbisik seperti berbicara kepada diri sendiri, “Kenapa?”
Satu kali, dengan kepolosan anak kecil kusentuh lengan ibuku dan kusapa, “Kenapa Ibu sedih sekali? Kan sudah wajar kalau orang setua Mbah Kung meninggal?”
Di luar dugaanku, ibuku menatapku tajam lalu berkata setengah berbisik tapi dengan nada genting, “Ini tidak wajar. Mbah Kung meninggal bunuh diri.”
Aku terkejut lalu terdiam dan tak berani bertanya lebih lanjut. Dalam perjalanan dengan kereta api melintasi pegunungan Jawa Barat yang pemandangannya dihiasi lembah indah dan rimba hijau, kami lebih banyak berdiam diri. Di sisi kiriku papa tiriku duduk diam membaca koran. Di punggung koran terbaca berita Arseto mengalahkan Niac Mitra lewat gol tunggal Ricky Yacob. Di depanku ibuku terus memasang wajah galau. Adikku tertidur di pangkuan ibuku. Aku melamun mengenang sosok Mbah Kung.
Apakah yang membuat orang sampai bunuh diri? Kesedihan? Kebosanan? Ketakutan?
Kata guru agamaku di sekolah, bunuh diri itu dosa besar. Orang yang mati bunuh diri akan masuk neraka. Neraka itu api yang menyala-nyala, jurang nista tempat orang-orang yang berdosa dan tak beriman dihukum selama-lamanya kelak setelah dunia kiamat.
Aku ingat Mbah Kung sesekali menjemput aku dan adikku sepulang sekolah. Setiap kali dia menjemput kami, dia selalu berpakaian bagaikan sinyo Belanda di film-film akhir pekan: ia mengenakan baju setelan lengan panjang putih dan celana putih yang disetrika licin, topi bundar gaya bos perkebunan Preanger zaman lampau, berkacamata hitam, dengan tongkat rotan dan sepatu kulit berkilat.
Kami tak pernah senang jika dijemput Mbah Kung sebab dia selalu mengajak kami berjalan kaki sampai jauh sekali sampai kaki kami pegal-pegal. Setelah kami betul-betul lelah dan terpaksa merengek menyerah, barulah kami diajaknya naik angkot menuju rumah.
Sebelum kami pindah ke ibu kota, rumah kami di batas selatan kota terletak berdekatan. Tepatnya berpunggungan. Rumah Mbah Kung menghadap ke timur, rumah kami ke barat. Itu karena Mbah Kung berhasil membujuk ibuku membeli rumah kosong di belakang rumahnya dengan uang warisan hasil penjualan mobil dan rumah kami dahulu setelah bapakku meninggal—tentu setelah dikurangi pembayaran utang-utang yang menumpuk sejak bapakku jatuh sakit. Sejak ibuku menikah lagi setahun setelah bapakku meninggal, rumah kami disewakan.
Saat kami tinggal berdekatan, bisa dibilang tiap hari Mbah Kung yang tampaknya kesepian di hari tuanya—walau tinggal bersama Mbah Putri—berkunjung ke rumah kami. Ada saja alasannya. Salah satunya, mengajakku sembahyang di masjid. Terkadang dia hanya datang lalu duduk di kursi panjang dan menceramahi ibuku atau aku dan adikku tentang agama. Aku yang kerap bosan kalau dia sudah berceramah soal agama biasanya menyelinap ke dalam kamar untuk membaca komik silat.
Tapi kalau Mbah Kung datang untuk mendongeng, aku betah mendengarkan. Salah satu dongengnya yang kuingat adalah kisah Dewa Ruci tentang Bima yang mencari diri yang sejati hingga jauh ke dasar samudra. Pernah pula dia bercerita tentang orang-orang yang dia kagumi, seperti Pangeran Suryomentaram, Raden Panji Sosrokartono, Bung Karno, dan Charlie Chaplin, bintang film kesukaannya yang pernah berkunjung ke Bandung dan menginap di Hotel Preanger.
Sesekali Mbah Kung mengisahkan riwayat keluarga, misalnya tentang ayahnya yang tentu saja adalah eyang buyutku. Menurutnya beliau adalah keturunan ningrat dari Kotagede, Yogyakarta, yang menjadi pegawai terhormat di zaman Belanda. Beliau bekerja sebagai kasir di kantor jawatan kereta api di Bandung. Nama resminya adalah Raden Mas Sastro Prawiro. Karena bekerja sebagai kasir, beliau lebih dikenal sebagai Mas Sastro Kassier.
Konon, Eyang Sastro-ku itu ganteng dan gagah perwira sehingga disukai banyak wanita. Kubayangkan wajah dan perawakan Eyang Sastro itu serupa Mbah Kung yang masih tampak gagah pada usia enam puluh tiga.
Kata Mbah Kung, eyang buyutku itu beristri banyak. Itu sebabnya Mbah Kung dan nenekku berbeda ibu. Nenekku adalah satu-satunya anak perempuan dari dua belas bersaudara. Saat aku mengenal Mbah Kung, di antara kedua belas bersaudara itu hanya tersisa mereka berdua. Mbah Kung yang anak kesebelas dan nenekku yang bungsu.
Wajahnya Tampak Bercahaya-Cahaya
KAMI tiba di rumah Mbah Kung menjelang tengah hari. Di sana sudah berkumpul banyak orang yang sebagian besar tak kukenal. Ada pula beberapa polisi berseragam. Di dalam rumah, ibuku bertangis-tangisan dengan Mbah Putri dan kerabat kami lainnya.
Kudengar Bude—istri Pakde Baran—bercerita kepada ibuku bahwa Mbah Kung mengakhiri hidupnya secara diam-diam dengan menenggak cairan pembasmi serangga. Mbah Putri menemukannya sudah tak bernyawa dengan mulut berbusa di ruang belakang rumah menjelang tengah malam. Di dekatnya, memang bekas cairan itu, yang tumpah ke lantai.
Kenapa Mbah Kakung tidak memilih cara lain? Misalnya gantung diri. Atau memotong urat nadi di pergelangan tangan. Atau yang kurasa tidak menyakitkan: minum obat tidur dosis tinggi.
Tak lama setelah kami datang, jenazah dibawa ke pemakaman yang terletak beberapa ratus meter dari rumah Mbah Kung. Di antara rumah itu dan pemakaman terdapat tegalan, lapangan rumput tempat ibu-ibu kerap bermain bola voli pada sore hari, kali kecil yang airnya bening sehingga di tepi-tepinya terkadang bisa terlihat rajungan kecil kelayapan, kebun-kebun tak terurus, serta semak-semak liar.
Aku ikut bergabung dengan rombongan pengantar yang jumlahnya tak sebanyak mereka yang mengiringi kepergian bapakku. Ibuku tak ikut, memilih beristirahat di rumah Mbah Kung; ia begitu lelah setelah terlalu banyak menangis. Adikku menemani ibuku. Papa tiriku pamit untuk kembali ke ibu kota karena katanya ada rapat sore nanti di kantornya. Pada siang yang terik itu, setelah jenazah dikebumikan dan doa-doa dibacakan, nisan pun ditancapkan. Di antara orang-orang aku tercenung di depan makam. Kutatap tunggul kayu bertuliskan namanya: Rahman S. Prawiro (1921-1984).
Aku membayangkan apakah yang dipikirkan Mbah Kung pada detik-detik terakhirnya, sesaat sebelum ia menenggak cairan laknat itu. Apakah yang dia rasakan saat mau menjemputnya? Apakah Mbah Kung sempat melihat kilasan saat-saat indah masa lalunya ketika ajal menjemput, seperti yang pernah kulihat di sebuah film? Apakah dia menyesal? Apakah dia bahagia?
Bagaimana mungkin seorang ahli agama yang tampak bijaksana dan rajin beribadah seperti Mbah Kung memilih jalan pintas dengan bunuh diri? Apa yang membuatnya putus asa? Apakah dia begitu kesepian sejak kami—ibuku, aku, dan adikku—berpisah darinya? Apakah dia kangen dengan kekasih masa lalunya yang sudah tiada? Apakah ini salah setan yang telah menggodanya sehingga nekat menempuh jalan nista?
Dalam perjalanan pulang dari makam, aku berjalan diam-diam di belakang Pakde Baran. Setelah sekian lama, sejak pertama kali mendengar kabar kematian Mbah Kung di pagi buta, baru saat itulah aku benar-benar merasa berduka. Ada sesuatu yang terasa sakit di dadaku serta membuat kerongkonganku kering dan lidahku kelu dan bola mataku basah. Aku terkenang wajah Mbah Kung yang selalu tersenyum riang ketika menjemputku pergi ke mesjid walau aku lebih sering malas-malasan memenuhi ajakannya. Jika sedang tersenyum, wajahnya tampak bercahaya-cahaya.
Kutatap kilasan pohon-pohon jarak dan semak luntas di tepi jalan tanah kering berdebu. Sesekali aku menunduk, mengusap air mata yang merembes. Aku teringat saat beberapa hari sebelum kami meninggalkannya untuk pindah ke ibu kota entah kenapa Mbah Kung tiba-tiba berkata: “Jodoh, rezeki, dan maut itu ada di tangan Tuhan.”
Waktu itu aku menangkap sesuatu yang ganjil di wajahnya. Seraya berkata begitu, bibirnya tersenyum. Tapi tak seperti biasanya, wajahnya tak bercahaya-cahaya.
Terlalu Cantik untuk Hidup Merana
VERONIKA, sayang sekali saat itu aku tak cukup peka untuk menghapus kesedihan Mbah Kung. Jika aku berhasil membuatmu mengurungkan niat untuk mencabut nyawamu sendiri—setidaknya untuk sementara waktu—karena orangtuamu tidak mau melepas kau untuk menikah dengan aku yang tak mungkin pergi ke gereja, maka aku gagal mencegah Mbah Kung mengakhiri hidupnya. Kini semua sudah terlambat. Mbah Kung telah pergi meninggalkan percikan kenangan, begitu banyak pertanyaan, dan kesedihan yang entah kapan akan terlupakan.
Aku tahu kelak jiwamu tak akan menderita apa-apa oleh kematian kedua, walaupun tiga tahun setelah kau serahkan buku itu kepadaku kau memutuskan untuk menenggelamkan diri di sebatang sungai—seperti akhir yang dipilih si misterius Virginia, pengarang favoritmu yang kaubilang terlalu cantik untuk hidup merana—setelah kau menerima kabar pernikahanku. Sebab, aku tahu, sesungguhnya di dasar segala kesedihanmu yang tak pernah kau kehendaki ada, tersimpan senoktah cinta yang tulus dan suci.(*)
Antapani, Agustus-September 2014
*) Anton Kurnia bekerja pada penerbit Serambi, Jakarta. Kumpulan cerita pendeknya adalah Insomnia (2004).
https://cerpen2korantempo.wordpress.com/2014/10/12/kematian-kedua/