Dea Anugrah *
Koran Tempo, 29 Mar 2015
“TAK ada yang mau memakai naskah keparat ini,” kata Nur Azis. Ia tidak berteriak dan suaranya keluar nyaris berbarengan dengan gulungan kertas yang ia pukulkan ke tepi meja. Yang sampai ke telinga Linda, istrinya, cuma geremengan, serangkaian bunyi yang membentuk sandi tak terurai.
Perempuan itu menekan tombol pause pada remote, berbalik, dan menatap suaminya dengan kepala yang ditelekan pada tangan. “Apa katamu?” tanyanya.
Di layar, tampak Jason Statham atau siapalah sedang menjentikkan puntung rokok ke arah truk pengangkut bahan bakar. Nur Azis memandangi layar, lalu retakan-retakan kecil pada kulit sofa tak jauh dari siku Linda. Matanya merah, bengkak, dan redup seperti orang yang belum tidur sejak lahir.
“Kita masih punya bir?”
Nur Azis, melangkah sedikit, mengempaskan bokongnya di sofa, dan bercokol di situ sementara istrinya bangkit untuk mengambilkan bir dingin dan gelas di dapur. Mereka sudah menikah selama enam tahun dan sofa tersebut adalah satu-satunya yang bisa ditindih tubuh Nur Azis tanpa membuat pikirannya ruwet. Kendati begitu, tanpa mengurangi rasa hormat terhadap nilai sentimental benda-benda, menyebut benda itu sebagai sofa adalah pengkhianatan terhadap seni deskripsi. Pajanglah seekor kadal raksasa berumur dua alaf dari sisi gelap Bulan sebagai pembanding dan orang-orang bakal bersumpah hewan itu lebih mirip sofa ketimbang sofa Nur Azis.
“Tinggal segitu,” kata Linda sembari meletakkan botol 620 ml setengah kosong dan menangkupkan gelas berembun di atas meja kopi. Nur Azis memajukan badannya sedikit untuk menjangkau kedua benda tersebut. Ia tidak suka birnya dituangkan orang lain. Menurutnya kebanyakan orang tidak paham cara menuang bir yang benar, termasuk Linda, meski sudah berulang kali diajari. Tapi tentu kini keduanya tidak lagi membicarakan perkara itu, sebab cepat atau lambat, setiap orang akan menyadari bahwa dalam hidup ada banyak sekali persoalan, dan karena persoalan tidak diajarkan secara memadai, mereka tak pernah paham kemuliaan seorang pengalah.
“Ratih bilang film itu bagus sekali, aksi-aksinya keren dan aktor utamanya benar-benar macho,” ujar Linda sembari menunjuk layar dengan hidungnya. “Kau tahu Ratih, kan? Aku kasihan padanya. Semua orang di kantor kasihan padanya. Sekali waktu ia diantar suaminya naik motor. Tahukah kau bahwa laki-laki itu bahkan tidak punya inisiatif mengangkatkan barang ke timbangan? Yang benar saja! Kardus itu beratnya enam puluhan kilo dan Ratih hampir menggotongnya sendiri kalau tidak kutahan dan aku buru-buru memanggilkan Rosyid! Kupikir-pikir, ya, kalau pun Ratih tergencet, laki-laki kangkung itu tak bakal melakukan apa-apa.”
Sambil menarik sebatang Marlboro mentol, Linda mengulang pertanyaannya: “Oh ya, tadi kau ngomong apa?” kemudian ia menjepit filter rokok itu dengan bibir tebalnya yang sesekali mengingatkan Nur Azis kepada bibir Amanda Seyfried dan kali lain, ketika kebiasaan rumpinya kumat, misalnya, kepada congor ikan kerapu.
Nur Azis menyalakan rokok istrinya dan menjawab dengan suara pelan, “Kau tahu skenarioku yang terbaru? Kurasa tidak ada yang mau memakainya.”
Linda mengembuskan asap dan Nur Azis kembali memandangi televisi. Ia tahu setelah adegan beku itu pasti ada dentuman besar sementara si jagoan botak berjalan ke arah layar, lalu pada suatu titik, otot-otot bisep, trisep, serta tindakan-tindakan heroiknya akan membuat setidaknya satu perempuan jatuh hati dan tantangan sehebat apa pun bakal teratasi oleh kekuatan cinta mereka. Semua orang pernah menonton film-film seperti itu dan yang terjadi pastilah itu-itu belaka.
Tak ada yang bicara dan kesunyian melingkupi ruangan itu seperti dengung yang tak tertahankan. Linda, mengetuk-ngetukkan telunjuk dan jari tengahnya di tepi meja kopi, makin lama makin cepat, dan seakan-akan terkejut dengan kecepatan jari-jarinya sendiri, Linda tiba-tiba menjatuhkan tangannya dari meja dan membuka mulut:
“Cerita tentang orang yang menjahit mukanya sendiri?”
“Mulut, bukan muka,” kata Nur Azis. Ia kemudian minum dengan bunyi berdeguk yang kampungan sampai isi gelasnya tandas. Nur Azis mendesah dan memandangi pantulan wajahnya pada kaca meja. Menurut buku Pengantar Psikologi Sehari-hari (Disertai Ilustrasi) karangan Wayan Sukarna yang dibaca Nur Azis bertahun-tahun silam, frustasi setidaknya bisa dibagi ke dalam dua kategori—frustasi yang mengarah keluar dan yang mengarah ke dalam. Dan ia berpikir, mungkinkah seseorang menderita keduanya sekaligus?
“Maaf soal detailnya, tapi aku benar-benar ingat. Menurutku itu skrip yang menarik dan kau penulis yang bagus.”
“Menurutku juga begitu. Tapi aku sudah mengirimkannya ke sana-kemari dan yang kudapat penolakan melulu.”
LINDA bekerja di perusahaan jasa pengiriman barang. Tugasnya antara lain memeriksa kelengkapan data barang-barang; mencatat berat, dimensi, isi, nilai, alamat pengirim, alamat penerima; menghitung tarif; mencetak resi; serta mengajak bicara para pelanggan seandainya ada gangguan teknis atau semacamnya yang membuat orang-orang itu perlu menunggu agak lama—kadang sampai seperempat atau setengah jam. Dan di tempat kerja Linda, yang belakangan itu terjadi sama seringnya dengan seorang tukang daging mengasah pisau atau tukang las menenggak air tajin. Meski ia kerap menggerutu, semua pekerja di tempat itu tahu Linda menikmati tugas improvisasi tersebut.
Dari sejumlah pelanggan yang sering diajak bercakap-cakap oleh Linda, ada seorang perempuan bernama Yayuk. Ia satu-satunya anak ayahnya, seorang sinse, dan kenyataan itu membuatnya harus mengirimkan obat-obatan ke pelbagai tempat di Indonesia dua kali sepekan. Suatu hari di antara awal dan akhir cerita ini, Yayuk datang menjelang jam istirahat siang. Karena pelayanan baru akan dibuka lagi setelah waktu istirahat selesai, Linda mengajaknya makan bersama.
Sebenarnyalah Linda berbohong ketika mengatakan karangan terbaru suaminya menarik. Ia berbohong karena tidak sanggup menjelaskan apa yang buruk dari tulisan itu dan ia tahu tanggapan selain yang telah ia berikan bakal memperburuk keadaan. Dan menurutnya orang-orang dewasa sudah semestinya menyelesaikan persoalan masing-masing. Tetapi lama-kelamaan ia jatuh iba juga. Sudah seminggu lebih suaminya mengeluhkan perkara itu dan kurang tidur dan tampak awut-awutan dan bau badannya nyaris seperti kandang domba.
“Jadi, menurutmu, bantuan apa yang bisa kita berikan ke orang dewasa yang tidak sanggup menyelesaikan masalahnya sementara kita sendiri tidak tahu apa-apa mengenai hal tersebut?”
Berdiri di antara dua rak buku setinggi dada, ia kembali teringat saran yang diberikan Yayuk dan mengangguk-angguk seperti ayam sakit. “Sudah coba buku-buku how to?” kata Yayuk setelah usulnya yang pertama, bicara dari hati ke hati atau semacam itulah, ditolak mentah-mentah. Tepat sekali, pikir Linda. Tidak ada suatu kesulitan pun di dunia ini yang belum dialami sedikitnya ratusan ribu orang dan itu berarti panduan untuk urusan apa saja telah tersedia. Akhirnya, ada sebuah jalan keluar! Linda senang sekali memikirkan bahwa ia bisa melenyapkan keluhan-keluhan suaminya dan membantu (menyelamatkan adalah kata yang terlampau besar) laki-laki tersebut. Ia mulai berjalan dengan langkah lebar-lebar. Lampu-lampu bersinar lebih terang daripada biasanya. Udara terasa lebih segar. Musa membelah Laut Merah dan Firaun tak boleh ikut serta.
Malam itu juga, Linda menyodorkan plastik berisi buku-buku kepada Nur Azis. Ia membeli tiga judul sekaligus: Gampangnya Mengarang, Mengarang yang Gampang, dan Gampang-gampang Mengarang. Ketiganya ditulis oleh orang yang sama dan masing-masing dilengkapi VCD—mungkin video motivasi, mungkin musik New Age untuk relaksasi, Linda tidak tahu. Yang ia tahu, menurut keterangan di sampul belakang, si pengarang adalah ahli yang telah teruji dalam membabat masalah apa pun yang mungkin melanda kaum pengarang.
Nur Azis menyambut bungkusan yang diberikan istrinya, melihat judul-judul buku, meletakkannya di atas meja makan, lalu berbalik ke kamar dan menutup pintu. Menutup, bukan membanting. Tapi itu sudah lebih dari cukup. Seseorang tidak harus menghambur-hamburkan makian atau menghantamkan dahi ke perabot untuk melukai perasaan pasangannya.
MASALAH sebenarnya tentu bukan karangan yang tidak menarik minat. Nur Azis sudah kelewat lama menjadi bagian dari bisnis itu untuk menjadi sensitif, apalagi terguncang, karena hambatan-hambatan sepele. Lagi pula, naskah tentang orang yang menjahit mulutnya sendiri itu tidak pernah benar-benar selesai. Tiga perempat jalan, ia muak dan mengutuk dirinya sendiri dan menghapus file itu dari komputer dan merendam kepalanya di air dingin selama empat puluh lima menit supaya gagasan-gagasan tolol berontokan.
Ia tidak pula tersinggung karena urusan Linda. Dulu sekali, jauh sebelum mereka menikah, ia sudah membaca buku-buku tersebut dan Linda tidak pernah tahu bahwa keseluruhan karirnya, meski sama sekali tak bisa disebut hebat, dilandaskan pada tesis dasar buku-buku itu. Namun demikian, Nur Azis sempat ketakutan juga ketika beberapa jam yang lalu istrinya tiba-tiba memancarkan aura penyayang seorang juru selamat. Ia takut peran yang dimainkannya selama lebih dari seminggu belakangan terbongkar hanya karena salah bereaksi. Tapi untunglah, pikirnya, kini semua sudah beres dan bukan tidak mungkin Linda akan terus mendiamkannya sampai satu-dua minggu ke depan. Dengan demikian, perkara yang sesungguhnya bakal terselesaikan meski Linda tak sempat mengetahui apa yang terjadi.
“Dengan ramuan dan akupuntur, impotensi ringan lazimnya sembuh dalam seminggu, tapi kadang ada juga yang sampai sepuluh hingga lima belas hari.”
Nur Azis percaya omongan tabib di tempatnya berobat dan menantikan momen di mana ia kembali berfungsi sepenuhnya dengan kepercayaan diri serta semangat yang meluap-luap. Tapi sampai hari ini, ia tak kunjung mengerti mengapa asisten tabib itu jadi banyak tersenyum dan tampak bersemangat hendak menolong setelah ia mengisi formulir pasien dan bukannya sejak dulu-dulu.(*)
***
*) Dea Anugrah lahir di Pangkal Pinang, Pulau Bangka, 27 Juni 1991. Bekerja selaku edior di sebuah penerbitan di Jakarta. Buku puisinya, Misa Arwah dan Puisi-puisi Lainnya (Indie Book Corner, 2015).
https://cerpen2korantempo.wordpress.com/2015/03/29/masalah-rumah-tangga/