Ranang Aji S.P.
BEBERAPA waktu ini, masyarakat literasi kembali mempertengkarkan kategori fiksi sastra dan bukan sastra di beberapa arena media sosial. Pro dan kontra ini merepresentasikan sikap, pertama, tidak setuju jika sastra hanya dimaknai sebagai fiksi yang melibatkan ketegangan konsentrasi intelektual untuk mengurai makna di dalamnya.
Sastra, menurut mereka, adalah semua jenis fiksi yang melibatkan teks. Baik itu pop dalam pelbagai genre atau fiksi yang serius atau eksklusif. Pandangan itu menghasilkan fiksi yang disebut sastra serius dan sastra pop. Artinya, semua karya fiksi tanpa kecuali adalah sastra (tulisan).
Kedua, sikap klasik sekaligus status quo bahwa sastra memiliki derajat yang berbeda sekaligus membedakan dengan karya fiksi pop. Mereka menyatakan bahwa karya fiksi sastra memiliki beberapa derajat di atas fiksi genre atau pop dalam isi makna. Mereka menggunakan definisi yang dipergunakan di Eropa dan Amerika Serikat bahwa fiksi dibagi dua, yaitu fiksi sastra dan fiksi genre.
Fiksi sastra tidak saja bertujuan untuk memberikan hiburan kepada pembaca, namun juga bertujuan untuk mencari kebenaran tertentu atau makna tertentu dari seluruh aspek kehidupan, seperti pendapat Milan Kundera. Sementara itu, fiksi genre seperti horor, roman, misteri, detektif, dan sebagainya hanya bertujuan menghibur pembaca.
Pendapat pertama, mengacu pada perumusan KBBI yang memasukkan kata sastra menyertai pop (sastra pop) yang (vis a vis) berhadapan dengan ’’sastra serius’’, pada dasarnya memiliki persoalan pada makna. Karena tentu saja penempataan arti sastra menjadi tulisan, seperti literature bisa berarti semua mencakup aktivitas menulis (literasi). Tidak hanya tentang fiksi. Bisa pula mencakup nonfiksi.
Sastra pop atau populer berarti banyak dikenal atau disenangi masyarakat luas karena menghibur semata. Sementara itu, sastra serius berarti sastra yang tidak main-main dan bersifat tidak populer karena melibatkan pengerahan kontemplasi makna, rasa indah, serta intelektualitas.
Pandangan kedua, lebih mendefinisikan makna sastra sebagai bentuk lain dari karya tulis fiksi yang memiliki kandungan seni tinggi. Seperti halnya Theodore Ardono dan Marx Horkheimer dalam The Dialectical Imagination (1947) membagi dua kutub karya seni menjadi seni rendah dan seni tinggi (low art and high art).
Seni rendah merepresentasikan karya yang diciptakan untuk mudah diakses secara masal –dan ini meliputi karya-karya semacam kerajinan di abad ke-18. Seni ini didukung oleh Kapitalisme Akhir (Late Capitalism) dengan mengukuhkan ’’industri budaya’’ demi tujuan laba. Sementara itu, seni tinggi menunjuk pada karya-karya yang dinilai memiliki kandungan makna yang mendalam terhadap persoalan manusia. Anggap saja semacam naluri quasi-spiritual. Meskipun faktanya, karya bernilai tinggi seperti Seratus Tahun Kesepian karya Gabriel Gracia Marquez terjual jutaan eksemplar.
Alexander Steele, salah satu dekan di Gotham Institute, New York (misalnya), juga membagi kelas fiksinya menjadi fiksi genre dan fiksi sastra yang menjadi rujukan pendapat kedua di atas. Satu bertujuan sekadar memberikan hiburan kepada pembacanya, pada sisi lain bertujuan menghibur sekaligus memberikan makna tertentu tentang sebuah kebenaran yang tersembunyi.
Sasra tak sekadar menjadi makna denotatif kamus yang berarti tulisan atau teks. Namun juga membedakan antara tulisan fiksi dan bukan fiksi. Fiksi kemudian dibagi menjadi fiksi sastra dan fiksi genre. Fiksi genre meliputi jenis fiksi remaja, roman, horor, misteri, dan sebagainya. Pandangan tersebut membuat garis tegas di antara dua perbedaan jenis fiksi. Dalam pemisahan ini para pengarang menjadi jelas bersikap terhadap karya apa yang hendak dicapai.
Berbeda pula dengan pengertian creative writing atau menulis kreatif yang merujuk pada semua karya fiksi. Baik fiksi sastra atau fiksi genre. Creative writing lebih pada keterampilan teknis untuk menghasilkan cerita yang didapat atas rangsangan imajinasi. Membangun keterampilan menulis sebagai teknik. Sehingga fiksi menjadi kebohongan yang diyakini benar, seperti kata Albert Camus.
Rolland Barthes (misalnya) dalam Writing Degree Zero (1957) yang dirangsang atas tulisan Jean Paul Sartre dalam What’s Literature? (1947) memberikan konsepsi jelas bahwa tulisan lewat bahasa dan gaya menjadi object of creative action yang dimulai dari keinginan ideologis, yaitu sarana bersikap kritis terhadap kelas borjuis di masa itu.
Di situ, penulis menjadikan bahasa dan gaya sebagai keterampilan. Pun membuat penulis seperti Jean Paul Sartre dan Albert Camus menjadikan sastra menjadi terlibat secara serius dalam proyek kesaksian kemanusiaan. Penulis harus terlibat dalam melihat kekosongan keadilan dan dehumanisasi yang terjadi.
Maka, fiksi dalam makna tertentu untuk membedakan fiksi pop dan sastra –fiksi sastra berfokus pada pencarian dan pengungkapan eksistensi manusia. Maka, kita akan mendapati tema-tema, simbol-simbol, dan motif-motif dalam sebuah novel atau cerpen yang memperlihatkan bobot isinya. Sastra menjadi saksi atas ketiadaan dalam manusia dan semua itu diungkap secara negatif. Jelas bahwa pengertian ini tidak semata menghibur seperti yang disebut sebagai sastra pop oleh pihak pertama di atas.
Maka, bila kita mengacu pada pandangan kedua, pada hematnya, akan kita temukan dua hal yang bisa menjadi rujukan penulis. Pertama, menulis fiksi genre untuk sekadar menghibur atau, kedua, memilih menulis fiksi sastra untuk menghibur sekaligus mengajak mencari kebenaran dan menjadi saksi atas persoalan kemanusiaan. Di sini barangkali kita sebut raison de’etre atau alasan mengada dalam fiksi sastra pun pop menjadi jelas. Mungkin bagi saya seperti itu. Salam.
*) Ranang Aji S.P., menulis cerpen, novel, dan esai. Tinggal di Magelang.
https://www.jawapos.com/minggu/saujana/23/06/2019/menulis-sastra-dan-bukan-sastra/