Perempuan, Politik dan Puisi

Mutia Sukma

Tulisan ini saya buka dengan kemungkinan-kemungkinan, mungkin acara ini dibuat karena bulan ini adalah bulan april dan ada sebuah perayaan mitos yaitu Hari Kartini yang jatuh tanggal 21 April yang acap kali disebut sebagai tonggak emansipasi wanita atau mungkin acara ini dibuat karena kebetulan saja bulan April dan kebetulan bahasannya tentang perempuan. Apabila kemungkinan pertama saya benar, maka hal tersebut secara tidak langsung telah diamini oleh Toety Heraty dalam sebuah pengantarnya di buku Selendang Pelangi- 17 Penyair Perempuan Indonesia. Toety Heraty berkata Gerakan perempuan yang mendunia telah menggugah kesadaran perempuan secara meluas….Gelombang pertama menemukan gemanya di tanah air lewat tokoh seperti RA. Kartini awal abad duapuluh. Berikutnya gerakan trans-atlantik ini diawali Simone de Beauvoir di Perancis (1949).

Berdasarkan pernyataan di atas saya memulai untuk menguraikan masalah Perempuan beserta Politik seperti yang ada pada judul di atas, begini lahirlah seorang anak bupati Jepara R.M.A Sosroningrat dengan Ngasirah seorang anak bernama Kartini. Dia hanya diberi izin mengenyam pendidikan Sekolah Rendah Belanda, setelah dia lulus pada usia 12, 5 tahun, dia di masukkan ke dalam kamar pingitan, maka di kamar pingitan tersebutlah yang akhirnya membuat dia diikonkan sebagai pahlawan nasional. Di dalam pingitan tersebut ia banyak menulis surat kepada banyak orang Eropa, di antaranya Nyonya Abendanon, Nyonya M.C.E Ovink-Soer, Nyonya H.G de Booij-Boisevain, dan Estella Zeehandelar (surat Kartini paling banyak datang kepadanya) seorang wanita aktivis gerakan Sociaal Democratische Arbeiderspartij (SDAP). Wanita Belanda ini kemudian mengenalkan Kartini pada berbagai ide modern, terutama mengenai perjuangan wanita dan sosialisme.

Melihat fenomena yang terjadi pada Kartini, bahwa surat-surat yang terhimpun dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang tersebut yang akhirnya membuat dia menjadi tonggak lompatan perempuan ke fase emansipasi, padahal menurut saya Dewi Sartika dalam cerita Pramudya Ananta Toer di bukunya yang berjudul Jejak Langkah juga melakukan korespondensi melalui surat, sahabat penanya tersebut seorang Tionghowa bernama Ang San Mei. Dewi Sartika justru lebih kongkrit lagi, selain menuangkan gagasannya dalam tulisan dia juga merintis sekolah Sakola Kautamaan Istri (1910) yang berdiri di berbagai tempat di Bandung dan luar Bandung. Rohana Kudus (1884-1972) yang didirikan di kampung halamannya. Selain itu juga mendirikan Sekolah Kerajinan Amal Setia (1911) dan Rohana School (1916). Lalu kaitannya dengan soal politik, pengkurasian Kartini sebagai tokoh yang penting bagi perempuan Indonesia bikinan siapa?

Berikutnya, Toeti Herati juga menyebut nama Simone de Beauvoir sebagai tokoh perempuan di Perancis. Pemikiran Beauvoir yang paling monumental adalah dia menolak teori Sigmun Freud seputar Penis Envy. Beauvoir mengkritik tokoh psikoanalisa tersebut bahwa perempuan makluk tidak lengkap dan menolak bahwa perempuan memiliki keterbatasan biologis untuk bisa bereksistensi sendiri. Dia juga menolak lembaga pernikahan karena dianggap borjuis dan merenggut kebebasan perempuan. Atas dasar pemikirannya tersebut dia kerap dijuluki tokoh Feminisme Eksistensialis. Ironisnya, dalam buku Filsafat Kontemporer Perancis tidak disebutkan bahwa Simone de Beauvoir sebagai tokoh filsafat di Negara tersebut. Justru kekasihnya Jean Paul Sartre yang dianggap sebagai tokoh eksistensialisme. Pertanyaannya tentu seperti pemilihan Kartini sebagai pahlawan nasional. Siapa yang melakukan kurasi? Mengapa Beauvoir tidak di daftar sebagai tokoh Filsafat Perancis? Maka secara bulat telah saya simpulkan jawabannya bahwa politiklah yang menaikkan ataupun menghilangkan peran seseorang.

Hubungannya dengan sastra, atau bila ingin lebih meruncing hubungannya dengan puisi maka hal di atas mampu merepresentasikan fenomena yang terjadi di pergaulan sastra kontemporer, seringkali posisi penyair atau penulis sastra lainnya dipolitisi oleh beberapa hal. Hal pertama sejauh mana dia membangun jaringan dengan orang lain, hal ke dua sejauh mana isu yang diangkat dalam tulisannya, sedang hal yang berikutnya adalah masalah yang sedang hangat yaitu, apa jenis kelamin penulis tersebut? Saya kerap kali berfikir adakah yang sudah subjektif di dunia ini? Semua penyair ataupun sastrawan dipilih berdasarkan kepentingan si pemilih. Namun yang paling membuat saya makin berfikir lagi, adalah masalah yang terakhir.

Di pergaulan sastra kerapkali kita menemui kelompok sastra ataupun penghargaan yang diperuntukkan bagi perempuan, untuk menyebutkan beberapa nama, yaitu buku suntingan Toeti Herarty yang saya kutip di atas kumpulan puisi Selendang Pelangi- 17 Penyair Perempuan Indonesia, Surat Putih 1, dst. Pengkategorian khusus perempuan tersebut saya pikir menjadi sangat tidak feminis, karena toh laki-laki tak pernah membuat kumpulan karya khusus laki-laki. Pembuatan kumpulan khusus perempuan tersebut secara tidak langsung akan menguatkan posisi laki-laki sebagai seorang yang Super Hero dan tak bisa dikalahkan, saya pikir perempuan yang melakukan pengelompokan semacam itu telah terhasut propaganda politisasi perempuan.

Selanjutnya bila menyebut kesusastraan luar Eksklopedi Sastra Dunia yang ditulis oleh Anton Kurnia juga membuat saya merasa tidak nyaman, karena dia melakukan pengotakan sebagai berikut, Seratus Buku Sastra Terpilih Karya Perempuan, Seratus Novel Terbaik Abad Keduapuluh, Seratus Novel Gay dan Lesbian Terbaik, dll. Pengotakan tersebut membuat pembaca buku tersebut seolah-olah mengategorikan perempuan sebagai kaum yang “khusus“ sehingga harus dikotak-kotakkan dan seolah perempuan di luar perspektif normal/tidak umum dan sebanding dengan kaum gay serta lesbian yang tengah melakukan perlawanan terhadap identitas mereka.

Dari uraian di atas, saya mengambil kesimpulan bahwa dunia sastra penuh dengan politisi golongan tertentu yang memiliki kepentingan terhadap penyair ataupun penulis sastra lainnya, sehingga ada baiknya kita menulis tanpa tendensi apapun dan menghilangkan perspektif sempit bahwa penulis yang memiliki akses yang baik berbanding lurus dengan karya yang baik pula. Terpenting saat ini adalah: Menulis! Menulis! Menulis!

Yogyakarta, 14 April 2011.

Tulisan ini merupakan makalah yang dibacakan penulisnya pada acara Diskusi Perempuan dalam Puisi di Balai Soedjatmoko Solo, 16 April 2011.
http://www.bentarabudaya.com/detail-peristiwa/perempuan-politik-dan-puisi

Leave a Reply

Bahasa »