Ayung Notonegoro
langgar.co
Berbicara sejarah Banyuwangi, tak bisa terlepas dari arsip-arsip Belanda. Terhitung sejak 1767, kolonialisme Belanda telah bercokol di Bumi Blambangan. Lebih-lebih, tak banyak sumber lokal yang bisa dirujuk sehingga hal ini menempatkan arsip Belanda menjadi sumber primer.
Celakanya, arsip-arsip Belanda tersebut, melahirkan dua kesulitan sekaligus. Pertama, arsip-arsipnya hampir tak ada yang tersimpan di Banyuwangi. Jika tidak di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) di Jakarta, ya ada di Lieden, Belanda. Butuh waktu, tenaga dan juga biaya, bukan?
Soal bahasa adalah ihwal yang lebih menyulitkan lagi. Semua arsip tersebut, sudah barang tentu berbahasa Belanda. Bahasa yang berlaku pada masa itu. Tak banyak penggiat sejarah di Banyuwangi yang memiliki kompetensi tersebut.
Di tengah kesulitan demikian, datanglah seorang bernama Pitoyo Boedi Setiawan. Ia dilahirkan dari pernikahan seorang serdadu sukarelawan berkebangsaan Belanda yang menikahi blesteran Jawa-Negro. Ia lahir dan tumbuh di Purworejo, Jawa Tengah bersama kelima saudaranya.
Pada masa Jepang, ia bersama beberapa saudaranya sempat di tahan. Kemudian, dilepaskan setelah pasukan Dai Nippon itu hengkang usai Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Tiga saudaranya, mengikuti kewarganegaraan sang ayah dan tinggal di Belanda, sedangkan Pitoyo bersama seorang saudaranya memilih tetap menjadi warga Indonesia.
Pitoyo tinggal di Surabaya, ia bekerja di pelayaran sekaligus memiliki biro travel. Di kota itu ia membangun biduk rumah tangga pertamanya. Meskipun akhirnya harus bercerai, namun perceraian itu menjadi titik balik bagi kehidupannya. Setelah bercerai dengan istri pertamanya, ia memutuskan untuk pindah ke Banyuwangi. Ia meminang seorang gadis yang dikenalnya kala mengantar tamu dari Perancis untuk berwisata di Banyuwangi dan Bali. Perempuan yang disuntingnya tersebut adalah Artatik. Seorang janda dari seniman Banyuwangi, Fatrah Abal.
Keputusan Pitoyo menikahi Artatik dan memilih tinggal di Banyuwangi, mengantarkan hidupnya pada takdir yang lain. Kemampuannya berbahasa Belanda (dan juga Inggris) sejak kecil, menjadikannya sebagai penerjemah arsip-arsip Belanda tentang Banyuwangi.
Dwi Pranoto, seorang penggiat sejarah di Banyuwangi mendapat tugas untuk mencari sejarah lahirnya Banyuwangi. Ia pun mengakses arsip-arsip Belanda di ANRI. Arsip-arsip tersebut kemudian diserahkan kepada Pitoyo untuk diterjemahkannya. Bisa jadi, Pranoto mengetahui kemampuan Pitoyo itu dari Fatrah Abal. Meskipun telah bercerai, ia masih menjalin hubungan baik dengan bekas istrinya itu, bahkan dengan suami barunya.
Dengan penuh ketekunan, Pitoyo menerjemahkan arsip-arsip tersebut. Bahkan, ia meminta saudaranya di Belanda untuk mengakses arsip-arsip lain yang tersimpan di Belanda. Atas jasa-jasanya inilah, banyak kisah tentang Banyuwangi yang terkuak. Mulai dari peperangan Puputan Bayu (1771 – 1772) hingga perkembangan tari Gandrung yang menjadi ikon Banyuwangi.
Hasil terjemahan dari Pitoyo itulah kemudian menjadi rujukan para penulis dan penggiat sejarah di Banyuwangi. Seperti terjemahnya atas De Indische Gids II yang ditulis oleh C. Lekkerkerker (1923), Blambangansch Adatsrecht karya Dr. Y.W. de Stoppelaar (1926), hingga Gandroeng van Banjoewangi karya John Scholte (1927).
Sampai saat ini, hasil terjemah dari Pitoyo tersebut, masih berupa manuskrip. Tulisan tangan, yang pernah diterbitkan – sejauh pengetahuan penulis – hanya Blambangansch Adatsrecht. Karya tersebut diterbitkan oleh Pusat Studi Budaya Banyuwangi (PSBB) pada 1991 dengan judul Hukum Adat Blambangan.
Selain itu, karya terjemah Pitoyo hanya ditemukan dalam kutipan di artikel karya penulis-penulis Banyuwangi. Seperti Hasan Ali, Fatrah Abal, Dwi Pranoto, Armaya dan lain sebagainya.
Karya terjemah Pitoyo atas arsip-arsip Belanda itu, kini kembali menggema. Sengker Kuwung Belambangan, sebuah NGO kebudayaan berbasis di Banyuwangi kembali menerbitkan karya terjemah Pitoyo. Kali ini adalah terjemah jilid kesebelas dari De Opkomst van het Nederlandsch gezag in Nederlandsch-Indie/ Java yang disunting oleh Jhr. Mr. J.K.J de Jonge dan M.L. van Deventer.
Terjemah yang diterbitkan dengan judul Belanda di Bumi Blambangan: Naskah-Naskah Arsip Kolonial Lama yang Belum Diterbitkan (Oktober: 2018) itu, memang tak keseluruhan. Hanya beberapa bagian buku saja yang diterjemahkan. Utamanya yang berkaitan langsung dengan Banyuwangi. Paling banyak adalah arsip berupa surat yang ditulis oleh seorang Gubernur Jendral Hindia Belanda G.J Petrus Albertus van der Parra (w. 1775), ada delapan surat yang diterjemahkannya. Adapula empat arsip yang ditulis oleh Johannes Vos, seorang Gubernur dari Pesisir Timur Laut Jawa yang menjabat pada 1761-1765.
Setidaknya, ada tiga orang yang turut berjasa dalam mewujudkan buku primer dalam kajian sejarah Banyuwangi ini. Ialah Kang Munawir dan Banjoewangi Tempoe Doeloe (BTD) yang telah meluangkan waktu untuk mengarsipkan manuskrip terjemah karya Pitoyo dan mengetiknya ulang. Kemudian, Mas Emha Aji Rawamidi yang mengeditorinya, serta Mas Antariksawan Jusuf yang berusaha untuk mewujudkannya sebagai buku.
Waba’du, buku ini amat penting untuk para pengkaji sejarah Banyuwangi. Menyajikan sumber-sumber primer. Namun, bagi kalangan pemula (awam), membaca buku ini perlu bacaan-bacaan pendamping agar bisa mengerti alur ceritanya dengan baik. Selain Ujung Timur Jawa 1763-1813: Perebutan Hegemoni Blambangan (Yogyakarta: Pustaka Ifada, 2012) karya Sri Margana, juga ada Suluh Blambangan 1 & 2 (Banyuwangi: SKB, 2017) karya M. Hidayat Aji Rawamidi.
Selamat Membaca.
https://langgar.co/pitoyo-sejarah-banyuwangi-dan-naskah-naskahnya/