Fragmen-Fragmen “Agama Bumi”

Dwi Pranoto *

Penderitaan agama, pada saat yang bersamaan, adalah ekspresi pendertiaan nyata dan gugatan terhadap penderitaan nyata.  Agama adalah erangan dari makhluk yang tertindas, jantung dari dunia yang tak berjantung,  dan jiwa dari kondisi-kondisi yang tak berjiwa. Agama adalah candu masyarakat.
– Karl Marx, 1844 ; Introduction to Critique of Hegel’s Philosophy of Right.

Tahukah kamu orang-orang yang berdusta, menipu, dan berkhianat pada agamanya, pada nilai-nilai asasi dalam diri dan masyarakatnya?
– Taufiq Wr. Hidayat, 2019; Agama Para Bajingan, hal. 133.

Agama adalah ilahiah, namun untuk berhubungan dengan manusia, agama harus dipahami oleh manusia. Dengan kata lain, agama harus membumi. Sebagai ajaran yang membumi, agama harus mempunyai karakteristik bumi, seperti diajarkan oleh makhluk bumi (manusia), menggunakan bahasa dan tulisan bumi (dapat dipahami oleh manusia). Namun demikian, setelah mendapatkan bentuknya yang membumi – manusia pembawa ajaran, bahasa, dan kitab – , lantas di mana agama harus diakarkan? Apakah ia harus diakarkan pada alam ilahiah ataukah diakarkan pada bumi?

Agama Para Bajingan, karya Taufiq Wr. Hidayat, tampaknya dengan tegas menyatakan bahwa agama harus diakarkan ke bumi. Dalam tulisan-tulisan yang mungkin bisa dikatakan fragmen-fragmen, agama diletakan di tengah-tengah masyarakat. Bukan hanya ditumbuhkan di tengah-tengah kelompok masyarakat yang papa sebagai tangan-tangan yang mengelus luka dan pendertiaan. Agama berdiri sebagai penentang versi agama bumi yang lain.

Oleh karena sifatnya yang membumi, agama juga tak kebal terhadap pencemaran. Apa yang dimaksudkan pencemaran di sini bukan konsep penistaan agama yang ada di KUHP, namun agama digunakan untuk menentang ciri interinsik agama itu sendiri, yakni kebajikan yang dapat berupa rasa simpati dan empati pun juga akal(budi). Oleh karenanya, bagi Taufiq, agama dapat menjadi “agama setan”, “agama marah”, “agama kebencian”, dan “agama pelarian”.

Tulisan-tulisan Taufiq dalam Agama Bajingan tampaknya bersifat intetekstualitas dengan fenomena atau tren bergama tertentu pada hari ini. Sebagai misal, tulisan-tulisan Taufiq tampak menanggapi tren hafal Al-Quran yang menjadi simbol kesalihan bergama belakangan ini yang ditunjukan dengan promosi gencar-gencaran berbagai lembaga pencetak hafidz, pom-pom bensin yang menjanjikan bensin gratis bagi konsumen yang hafal sekian juz Al-Quran, dan sejenisnya. Bagi Taufiq, teks agama bukan segalanya, ia harus dilengkapi dengan perbuatan nyata.

Agama Para Bajingan mengisari problem-problem penyelewengan agama dalam bentuk fragmen-fragmen yang dibingkai dengan bahasan terhadap karya sastra, filsafat, dan perayaan-perayaan kegamaan tradisional. Agama Para Bajingan seperti memberikan jalan alternatif , atau mungkin lebih tepatnya mengingatkan, bahwa diantara cara-cara beragama yang hanya menonjolkan simbol-simbol formal agama dan dipelajari dengan cara instan, ada cara beragama yang substantif dan tidak meninggalkan masalah-masalah sosial masyarakat yang hanya dapat dipelajari dengan sungguh-sungguh untuk mendapatkan pengetahuannya. Namun demikian, mungkin akan lebih baik jika problem-problem penyelewengan agama dapat disajikan secara lebih mendalam dengan memaparkan, semisal, apa yang menyebabkan terjadinya penyelewengan agama? Mengapa agama yang dianggap suci tak kebal terhadap penyelewengan? Saya kira masalah ini tak cukup hanya diketengahkan sebagai problem hasrat-hasrat individual tanpa mendongkel akarnya berupa struktur persepsi masyarakat atas agama. Di samping itu, barangkali Taufiq juga mesti awas terhadap versi agama bumi yang dibelanya, kecenderungannya terhadap penderitaan umat manusia yang menyingkapkan aspek eksatologi-revolusioner ajaran agama, bagaimanapun, dapat melahirkan pemimpin populer yang dapat tergelincir pada kepemimpinan totaliter.
*****

*) Dwi Pranoto, sastrawan dan penerjemah. Tinggal di Jember, Jawa Timur.

Leave a Reply

Bahasa »