Kecongkakan Akademik dalam Kritik Sastra

Salam buat Pak Guru Biologi

Ahmad Tohari
Majalah Horison, Maret 1984

Novel saya Ronggeng Dukuh Paruk (RDP), Gramedia 1982 mendapat kehormatan dibicarakan oleh banyak pengamat dan ahli sastra. Sebagai pemain alam yang bahkan sukar melakukan studi kepustakaan, pembicaraan para pengamat dan ahli sastra tersebut amat menguntungkan saya. Jadilah saya seorang petatar yang begitu ikhlas dan setia mendengarkan ceramah para penatar. Semua saya lakukan demi peningkatan pengetahuan saya di bidang sastra.

Sikap ini secara konsisten saya pertahankan juga ketika mambaca tulisan F. Rahardi (FR), “Cacat Latar yang Fatal” (Horison, Nomor 1 tahun 1984). Tetapi kemudian saya terkejut ketika membaca suara FR : “Sayang, sastrawan kita pada umumnya mau cepat melejit lalu hantem kromo begitu saja”.

Karena FR sedang membicarakan RDP, maka sayalah yang merasa paling terkena oleh pernyataan yang sangat tidak simpatik ini, sebuah pernyataan yang sama sekali tidak layak keluar dari seorang yang konon punya jabatan redaktur sebuah majalah yang berkeintelekan. Pernyataan itu bersahaja. Tetapi mengenai langsung hati seorang dusun – yang seperti demikian adanya – tak pernah bermaksud cepat melejit dan main hantam kromo dalam arti apa pun juga. Bahkan sebagai orang baru dalam penulisan novel, amit-amit, saya masih risi disebut orang sastrawan.

Baiklah. FR telah keluar garis obyektif dalam kritiknya terhadap RDP, dan inilah kecerobohannya yang paling besar bila diingat FR pun seorang penulis. Maka saya pun telah diundangnya untuk berbuat sesuatu yang saya sendiri tak suka; menanggapi sebuah kritik sastra yang seharusnya ditulis “kritik sastra”.

Tulisan FR tersebut sebetulnya telah dikirim ke Kompas 12 Oktober lalu sebagai surat pembaca. Kemudian saya dihubungi oleh Gramedia berkenaan dengan surat pembaca yang dikirim FR, agar saya menanggapinya. Ketika saya datang ke Gramedia, 3 November 1983 dengan surat tanggapan, ternyata FR telah mencabut suratnya sehari sebelumnya. Jadilah, draft surat pembaca yang sudah di ACC itu gagal muncul di Kompas.

Saya kecewa menghadapi sikap FR yang tidak konsisten ini. Padahal ketika itu saya ingin menyatakan rasa terimakasih karena FR mau menunjukkan beberapa kesalahan saya yang bersifat pasti. Bersamaan dengan itu saya mengajak FR berdialog tentang hal-hal yang menurut FR adalah “kejanggalan yang menyolok” tetapi menurut saya sama sekali tidak. Juga ingin saya buktikan bahwa seorang seperti FR masih bisa berfikir hitam-putih, linier, bahkan tercium bau kepongahan akademiknya.

Kini setelah sedikit dipermak, tulisan yang semula dikirim FR ke Kompas, muncul di Horison dengan jiwa subyektif yang lebih menyolok. Sudah saya akui bahwa dalam menulis RDP saya melakukan beberapa kesalahan, antara lain pernyataan saya bahwa krokot adalah jenis kaktus, bahwa kodok termasuk reptil dan bahwa dalam hal membunuh manusia racun bongkrek telah mematikan sel-sel darah merah. Saya tak bisa lain kecuali meminta maaf kepada Gramedia dan para pembaca atas kekhilafan ini. Saya sebut kekhilafan sebab pada dasarnya saya juga pernah belajar biologi meski hanya sampai taraf sekolah dasar.

Rasanya tak pernah diragukan lagi bahwa faktor kebenaran ilmiah merupakan bagian penting yang menopang kemantapan sebuah karya fiksi. Saya yang masih baru pun menyadari betul hal ini. Lalu mengapa seorang seperti saya masih juga melakukan kesalahan, jawabnya tak usah berbelit-belit : manusiawi! Selagi sebagai pihak yang melakukan salah bersedia memperbaiki diri, dan pihak yang menunjukkan kesalahan (dalam hal ini FR) bertindak dalam garis kewajaran, maka kebaikan akan diperoleh oleh semua pihak. Habis perkara.

Atau, taraf kesalahan tertentu memang menjadi relatif bila dilihat oleh berbagai pihak. Misalnya, dalam terjemahan Laki-laki Tua dan Laut, Sapardi Djoko Damono menulis “kura-kura” yang seharusnya “penyu”. Dan Romo Mangun menyubut wijen termasuk jenis rumput. Kedua-duanya adalah kesalahan. Dan seorang redaktur majalah pertanian boleh berhirup-pikuk dalam menaggapi kesalahan itu. Tetapi jangan salahkan awam dan tak usah ajak mereka berhura-hura. Sebab dalam hal fiksi bagaimana juga pesan sastralah yang terpenting, tanpa mengurangi kedudukan terhormat kebenaran ilmiah di dalamnya, dan tanpa mengingkari nilai ideal bahwa sebuah karya fiksi menjadi lebih baik bila tidak disertai kesalahan-kesalahan ilmiah.

Bukan hanya FR seorang yang mengetahui kesalahan Sapardi atau Romo Mangun, melainkan juga seorang dusun seperti saya. Lalu salahkah saya bila saya tak tertarik buat meributkan kesalahan kedua penulis tenar itu karena perhatian saya lebih terpusat kepada keindahan pesan sastranya? Tidak! Sebab saya sadar betul yang sedang saya hadapi adalah buku sastra, bukan buku pelajaran biologi milik adik saya. Antara keduanya pasti ada jarak meski – seperti yang sudah saya katakan – faktor kebenaran ilmiah tidak boleh diabaikan begitu saja.

Saya merasa sama dengan FR dalam hal penghargaan terhadap kebenaran ilmiah. Bedanya, sebagai anak dusun saya langsung belajar terhadap alam, sementara FR lebih banyak berdiri di atas tumpukan referensi dengan sikap yang pongah pula. Kepongahan itu terbukti dari anggapannya bahwa apa saja yang terdapat di dalam buku teks merupakan kebenaran mutlak, tanpa kecuali. Terdapat kesan pula bahwa FR menganggap kebenaran buku teks sudah meliputi semua aspek biologi dengan hukum-hukumnya yang tegar dan lurus. Sementara itu seorang anak Dukuh Paruk masih tetap dalam fitrahnya, menganggap hukum-hukum alam tetap bersifat nisbi karena hanya Sang Pencipta Alamlah yang punya sifat mutlak. Masih ada lagi, FR menolak kebenaran yang tidak disebutkan dalam referensi meskipun kebenaran itu merupakan pengetahuan elementer bagi anak-anak dusun. Aneh, seorang yang bangga dengan “yang serba ilmiah” berwatak integris demikian, suatu watak tertutup yang tidak bisa disebut sebagai ciri fikiran orang yang maju. Contohnya, dengan gaya mencemooh FR menolak pernyataan saya bahwa ular hijau memakan burung (dalam suratnya kepada Kompas yang ditariknya kembali). Saya tahu alasan FR satu-satunya; dia tidak menemukan keterangan demikian di dalam buku teks. Dan sikap pongah ini hanya mungkin diubah bila FR meninggalkan menara gadingnya, meninggalkan textbook-thinking dan lebih banyak terjun ke lapangan. Saya berharap FR bukan hanya akan menjumpai ular hijau memakan burung malainkan juga kerbau yang “ngasin” makan tanah, tikus busuk (pemakan serangga) yang menangkap katak buat dimakannya, dan keblek (kelelawar yang “blak-blek” mengepakkan sayap di atas tanah halaman) yang mencari kepik tahi, tetapi pada akhirnya tahi kotok dimakannya juga. Nah, saya tidak tahu bagaimana sikap FR ketika membaca sajian King Features Syndicate yang pernah melalui The Ripley’s True Life Adventures membuat kesaksian burung tekukur (pemakan biji-bijian) namun pada saat-saat tertentu ikut nimbrung makan laron. Protes?

FR mengatakan dalam suratnya bahwa sulit bagi ular hijau buat menangkap seekor burung. Menurut alur pikiran demikian maka akan jauh lebih sulit bagi burung hantu buat menangkap ikan karena burung itu jelas bukan jenis unggas air dan kakinya tanpa sirip, tidak seperti itik. Biarlah FR dengan semangat buku teksnya. Tetapi bagi anak-anak dusun memang demikian adanya. Burung hantu bisa menyelam dan menangkap ikan. Kami suka mengikat paruh anak burung hantu agar jatah ikan yang diberikan induknya utuh, buat kami.

Apabila FR memustahilkan ular hijau makan burung, maka tentu saja dia begitu heran mendengar kelelawar makan daun waru. Begini. Apabila kemarau terlalu panjang maka populasi serangga mestinya merosot. Maka kelelawar menyimpang dari kebiasaannya dan makan dedaunan, dalam hal ini daun waru. Saya hanya bisa mengatakan itu fakta. Bahkan ketika di kampung kami dilakukan penyemprotan hama wereng dari udara, maka pada hari berikutnya bukan hanya daun waru yang dimangsa kelelawar, melainkan juga daun lembayung. Believe it or not, terserah kepada FR. Hanya saya yakin fakta penyimpangan itu tidak atau belum tercantum dalam buku-buku teks. Apabila sampai terjadi keterlambatan pencatatan fakta ilmiah semacam ini siapakah yang pantas dituduh teledor, anak dusun seperti Rasus ataukah seorang kutu buku seperti FR. Atau kalau saya bertanya mengapa ayam kampung sebagian besar menetaskan telurnya pada hari Jumat, apakah kira-kira FR bisa menemukan jawabnya dalam buku pelajaran biologi sekarang ini?

Kepongahan akademik FR tampak lagi ketika dia bicara soal burung alap-alap dan pipit. Dalam RDP saya tidak menulis alap-alap menyambar pipit dengan paruhnya, melainkan menggigit pipit dengan paruhnya. Bahwa sebelum menggigit mangsanya alap-alap itu lebih dulu menyambar dengan cakarnya, pasti benar. Tetapi apakah nalarnya buat menyalahkan pernyataan saya di atas? Atau kalau FR adalah anak Dukuh Paruk, maka akan sulit baginya menentukan jarak waktu antara menyambar dan menggigit itu. Hampir bersamaan! Betul alap-alap menyambar mangsanya dengan cakar. Tetapi pada detik yang hampir bersamaan paruhnya beraksi. Dan sesaat sebelum hinggap pada dahan, alap-alap harus memindahkan mangsanya dari cakar ke mulut. Kalau tidak, dia tidak akan bisa hinggap.

Sesuai dengan kemampuan RDP saya tulis pada taraf wawasan awam. Kala dua ekor bangkong sedang bergendongan di dalam air, kami yang awam akan mengatakan kedua binatang itu sedang kawin. Tentu saja bukan hanya FR yang tahu bahwa bangkong menempuh cara fertilisasi eksternal. Rasus pun tahu, meski dia hanya tamatan paket kejar. Masalahnya Rasus memperhitungkan bahwa kebanyakan pembaca adalah awam dalam biologi seperti dirinya sendiri. Lalu saya menulis : “Yang bersuara dengan selang waktu yang jarang adalah katak pohon”. Menurut logika FR maka tak ada katak dari species lain yang bersuara jarang atau lebih jarang. Aneh, siapa pula yang menyuruh FR berlogika demikian. Pernyataan saya di atas jelas tidak menutup pintu bagi pernyataan lain bahwa katak hijau, katak batu serta rana-rana lain juga bersuara jarang.

Dan fikiran linier FR muncul lagi beberapa kali. Saya katakan bahwa pohon dadap menyebar bijinya dengan kulit polong yang terbang berputar sebagai baling-baling. Bahwa yang mempunyai ciri demikian adalah jenis dadap srep, memang. Tetapi haruskah saya menyertakan keterangan bahwa ada dadap lain yang tidak demikian? Kalau misalnya saya menulis kerbau berkulit kehitam-hitaman, haruskah saya juga menyertakan keterangan selanjutnya bahwa ada kerbau yang bule, bahkan belang? Menurut saya, sama sekali tidak perlu selama RDP adalah sebuah novel, bukan buku pelajaran biologi.

Sungguh membosankan mengikuti jalan fikiran FR. Tetapi saya memang ingin membuktikan bahwa sikap yang terlalu bersemangat hampir selalu membuat orang meninggalkan kewajaran. FR mempersoalkan kalimat saya : “Langit pekat meski hujan belum turun. Selagi tanah basah jangkrik dan gangsir malas berbunyi”. Hujan belum turun, kenapa tanah sudah basah? Begitu pikiran FR. Begitu hitam-putihnya jalan fikiran FR sehingga dia bertanya demikian. Menurut saya bisa terjadi bahkan banjir sepanjang hari meski pada hari yang sama tak ada jatuh hujan. Darimana banjir? Tentulah dari hujan yang jatuh pada periode waktu sebelumnya. Mana yang rancu, kalimat saya atau logika FR?

Soal lampu juga tak luput dari pengamatan FR yang super jeli. Silakan buka kembali RDP. Ketika saya melukiskan adegan Srintil menari dengan penerangan lampu bercincin, kelompok ronggeng belum resmi terbentuk. Baru kali pertama dicoba. Dalam situasi demikian yang justru masuk akal adalah aspek praktis. Buat penerangan misalnya, pakai saja lampu yang biasa dipasang pada ruang depan. Apa yang janggal dan apa pula yang aneh. Mau sewa lampu pompa? Lha, wong baru jajal-jajalan, Mas!

Gaplek. FR membayangkan singkong yang dikeringkan itu tersimpan rapi dalam suatu tempat di sebuah balai penelitian pasca panen. Di sana memang gaplek bisa berada dalam kondisi prima. Tetapi cobalah sekali-kali ke Gunung Kidul atau Wonogiri. FR tak mungkin bisa tertawa bila melihat kondisi penyimpanan gaplek cara tradisional. Ya dimakan ngengat, ya ditumbuhi jamur, ya lembap keadaannya. Dalam keadaan demikian pasti (saya ulang, pasti!) karbohidrat yang dikandungnya rusak. Rasanya pahit dan keasam-asaman. Silakan coba.

Kamitua. FR menafsirkan kata ini mutlak dalam kaitannya dengan UU nomor 5 tahun 1979. Salut buat dia yang pergi ke mana-man sambil mengepit buku. Dan saya memang tidak sejauh itu. Sekali lagi RDP memang ditulis atas dasar wawasan awam. Kamitua, menurut pengertian saya yang awam ini adalah figur yang dituakan dalam suatu kelompok atau urusan tertentu. Misalnya kamitua (sesepuh) trah Raharden adalah Bapak F. Rahardi, misalnya. Atau orang yang dituakan dalam kegiatan pembangunan sebuah mushallah bisa juga disebut kamitua proyek tersebut. Cacatkah pengertian saya ini? Menurut FR, tentu. Tetapi silakan tanya dulu mereka yang awam di kalangan awami. Dan anehnya justru pengertian kamitua menurut UU tersebut tidak saya temui di daerah Banyumas. Di sana hanya ada lurah (atau penatus), kemudian bau, carik, Polisi desa, kebayan, kayim. Kamitua? Tidak ada. Lalu kalau saya diminta FR untuk menyebut istilah yang betul, aturan mana yang mesti saya pakai? Tolonglah saya ini.

Di kampung saya, semut besar berwarna merah bernama burangrang, klangkrang, krangkrang, klangrang, dan masih ada beberapa nama lagi. Bila di tempat lain semut besar itu bernama lain pula, wajar. “Pare” di Jawa Tengah adalah sejenis buah sayuran yang pahir rasanya (eh, tolong sebut nama menurut binomium nomenklatur-nya). Tetapi “pare” di tanah Pasundan adalah “padi”. Gaplek di kampung saya adalah singkong kering. Tetapi di kampung lain, masih di Banyumas, gaplek adalah ampas kelapa (tepatnya, bungkil buatan pabrik). Kalau saya mau menyebut gejala perbedaan makna kata ini sebagai sebuah kecerobohan, apa kira-kira dalil yang bisa saya gunakan?

FR juga memustahilkan ada bianglala di barat pada sore hari. Memang begitulah rumus umumnya. Namun saya persilakan FR membuat percobaan sederhana. Pagi-pagi, semprotkan air dengan mulut ke arah timur. Jangan kaget bila gejala bianglala pun bakal tampak. Bingung? Mintalah keterangan seorang anak SD. Dia akan mengatakan bahwa sinar pantulan pun bisa juga menghasilkan gejala bianglala. Apa pula bila yang memantulkan cahaya matahari adalah segumpal awan.

Kalau saya akan menyebut sebuah naif terbesar bagi seorang ahli biologi (tanda kutip) seperti FR adalah pernyataannya bahwa capung tidak pernah hinggap di atas tanah. Bagaimana, ya. Inilah kepongahan seorang yang terlalu lama mendekam di menara gading yang beratap tempurung sambil tekun membaca buku-buku teks, tetapi tak sekali pun menoleh ke jendela. Baik. Saya akan berusaha percaya bahwa capung yang suka mengapung di udara itu tidak pernah hinggap di tanah. Untuk ini FR harus menunjukkan bukti yang lebih kuat daripada pengetahuan elementer kami : capung dari hampir semua jenisnya sering hinggap di tanah. Kami yakin, seyakin akan terbitnya matahari besok pagi!

Kadal memang merayap pelan-pelan ke arah mangsanya. Itu betul. Tetapi FR tidak akan bisa menjamin bahwa kadal akan berhasil menangkap mangsanya pada kesempatan pertama. Kalau terjadi demikian kadal akan terus mengejar capung atau belalang yang dilihatnya. Kadal juga akan berlari mengejar mangsa yang bergerak. Pokoknya soal kadal nyelonong mengejar capung, bagi siapa saja kecuali FR adalah perkara wajar, sungguh wajar. Justru takaran ini yang paling pantas dipakai oleh seorang penulis fiksi, bukan takaran para ahli tingkahlaku binatang.

Ironisnya FR sendiri membuat kesalahan yang (apa namanya) ketika menulis sebuah cerpen dalam majalah ini. Dia katakan ada kucing yang selalu menerkam burung merpati. Nanti dulu, Mas. Kucing jenis apa itu. Soalnya kucing di kampung saya kok tidak mau menerkam anak ayam, yang justru lebih gampang daripada menerkam merpati. Tetangga saya memelihara segudang merpati, kucing dan anjing sekaligus. Mereka ayem-ayem saja. Apakah kucing dalam cerpen FR itu telah makan obat perangsang? Atau kucing hutan yang kesasar. Memang dalam cerpen FR dikatakan sang kucing sedang menyusui anak-anaknya, jadi biasanya lebih buas. Tetapi apakah tak ada mangsa lain kecuali merpati . . . melulu.

Masih tentang kucing tetapi di luar cerpen FR. Cobalah perhatikan kucing-kucing di kota-kota besar yang kurang bernafsu menerkam tikus lantaran banyak sisa makanan di bak-bak sampah. Malah saya melihat dengan mata kepala ada kucing tenang-tenang saja meskipun seekor tikus berlalu di dekatnya. Ini perlu saya kemukakan karena saya percaya bahwa dalam hidup ini selalu terjadi penyimpangan-penyimpangan. Saya juga percaya, penyimpangan demikian menjadi unsur penting dalam perkembangan berbagai bentuk dan aspek hayati. Pada kenyataannya teori evolusi bermula dari penyimpangan hukum biologi.

Jerapah, misalnya. Ketika makanan masih cukup tersedia di permukaan tanah, lehernya biasa. Tetapi karena terjadi perubahan maka makanannya harus didapatnya dari pohon yang tinggi. Dia beradaptasi dan sebagai konsekuensinya, lehernya molor demikian panjang. Konon pula, homo sapiens pada mulanya pinthecus, kemudian berevolusi menjadi pinthecanthropus yang tidak erectus, seterusnya menjadi pinthecanthropus erectus. Persetan dengan ada-tidaknya the missing link toh banyak sekali orang percaya bahwa dari mamalia kelompok primata-lah akhirnya terjadi bentuk homo sapiens. Kita perhatikan, “pada awal cerita evolusi” pasti terjadi penyimpangan-penyimpangan norma biologi. Kalau demikian mengapa saya harus heran ada kelelawar melalap daun waru atau lembayung, atau tupai mengganyang si kaki seribu? Mengapa pula ada orang menganggap aneh ada bunga sedap malam tumbuh di Dukuh Paruk, apalagi bila diingat ronggeng di sana (sebelum Srintil tentunya) sering dibawa ke tempat plesiran seperti Baturaden dan kembali membawa kembang “elite” itu?

Akhirnya. Saya telah berkata kelewat banyak. Namun saya sesungguhnya hanya ingin berkata kepada FR, “Wajar-wajar sajalah”. RDP tentu saja bukan sebuah masterpiece. Membandingkannya dengan The Old Man And The Sea, rasanya terlalu ekstrem dan tidak adil. Sama tidak adilnya bila saya membandingkan FR dengan pengamat sastra yang mana pun juga. Saya sendiri sejak semula sadar akan banyaknya kekurangan pada RDP dan makin banyak kekurangan yang saya ketahui setelah membaca resensi dan kritik terhadap RDP. Menunjukkan kesalahan dan kekurangan yang terdapat dalam RDP selalu saya terima dengan tulus dan rasa terimakasih. Namun persoalannya menjadi sedikit bergeser kalau ada orang mengatakan saya mau cepat melejit lalu main hantam kromo begitu saja.

Boleh jadi FR hendak menulis lebih lanjut setelah membaca tulisan ini. Silakan. Tetapi dari pihak saya, cukup sekali ini saja. Terus terang saya tidak bernafsu untuk melakukan polemik.
***

Tinggarjaya, 20 Februari.’80
https://frahardi.wordpress.com/2010/10/29/polemik-f-rahardi-dan-ahmad-tohari/

Leave a Reply

Bahasa »