“Aku akan segera bergabung dengan masa silam alias akan dipanggil oleh Tuhan”, kata seorang kiai di suatu sore kepada santri-santrinya. “Aku akan segera berlalu, masaku akan segera dikuburkan. Kamu sekalian para santri sekarang mulai menapaki masa peralihan dan anak-anakmu akan menjadi penghuni jaman baru yang dahsyat dan mengagumkan sesudah orde yang sekarang”.
“Sami’na wa ‘atho’na..”, kata para santri dengan penuh ta’dzim. “Hamba mohon wahai pak kiai tancapkanlah cahaya yang menerangi cakrawala hamba jalani”.
Sang kiai terkekeh-kekeh. “Bahasa dan tata prilakumu semacam itu adalah bahasa generasiku. Sehingga besok akan terkubur bersamaku dan bahasamu yang bisa dikenal oleh masyarakat adalah bahasa Rap, bahasa extacy, dan bahasa-bahasa yang makin tidak mengenal sopan santun.
Hei berlatihlah untuk meninggalkan upacara dan sopan santun yang barbagai dan bertele-tele semacam itu. Kemudian mulailah satu cara hidup yang praktis, yang prakmatis, yang efektif dan efisien. Kemudian karena engkau adalah bapak dari anak-anakmu kelak, dan cara hidup baru itulah modal utama yang engkau ajarkan kepada anak-anakmu, agar mereka sanggup berlari seirama dengan jaman yang mereka jalani. Cara hidupmu yang bertele-tele jangan engkau warisi dan jangan engkau wariskan kepada generasi dibawahmu agar mereka tidak digilas oleh buldoser oleh suatu makhluq baru yang esok lusa akan lahir semakin banyak lagi”
Si santri bertanya, “Apa nama makhluq baru itu pak kiai..?”
Sang Kiai menjawab, “namanya Al Khonglomeraat..”
“Makhluq apa itu gerangan pak kiai..?!”
“al khonglomeratu kabirun jiddan.. tubuhnya sangat besar.. salah satu kakinya di pantai teluk jakarta, kaki lainnya di gunung sebelah selatan Surakarta”
“Pak kiai.. itu pasti semacam Gatot Koco yang berotot kawat bertulang besi..”
“Bukan anakku, otot mereka bukan kawat dan balung mereka bukan besi tapi otot mereka adalah jalan-jalan tol, tulang-tulang mereka adalah cor-cor besi gedung-gedung pencakar langit”
“Jadi kalau begitu mereka sangat kuat ya kiai..”
“Sangat-sangat kuat.. maka katakan pada saudara-saudaramu dan anak-anakmu jangan berusaha sekali-kali melawan mereka kalau belum sungguh-sungguh menghitung kekuatan sendiri”
“Pak kiai, persisnya berapa kuat makhluq bernama khonglomerat itu..?”
“Hampir tak tebayangkan karena dia sanggup mengalahkan dengan mudah semua pendekar-pendekar ulung. Apalagi sekedar bernama gubenur atau mentri. Kalau sekedar bupati atau setingkat hanya dijadikan slilit-slilit kecil disela-sela giginya. Bahkan ada pimpinan-pimpinan didaerah seperti itu yang memaksakan sebuah proyek harus segera dilaksanakan karena dia dipindahkan dari jabatannya dan harus mendapatkan bonus dari proyek yang dikerjakannya itu”.
“Ajaib ya pak kiai..!!”
“Ya, ajaib.. kalau konglomerat meludah, setetes air liurnya menjadi sepuluh ton supermie. Kalau dia bersin riaknya menjadi miliayaran virus-virus.
kalau batuk jadi apa..? Kalau batuk jadi mall.. supermarket dan plaza-plaza..”
“Luar biasa kiai..! kalau begitu makan mereka itu apa sehari-hari..?”.
“Makanan mereka adalah sejenis jajan yang bernama Rakyat Kecil”.
“Kalau demikian..”, kata si santri, “Akan aku ajarkan pada anak-anakku ilmu binatang”
“Lho.. apa maksudmu dengan ilmu binatang?”, tukas pak kiai.
“Ilmu keserakahan yai…”
“Darimana kamu memperoleh ilmu bahwa ilmu keserakahan adalah milik binatang?”
“Lho, pak kiai gimana, sudah menjadi pengetahuan umum sepanjang jaman bahwa yang dimaksud kebinatangan adalah kerakusan, kebencian dan kebiadaban”.
Sang kiai tertawa terbahak-bahak, “Kiai mana yang ilmunya sesat seperti itu..??
Tidak ada binatang yang rakus itu.. tidak ada.. binatang itu selalu berhenti makan kalau sudah kenyang. Tidak ada binatang yang sudah kenyang masih terus makan. Manusialah yang terus makan meskipun sudah kenyang.. Manusialah yang tidak pernah merasa cukup meskipun sudah memiliki ribuan perusahaan. Manusialah dan bukan binatang yang tetap merasa kurang meskipun ditangannya sudah tergenggam seratus milyar, meskipun sahamnya sudah berekspansi sampai kehutan-hutan dan dasar lautan maupun gunung-gunung disebelah wetan”.
“Manusialah..”, kata pak kiai, “..yang meskipun telah dia kuasai harta yang bisa dipakai untuk membeli 10 kota besar berpendapat bahwa yang ia jalani adalah pola hidup sederhana!. Kalau 10 ekor semut bergotong-royong mengangkut sejumput gula, mereka tidak akan menoleh meskipun disekitarnya tergeletak sejumput gula yang lain. Tapi kalau manusia… manusialah yang selalu sangat sibuk mengisi ususnya dengan penguasaan industri makanan dan kosmetik, industri otomotif, properti bahkan industri manipulasi atas Pancasila dan Kitab Suci”.
https://www.facebook.com/MerchandiseOnlineJamaahMaiyahTanahAir/posts/2577761215615304