YANG TERLAHIR DARI API

Taufiq Wr. Hidayat *

Dialah yang bersumpah membasuh rambutnya dengan darah. Barulah ia akan kembali menyanggul rambutnya yang tergerai legam dan dalam itu. Ia pula yang membakar dada para ksatria dengan kedua matanya yang tajam, liar, dan menyimpan kepedihan. Ia pula yang mempersembahkan tubuh sebagai tumbal kekuasaan kaum laki-laki.

Chitra Banerjee Divakaruni menuliskan muram seorang perempuan dalam “The Palace of Illusions” (Keraton Khayalan). Dikisahkannya nasib muram seorang perempuan cantik, cerdas, dengan kedua susu yang agung, dan berpanggul kenyal itu. Drupadi. Perempuan yang terlahir dari api. Namun Divakaruni merangkai narasi mashur Mahabharata itu dari sudut pandang Drupadi. Sudut pandang seorang perempuan. Segera tampaklah muram sejarah, kepahitan, perlawanan dari yang diposisikan tak berdaya, dan kritik tajam atas laki-laki beserta kekuasaan seksualnya yang kekar dan sewenang-wenang. Novel Divakaruni mengoyak kisah Mahabharata. Ia tak patuh pada sudut pandang lazim dari epos agung versi Vyasa.

Dalam Divakaruni, Drupadi muram dan kalah. Tetapi kemuraman dan kekalahannya merupakan titik pijak sebuah perlawanan yang tiada akhir dalam sejarah. Drupadilah sang martir. Bukan para kstaria yang tewas dalam kegagahan pada perang habis-habisan Bharatayuda di padang Kurusetra.

Dialah Drupadi, yang tubuhnya dijadikan hadiah sayembara para ksatria oleh ayahandanya. Drupadi yang memiliki pinggul agung dan empuk, kedua mata yang liar memesona mengerjap bagai bintang kejora, kedua susu yang besar dan kenyal, kulit bercahaya, bibir yang merekah apatah daya, dan desahan dalam dadanya yang menyimpan sesuatu yang tak pernah berhasil dijelaskan. Tubuh yang menggiurkan laki-laki mana pun dari segala bangsa, yang akan membuat siapa saja—bahkan perempuan sendiri, terpesona lupa diri. Tapi Drupadi yang tak berkuasa terhadap dirinya, terhadap tubuhnya. Ia belaka “manusia obyek”—meminjam dalil Sartre, dari kehendak ayahandanya. Ia martir! Sebelum menjelma Drupadi, ia memang berdoa agar dianugerahi seorang suami yang berbudi luhur dan mashur, yang “pinunjul ing jagat”. Ia memohon hingga lima kali. Tapi Bhetara Siwa justru akan memberinya lima orang suami. Ia menolak. Ia hanya ingin seorang suami yang baik. Tapi Bhetara Siwa tak mengerti kedalaman hati sang perempuan. Kekuasaan laki-laki “yang berwujud dewa” itu pun telah menindasnya.

Tatkala para ksatria berlomba memperebutkan Drupadi di Keraton Pancala, Arjuna tampil sebagai juara. Drupadi harus menikahi Arjuna sang juara, salah satu dari lima bersaudara. Tapi ibunda Pandawa keberatan jika Drupadi hanya dinikahi Arjuna. Ia harus menikahi lima orang bersaudara itu. Drupadi tak dapat menjadi subyek bagi dirinya. Ia hanya barang hadiah. Ia pun harus rela dinikahi lima orang laki-laki kekar dan ksatria gagah perkasa. Tubuhnya harus melayani lima orang laki-laki—entah bergiliran atau beramai-ramai, yang disebut Pandawa. Ia memendam jauh kemurungan, keinginan, mimpi, dan cita-cita. Alangkah pahit dunia. Dan tak ada yang bertanya bagaimana perasaannya.

Barangkali dalam Divakaruni, perempuan yang diwakilkan pada sosok Drupadi dalam novelnya itu, tak pernah mengatakan apa mimpi dan perasaannya yang paling muskil dan rahasia. Ia hanya memendam itu semua dalam tubuhnya. Tubuh yang seharusnya tak disempitkan belaka obyek seksualitas atau hanya melahirkan bayi dan melayani laki-laki yang disebut suami. Tubuh yang—bagi Maurice Merleau-Ponty, mesti mengatasi dunia. Bukan dualisme: badan dan jiwa atau pikiran yang terpisah.

Tapi baiklah.

Dalam Seno Gumira Ajidarma, Drupadi tak mendapatkan kekuatan gaib sehingga busananya berlapis-lapis tatkala tangan kekar Dursasana menarik busana itu dari tubuhnya yang ranum berkeringat. Seno mengisahkan, busana Drupadi lepas sekali tarik. Di balai istana terhormat, disaksikan para pemuka yang luhur, para tetua kerajaan, para agamawan, dan kelima orang suaminya, Drupadi telanjang bulat tanpa sehelai pun benang di tubuhnya. Para ksatria Kurawa tertawa terbahak-bahak. “Drupadi milik kita!” ujarnya. Maka bergiliran 100 orang Kurawa itu menyetubuhi Drupadi di balai istana Kuru, di atas meja judi. Tapi semua bungkam. Para agamawan bungkam. Para tetua bungkam. Resi Dorna bungkam. Bahkan Bisma Yang Agung Sang Putra Gangga pun bungkam. Bima tak dapat berbuat apa-apa, hanya menahan geram. Arjuna tak bisa apa-apa. Yudistira, Nakula dan Sadewa bisu. Hanya Sengkuni tertawa kegirangan, badannya melonjak-lonjak bahagia. Namun meski disetubuhi 100 orang Kurawa—bahkan yang keseratus adalah perempuan, Drupadi tetap suci. Di situ barangkali keajaiban yang ingin dibangun Seno. Bukan keajaiban yang dilakukan Krisna untuk menolong kehormatan Drupadi. Melainkan Drupadi—sebagai seorang perempuan, sanggup menjaga kehormatannya sendiri tanpa dewa sekalipun. Ia tetap suci. Lantaran kesucian itu tak bermakna tubuh. Melainkan keutuhan jiwa terhadap tubuh.

Drupadi memberontak. Ia mempertanyakan; apa hak mereka—kaum laki-laki itu, terhadap tubuhnya? Apa hak Kurawa terhadap dirinya? Dan apa hak suaminya pada dirinya dipertaruhkan demi kekuasaan di atas meja perjudian? Tak adakah yang lebih penting di mata laki-laki selain kekuasaan dan kesaktian-kesaktian yang belaka kebanggaan-kebanggaan itu? Pertanyaan itu disampaikan Drupadi pada seluruh penghuni keraton. Menggema hingga ke abad-abad yang sibuk. Dan tubuhnya yang lelah. Hingga ia pun bertanya kepada Bisma, sang putra Gangga yang agung yang tiba-tiba tolol melihat insiden penelanjangan—atau pemerkosaan beramai-ramai dan brutal?—itu. Bisma hanya berkata dengan bibir bergetar: “dharma itu rumit dan muskil, anakku.”

Dharma macam apa yang rumit dan muskil itu tatkala nyata di depan mata Bisma yang konon agung penindasan dan penghinaan terhadap perempuan dilakukan para ksatria yang terhormat? Bisma tak mampu menafsirkan dharma di hadapan kekuasaan. Ia hanya memahami jalan dharma belaka pengabdian total terhadap kekuasaan manusia. Bukan pengertian yang dalam terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Maka di mata Drupadi, barangkali Bisma hanyalah orang tua yang tak lebih mulia dari kedua susunya yang besar dan kenyal. Bharatayuda tersulut karena Drupadi bertindak. Ia tak mau selamanya menjadi obyek. Ia berhak atas tubuhnya, atas kebahagiaan dan martabatnya sebagai seorang perempuan, seorang manusia. Ia bersumpah tak akan pernah menyanggul rambutnya sebelum rambut itu dibasuh oleh darah dari kematian Dursasana yang telah menyeretnya ke balai istana. Dan Bima, salah satu dari lima orang suami Drupadi, terbakar. Ia pun bersumpah akan meminum darah Dursasana. Ksatria apa gerangan yang meminum darah? Orang pun bertanya. Tapi yang membakar itu benar-benar dinyalakan Drupadi. Ia yang tercipta dari api. Maka siapa pun yang mendatangi dengan angkara, akan hangus dibakarnya. Bukan belaka dendam. Melainkan demi kehormatan seorang perempuan yang di atas segala-galanya, yang menjadi satu-satunya bukti seorang pria diakui keberadaannya. Kelamin perempuan adalah penanda keberlanjutan semesta. Agar yang maskulin menyadari kemaskulinannya lantaran penghargaan dan penghormatan terhadap perempuan. Urusan kelamin inilah yang kemudian menjadi sebab tewasnya 100 ksatria Kurawa dengan keadaan yang mengenaskan dan tak terelakkan di padang Kurusetra.

Namun apa setelah segalanya tunai? Apa setelah perang besar yang paling mengerikan itu, setelah semua musuh tewas, tumpas tanpa bekas? Hanya sunyi yang selalu membawa sangsi. Manusia tak bisa disebut pemenang hanya karena ia menghabisi musuh-musuhnya. Karena ingatan jahanam akan menghantui jiwa-raganya. Ia seharusnya menundukkan musuh-musuhnya, bukan memusnahkan. Sebab ia sejatinya tak punya hak untuk memusnahkan.

Dalam Divakaruni, setelah perang yang mengguncangkan semesta selesai, Pandawa beserta istrinya, Drupadi, melakukan penyucian diri. Seorang perempuan dan kelima orang suaminya itu mendaki bukit penyucian. Di tengah perjalanan, Drupadi tergelincir, ia akan terjatuh ke jurang yang curam. Bima hendak menolongnya. Tapi Yudhistira melarang. Pendakian ke bukit penyucian itu tak boleh surut ke belakang. Drupadi pun terjatuh ke dalam jurang. Tubuhnya tersangkut di tebing salju. Siapa pun yang gagal dalam pendakian, dialah yang berdosa. Tapi Bima heran, kenapa harus Drupadi yang berdosa hingga ia harus terjatuh ke jurang yang curam? Yudhistira mengatakan, bahwa meskipun Drupadi menikahi kelima orang laki-laki, tapi cintanya bukan pada kelima orang suaminya itu. Melainkan hatinya jatuh cinta pada kstaria Kurawa yang telah tewas di ujung panah Arjuna. Ksatria itu adalah Karna, anak dari seorang sais kereta. Agaknya narasi Divakaruni ini mencabik keras sejarah. Sebentuk sindiran yang menikam. Betapa kekuasaan patriarki benar-benar mengakar kokoh dalam rentang ruang dan waktu.

Dalam “Origins of the Family, Private, Property and the State”, Engels melihat perempuan diasingkan sejak kepemilikan pribadi digunakan. Perempuan harus diikat, seksualitasnya dipantau dan dicampur-tangani, ia harus ditundukkan demi mengukuhkan kepemilikan/kekuasaan laki-laki. Barangkali ini sungguh determenistik. Namun tak ada yang memungkirinya sebagai suatu keniscayaan. Bagi Engels, penghapusan hak ibu, tak lain kekalahan bersejarah kaum perempuan. Ia diturunkan derajatnya, direndahkan menjadi sahaya, menjadi budak keinginannya sendiri dan cuma alat memproduksi anak-anak manusia. Tradisi keluarga patriarki ditancapkan pada perempuan, sehingga kesetiaan perempuan sebagai ibu dan istri bagi suami dan keluarga adalah wujud tertinggi keluhuran perempuan. Kalau melanggar, maka perempuan harus dihukum akibat menabrak aturan yang ditetapkan kaum laki-laki. Negara bersikap mengokohkan patriarki, terserah mau “negara lama” atau kapitalis. Sedangkan laki-laki tak pernah punya kewajiban untuk setia. Ketika laki-laki mencintai istrinya, ia bisa saja mencintai perempuan lain tanpa mendapat pandangan hina. Bima memiliki istri selain Drupadi, begitu juga Arjuna, dan yang lain dari Pandawa itu. Sedangkan Drupadi harus total mencintai kelima orang suaminya. Tatkala cintanya jatuh pada Karna, ia pun dikutuk tidak setia. Sedang laki-laki tak pernah mendapat kutukan tidak setia ketika ia mencintai perempuan lain, berbagi hati, atau melakukan perselingkuhan. Paling parah, orang hanya menyebutnya “hidung belang”, sebentuk olok-olok yang bukan kutukan. Divakaruni agaknya mengeritik hal ini dalam novelnya. Bukankah hal ini selalu lupa untuk menjadi kesadaran bersama di dalam sejarah?

Kekuasaan laki-laki itu, disebut untuk meraih apa yang bernama kenikmatan. Dan kenikmatan hanyalah bahan kepuasan. Sebagai budak meraih ekstasi dan fantasi kelezatan kelamin belaka, ujar Sigmund Freud. Ketika Duryodhana menang judi, sehingga ia merasa telah berkuasa secara mutlak terhadap Pandawa beserta harta-bendanya, ia memerintahkan Dursasana melucuti pakaian perempuan berdada kenyal itu, Drupadi. Kekisruhan terjadi. Tapi para agamawan dan tokoh-tokoh yang menyandang gelar pendidikan dalam insiden penelanjangan Drupadi tak dapat berbuat apa-apa. Mereka bungkam, dan membiarkan kebodohan yang dilakukan Dursasana atas perintah rajanya.

Merasa berkuasa dan merasa mesti menunjukkan kekuasaannya, Duryodhana perlu melakukan tindakan amoral yang lebih menjijikkan dari film-film porno. Buat apa? Tak lain agar identitas atau kekuasaan dirinya di hadapan para Pandawa harus diakui. Sikap sewenang-wenang ini tak dapat diterima oleh Drupadi. Sebab Pandawa tak dapat berbuat apa-apa. Ada kehormatan yang telah diperlakukan sewenang-wenang. Orang menegakkan diri di atas kejatuhan orang lain. Kaum cerdik-pandai di ruang istana yang cabul itu, tak dapat berbuat apa-apa. Diam dalam ketakberdayaan. Atau tolol dalam status dan gelar yang diemban mentereng pada pundaknya.

Kebodohan memang tak mengenal tata nilai. Tata krama, kata orang Jawa. Tapi bodoh tak selalu menghinggapi orang-orang bodoh. Terbukti dalam istana Kuru itu, di mana Drupadi dilucuti Dursasana, para cerdik-pandai tak kuasa mencegah. Seketika kaum cerdik-pandai menjadi tolol. Seolah-olah Tuhan mencabut kecerdik-pandaian dari dalam otak dan hati mereka.

Orang Jawa menyebut pentingnya “tata krama”. Misalnya kalau mau masuk rumah orang, meskipun rumah sendiri, orang perlu mengucapkan izin atau “kulonuwun” (permisi), lazim disebut “uluk salam” atau mengetuk pintu. Ini etika sederhana. Kalau tiba-tiba masuk rumah, apalagi rumah orang, tanpa ketuk pintu atau uluk salam, menurut etika Jawa disebut kurang ajar. Istilah “kurang ajar” ini berasal dari kearifan dalam tata krama khas Jawa. Kurang-lebih bermakna, jika manusia tak memakai tata aturan lazim untuk saling menghormati dan menghargai, dia adalah binatang. Orang Jawa menganggap manusia—secara fisik—adalah binatang, lalu menjadi manusia setelah diajari tata cara menjadi atau menjalani hidup sebagai manusia. Jika ada manusia tak memerhatikan tata aturan—atau tata krama dalam terminologi Jawa, ia kurang ajar. Maksudnya kurang mendapatkan pengajaran menjadi manusia, sehingga perilakunya persis celeng.

Tetapi di tengah layar dan kebebasan informasi, etika pun mengasing. Barangkali ada ukuran-ukuran lain atau baru sebagai standar tata krama. Orang memaki dengan kebencian dan mengucapkan kata-kata merendahkan liyan, diyakini sebagai kewajaran hari ini. Padahal sesungguhnya itu hanya menunjukkan kerendahan budi, sehingga tak kuasa menahan diri untuk mengangkangi kebebasan atau posisi orang lain guna menunjukkan watak ingin berkuasa dan “memaksakan” pengakuan orang lain terhadapnya. Segalanya mudah mengemuka dalam sebidang layar yang bercahaya ini. Ungkapan-ungkapan kotor dari kerendahan pekerti, terpotong-potong dan berserakan dalam sebidang ruang sempit, tanpa sudut pandang dan kearifan.

Kelamin selalu menjadi bisnis yang sangat besar dan menguntungkan di samping bisnis persenjataan. Agaknya perang dan kelamin—kelamin dan perang, adalah dua hal yang paling digemari manusia. Kekuasaan, perebutan, penguasaan. Dan pada puncaknya, kekuasaan musti dibuktikan dengan penguasaan yang mencengkeram pada kelamin. Barangkali Dursasana merasa harus melucuti busana Drupadi, perempuan berbibir merekah dengan kulit mulus menakjubkan. Dursasana ingin memuaskan kedua matanya dengan memelototi lekuk-lekuk licin berkeringat tubuh Drupadi. Dursasana bernafas dengan nafsunya yang tersengal-sengal, tangannya digerakkan oleh kekuasaan. Dan apakah perempuan harus kalah? Drupadi tidak mau! Bahkan ia tak sudi tunduk pada nasib. Ia melawan. Dan dalam suatu perlawanan, kalah dan menang bukanlah tujuan. Melainkan ada hak dan kewajiban kemanusiaan yang tak boleh ditinggalkan, ada manusia yang tak bisa diperlakukan sewenang-wenang oleh kekuasaan. Yang terlahir dari api, akan membakar yang dingin dan yang gelap. Ia sanggup menghidupkan, mata air susu zaman yang menakjubkan. Tetapi ia pun dapat menghancurkan, mematikan, memusnahkan.

Tembokrejo, 2019

*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab IBlis” (PSBB, 2018), “Agama Para bajingan” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.

Leave a Reply

Bahasa »