Tragedi selalu mewujud sebagai peristiwa jenak pada renggangan jarak. Jarak yang sesungguhnya tak cukup jauh dan ragu. Di depan mata. Pengalaman menonton tragedi selalu jadi kegemaran ganjil manusia. Terlebih lewat layar kaca atau berita.
Di tahun 90-an, Warkop DKI yang mashur memelesetkan “Dunia dalam Berita” menjadi “Dunia dalam Derita”. Ada komedi di puncak tragedi. Atau sebenarnya sebuah komedi senantiasa lahir di puncak tertinggi atau terdalam dari tragedi? Lalu humor menjadi ikhtiar membebaskannya.
Dalam Warkop DKI, seorang lelaki mengendara motor dengan helm membungkus kepala. Ia memakai jas hujan secara terbalik, bagian depan jas hujan tersebut berposisi di punggung. Sial! Ia terjatuh. Kecelakaan ringan. Pingsan! Sejumlah warga setempat berusaha menolong. Tapi orang-orang terkejut, mereka melihat laki-laki pengendara motor itu tergeletak dengan kepala terbalik ke belakang. Itu karena jas hujan dipakai terbalik. Rame-rame orang memutar balik kepala si laki-laki tersebut. Tewaslah dia karena kepalanya dipelintir beramai-ramai. Di hadapan layar, orang tertawa terpingkal-pingkal menyaksikan kematian yang lucu. Menertawakan kematian sungguh keji. Tapi percayalah, peristiwa itu hanya lelucon yang terjadi dalam film.
Barangkali kesialan memang mengancam apa yang kita sebut kemujuran. Ada tipuan keadaan. Jenak momentum yang menghadang peristiwa lazim. Dengan mudah orang melupakannya. Atau mencemaskan dalam kesadaran yang mengada dalam diam. Kecemasan itu pula yang menghinggapi seorang ibu tatkala melihat putrinya yang jelita, yang mulai tumbuh sebagai perawan ranum memesona. Dalam “Dua Wanita Cantik”-nya Jujur Prananto, sang ibu cemas. Kemujuran yang bernama kecantik-jelitaan pada anak gadisnya, bukan tanpa tebusan. Kesialan yang muncul dari jiwa kelam manusia akan menjelma tanpa diduga. Mulanya—ketika tubuhnya dikagumi laki-laki, ia biasa-biasa saja. Tapi ketika semakin banyak orang mengagumi tubuhnya, diam-diam ia menikmati kekaguman orang tersebut terhadap dirinya. Ia pun hidup tak biasa. Kekaguman orang perlahan-lahan menciptakan kepuasan ganjil yang tak terjelaskan. Ia akan sanggup mendatangkan apa saja dengan memanfaatkan kekaguman orang lain pada dirinya.
Tapi yang metafisik. Ketakjuban karena suatu daya tarik, sejatinya tragedi bagi se empunya daya tarik itu sendiri. Dalam film “The Perfume”—yang diadaptasi dari novel Patrick Suskind, daya tarik “aroma cinta” yang diformula dalam jenis parfum, telah dicipta pengalaman hidung. Ia harus membunuh banyak perempuan yang bau tubuhnya diekstrak kemudian diformulakan. Ia hendak mencipta aroma seperti aroma tubuh perempuan yang diingatnya, yang pertama kali ia temui, yang tak sengaja ia bunuh. Tapi kenapa setelah perempuan dengan aroma tubuh menakjubkan itu tewas, aroma musnah dari tubuhnya? Alangkah kelamnya tragedi tatkala ia tak sanggup lagi mengutuhkan yang telah hilang itu. Tanpa hidup, tubuh tak menyerbakkan aroma yang memabukkan. Jean-Baptisde Grenouille, sang jenius itu, tak membutuhkan kekuasaan dari daya tarik parfum ciptaannya. Baginya aroma yang kekal adalah aroma yang terus mengada dari sosok yang hidup. Dan ia tak mungkin menghidupkan perempuan dengan “aroma cinta” itu, yang tak sengaja tewas di tangannya. Ia menyiramkan parfumnya ke sekujur tubuhnya. Orang-orang lapar takjub, jatuh cinta, lalu memakan tubuhnya hingga tak tersisa. Ia martir bagi ciptaannya sendiri. Tragedi zaman yang belaka memuja tubuh, menyampahkan yang metafisik dari tubuh, dari yang tampak. Manusia pun tak mengada, hanya ditindas kenangannya sendiri.
Kenapa orang beriman perlu mengingat Tuhan? Apakah Tuhan adalah masa lalu? Ataukah masa depan yang kita rencanakan? Bagi Ibn Arabi, mengenang Tuhan itu tak mungkin. Manusia adalah lampau. Sehingga dapat jadi baru. Apa yang diingat, sejatinya apa yang diri manusia sendiri. Diri yang “mengada” sebagai ada. Keutuhan dalam gerak, yang mengalir sebagai peristiwa untuk diri dan realitas kehidupannya. Selalu lampau dalam kebaruannya. Dan baru dalam kelampauannya. Ia ditentukan dirinya sendiri. Keberadaan bukan belaka pada tubuhnya.
Dalam teks suci dikenal kata “wujud”. Segala wujud tak lain adalah ada, yang mengada. “Wujud”—dalam tata bahasa, ialah “masdar”. Kejadian. Yang menjadi (to be). Kejadian itu dapat menempel pada subyek (fa’il) juga obyek (maf’ul). “Maujud” tak lain “isim maf’ul” (benda pasif), ia berarti “dijadikan”, menandakan atau membuktikan dari hasil perbuatan kerja terhadap esensi. “Masdar” dalam tata bahasa Arab sering tak terhubung dengan subyek dan obyek, menjadi “isim masdar” (benda kerja) yang menginformasikan hasil dari “kerja” itu sendiri. Bagi Ibn Arabi, ketika Tuhan diwujudkan (maujud), maka hasil dari kerja tersebut adalah si pewujud (subyek). Karena Dia bukan yang itu, tetapi bisa pula yang itu. Sehingga segenap ingatan, tak lain mengada pada si pengingat. Bukan pada apa yang diingat. Tuhan tak mungkin diingat, Dia bukan belaka obyek. Namun mustahil belaka subyek. Bukankah pengertian tasawuf ini menandakan betapa sesungguhnya kesucian iman tak bukan adalah identitas dan kejadian kemanusiaan?
Tapi baiklah.
Pada sebentak jarak yang meregang antara “aku” dan tragedi, komedi lalu terjadi. Saat komedi itu sanggup menghubungkan tragedi pada kesadaran “aku”, aksi terjadi (maujud). Namun ketika komedi hanyalah lelucon dan olok-olok, orang pun gagal mengenang (jumud). Nyaman dan selesai dalam kemapanan. Tak mengerjakan perubahan yang terus menerus sebagai keniscayaan kehidupan (jadid). Segala tragedi berlalu saja. Orang gagal menemukan ke-ada-annya, ia melekatkan ke-ada-an itu pada yang abstrak atau yang dikonsepsikan tanpa senantiasa dioperasionalkan dengan pikiran dan kerja. Begitulah kiranya berhala tercipta kemudian disembah.
Namun apa yang menciptakan tragedi di tengah zaman yang selalu ingkar terhadap kenyataan? Barangkali diam-diam karena merasa puas atas segala kemujuran. Seraya mempersetankan kesialan, lantaran kesialan itu bukanlah yang menimpa pada “aku”. Melainkan hiburan orang mujur sehabis makan malam.
Tembokrejo, 2019
*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab IBlis” (PSBB, 2018), “Agama Para bajingan” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.