KITAB IBLIS (1)

Taufiq Wr. Hidayat *

Tuhan lebih mencintai seorang yang berdosa besar, sadar, lalu bertobat daripada sembilan puluh sembilan orang saleh yang tak butuh tobat.

Demikian Taufiq el-Hakim, sastrawan agung Mesir, menulis “qishos falsafiyah” dalam sastra Arab yang mengagumkan, dalam antologi “Arini Allah” (1953). Ungkapan itu dikutip dari kitab suci Injil. Ungkapan tersebut diucapkan Iblis di depan seorang pemuka agama samawi. Kisah menarik ini, tak habis daya mempertanyakan kembali apa sejatinya eksistensi dan manfaat agama beserta segala kemapanannya bagi kehidupan. Cerita masyhur itu, kurang-lebih berkisah, begini.

Sahdan, Iblis menghadap seorang bapa dalam agama Nasrani. Ia melakukan pengakuan dosa. Iblis menyesal, ia merindukan kebaikan dan kasih-sayang Allah. Ia sudah lelah mengobarkan peperangan yang begitu panjang dan menghabiskan segalanya melawan Allah. Iblis menghadap bapa di gereja, menyampaikan maksud hati setulus-tulusnya: mohon dibaptis dan bertobat.

Tetapi, sang bapa menolak tobat Iblis dan tak menerima Iblis untuk dipabtis. Bagi sang bapa, itu sangat beresiko. Jika Iblis dibaptis, kemudian tobatnya diterima, maka agama tak lagi berguna! Tak ada lagi manusia yang akan memasuki gereja lantaran menjauhi Iblis, menuju kasih Yesus. Semua peninggalan agama tidak bermanfaat lagi, gambaran perihal Adam dan Hawa yang terusir dari surga akibat ulah Iblis tak akan berarti membentuk penyesalan yang membuat manusia merasa hina lalu bangkit menuju Tuhan. Mengampuni Iblis berarti menghancurkan gereja, merusak makna dari segala peperangan dan pergolakan batin orang beriman. Warisan agama berabad-abad runtuh, tak ada artinya kebaktian jika segala sifat jahat tak bercokol dalam diri manusia karena Iblis telah diampuni dan memeluk Kristen. Percuma Hari Perhitungan jika kejahatan dihapuskan, raib dari muka bumi sebab terampuninya Iblis. Tidak. Itu sangat beresiko! Sang bapa menolak Iblis, ia menganjurkan Iblis mencari agama lain.

El-Hakim melanjutkan kisah perjalanan Iblis mencari agama menuju Allah, bertobat, mengubur kesombongan dan kekejiannya. Kali ini, Iblis menghadap seorang Rabbi dalam agama Yahudi, petinggi agung bangsa Israel yang suci. Iblis mengungkapkan maksud hatinya dengan tulus, jujur, tanpa muslihat. Ia menyatakan hendak memeluk agama Yahudi, bertobat menuju Allah.

Sang Rabbi pun bingung menyimak pengakuan Iblis. Jika ia menerima Iblis memeluk Yahudi, kemudian tobatnya diterima, lantas atas alasan apa suatu bangsa menjadi bangsa pilihan? Israel adalah bangsa pilihan Tuhan di bumi. Gelar terpilih itu akan musnah tidak ada apa-apanya, jika tobat Iblis diterima. Superioritas yang dikobarkan oleh watak keras kepala untuk berkuasa akan sirna. Dan bangsa Israel tak lagi berjaya! Sang Rabbi menolak Iblis, ia beralasan bahwa agama Yahudi tidak memiliki ajaran untuk mengajak orang lain agar memasuki atau memeluk agama Yahudi. Iblis pun pulang dengan terhina, lunglai, dan pasrah. Tapi, niatnya untuk bertobat dan menuju Allah penguasa alam semesta tak luntur. Masih ada satu lagi agama samawi, yakni Islam.

Kini tibalah Iblis di hadapan seorang syekh al-Azhar, seorang pemuka agama Islam yang agung dan saleh. Iblis menyatakan dengan tulus dan rendah hati untuk masuk Islam. Bertobat nasuha. Menuju Allah. Ia menyebutkan ayat Qur’an, bahwa Allah maha menerima tobat hamba sebesar apa pun dosanya. Bahwa orang berbondong-bondong memasuki agama-Nya. Sang Syekh pun bingung. Jika Iblis masuk Islam, lalu bertobat, apakah kaum muslimin akan melupakan bacaan ta’awwudz: “aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk”? Jika hal ini diabaikan, bagaimana ayat-ayat Qur’an yang menyatakan setan adalah musuh yang nyata bagi manusia dapat dibaca? Agar manusia melaknat dan menghindari tipu daya setan. Lalu siapa musuh manusia jika setan sudah bertobat dan memeluk Islam? Sang Syekh menggelengkan kepala. Kebesaran al-Azhar akan runtuh. Mengampuni Iblis dan mengizinkannya masuk Islam adalah beresiko!

Iblis pun pergi dengan penuh penyesalan. Iblis benar-benar ingin bertobat. Ia tak sabar lagi menghadapi agama-agama samawi yang menolaknya. Iblis melesat ke angkasa. Ia bertemu Jibril.

Jibril mengatakan, niat Iblis untuk bertobat bukanlah kesalahan. Tetapi, Iblis terlalu terburu-buru untuk hal itu. Tugasnya belum selesai. Ia harus terus-menerus terlaknat dan dikutuk, agar manusia selalu kembali kepada Tuhan, menemukan kemuliaan, dan agar manusia dapat menimpakan kutukan itu pada Iblis, bukan kutukan pada sesama manusia. Iblis tak akan mati, kecuali ia membunuh dirinya sendiri. Atas tugasnya itu, Iblis syuhada (pejuang di jalan Allah), sang syahid.

Iblis menangis. Air matanya menetes dari langit, jatuh ke bumi berupa meteor. Bahkan air mata dan tawa Iblis pun malapetaka!

Demikian kiranya Taufiq el-Hakim bercerita.

Cerita yang mengusik! Jika Iblis bertobat, lalu bagaimana nasib agama beserta segala kemapanannya? Apakah kemegahan agama haruslah runtuh dan perang akan dihentikan?

Tembokrejo, 2018

*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab IBlis” (PSBB, 2018), “Agama Para bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.

Leave a Reply

Bahasa »