Anindita S Thayf
Jawa Pos, 17/02/2019
Pada tanggal 18-20 Desember 2018, Muktamar Sastra 2018 tergelar di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur. Perhelatan akbar ini diselenggarakan berlandaskan visi Menggali Kesusastraan Membangun Kebangsaan. Sejumlah pembicaraan dan diskusi pun dilakukan demi menajamkan visi ini. Salah satunya diskusi panel yang membahas seputar peta sastra Indonesia mutakhir dimana saya didapuk menjadi salah satu narasumber.
Setiap peta lahir dari sebuah kepentingan. Lewat peta, ada kekuasaan yang hendak ditunjukkan dan berusaha ditegaskan. Berbicara tentang peta berarti berbicara tentang kepentingan: untuk apa dan untuk siapa peta tersebut dihadirkan. Dengan demikian peta sastra juga bisa dilihat sebagai arena pertarungan. Ketika nama seorang pengarang hadir atau absen dalam salah satu versi peta sastra maka saat itulah pertarungan dimulai.
Terlepas dari perdebatan bagaimana peta sastra disusun, yang perlu dikulik lebih jauh adalah untuk apa peta itu dibuat. Peta disusun bukan dalam ruang kosong. Ada kepentingan ideologi dan politik di balik pembuatan peta. Peta sastra juga tidak selamanya berupa daftar pembabakan waktu per-angkatan atau periode, tapi bisa mengambil wujud lain. Misalnya, daftar pemenang atau nominasi sayembara menulis, hingga sederet nama pengarang pilihan media ternama.
Pada masa kolonial kita mengenal lembaga literasi bernama Balai Pustaka. Sesuai kepentingan kolonial, lembaga ini hanya memasukkan nama pengarang yang menulis untuk penerbitannya ke dalam peta yang mereka buat. Sebaliknya, mereka memberi cap pengarang “bacaan liar” untuk mereka yang berada di luar peta tersebut. Balai Pustaka ingin mengukuhkan bahwa pengarang yang se-ideologi dan segaris politik dengan merekalah yang layak masuk ke dalam peta sastra.
Selepas kemerdekaan, pertarungan peta sastra Indonesia bisa dikatakan mencapai puncaknya. Yaitu, ketika muncul dua kutub yang saling berlawanan: Manikebu dan Lekra. Masing-masing kutub menyusun peta sastranya sendiri. Setelah pecah peristiwa 1965, para pengarang yang namanya tercatat dalam peta sastra ala Lekra sebagian dibunuh, dipenjara dan dibuang.
Dalam perkembangannya, perdebatan sastra tidak mengental pada perbedaan ideologi lagi, melainkan lebih kepada genre sastra. Pemetaan memisahkan karya populer dan sastra. Para pengarang dikotak-kotakkan berdasarkan media dimana karyanya kerap hadir. Jika suatu karya terbit di majalah perempuan, seperti Femina dan Kartini, maka disebutlah ia karya populer. Adapun karya yang dimuat di majalah seperti Horison maupun koran disebut karya sastra.
Tidak ada pernah ada ukuran yang jelas untuk membedakan antara karya populer dan sastra. A. Teeuw dalam bukunya Sastra Indonesia Modern II menyadari kesulitan tersebut. Menurutnya, karya populer lebih sering dinilai dari sampulnya, judul yang romantik dan sensasional, serta penerbit yang menerbitkannya. Ukuran lain yang juga digunakan adalah penggunaan bahasa yang tidak baku seperti bahasa pergaulan kaum urban. Isi dan tema buku sering pula dipakai sebagai ukuran. Bacaan yang berkisah seputar romantika sepasang kekasih atau curahan hati seorang istri, juga hal-hal erotis, dikategorikan sebagai karya populer.
Alhasil, nama pengarang perempuan yang muncul pada dekade 70-an, seperti Marga T dan Mira W, tidak ada dalam peta sastra. Mereka dikategorikan pengarang karya populer. Pemetaan tersebut seolah ingin menegaskan bahwa pengarang perempuan hanya mampu menghasilkan bacaan-bacaan populer yang isinya sebatas hiburan bagi pembaca. Sebuah bacaan yang, menurut istilah A. Teeuw, merupakan sarana “pelerai duka” atau “penawar duka dan nestapa”. Dalam hal ini kepentingan patriarkal jelas terlihat.
Selanjutnya, pemetaan sastra bergeser sesuai perkembangan teknologi. Sebagaimana yang disampaikan Ross Tapsell dalam Kuasa Media di Indonesia, pada paruh 1990-an internet mulai masuk ke Indonesia. Perkembangan ini ternyata berpengaruh pula pada sastra. Sastra tidak lagi terbatas pada media cetak, melainkan merambah ke dunia cyber. Maka munculah istilah sastra cyber. Sebagaimana terangkum dalam buku Cyber Graffiti: Polemik Sastra Cyberpunk (2001), kehadiran sastra cyber memantik perdebatan panas. Pro-kontra seputar apakah karya-karya yang ditampilkan dalam medium cyber bisa dipetakan sebagai karya sastra atau tidak menjadi fokus perdebatan. Seiring pertumbuhan media sosial yang kian pesat, kian jauh pula perdebatan itu dari titik simpul. Semisal, apakah para pengarang “sastra media sosial” bisa dimasukkan ke dalam peta sastra Indonesia atau tidak? Di sinilah kepentingan akan tetap berperan.
Untuk Siapa?
Pada bulan Desember 2013, hadir buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh yang memicu perdebatan alot seputar peta sastra Indonesia mutakhir. Buku yang disusun Jamal D. Rahman dkk ini menjadi kontroversi karena memetakan para pengarang berdasarkan sesuatu yang absurd: pengaruhnya. Salah satu titik panas perdebatan adalah dimasukkannya nama Denny JA sebagai sastrawan paling berpengaruh, mengungguli penyair seperti Wiji Thukul. Perdebatan juga ditujukan kepada orang-orang yang berperan di balik penyusunan buku tersebut. Di sinilah bisa diajukan pertayaan: untuk siapa peta sastra disusun?
Fakta dan sejarah berbicara bahwa setiap peta sastra punya “tuannya” sendiri. Sang Tuan bisa saja seorang kritikus sastra atau sastrawan senior yang punya seleranya sendiri, media yang punya rencananya masing-masing, sayembara atau lomba dengan visi dan misi tertentu, bahkan pasar industri buku yang maha agung. Setiap tuan akan menciptakan peta sastra yang mewakili selera dan kepentingannya. Atas pertanyaan untuk siapa peta sastra disusun maka jawabannya adalah tergantung pemangku kepentingan yang ada di baliknya.
Sementara itu, apa pentingnya peta sastra bagi seorang pengarang? Apakah untuk mengetahui nama-nama pengarang lain dan karyanya? Atau jangan-jangan untuk sekadar melihat apakah nama si pengarang bersangkutan sudah terdaftar atau belum, diakui atau dilupakan, dalam peta sastra?
Dari zaman dulu hingga sekarang, peta sastra lebih sering digunakan sebagai pengukuh seorang pengarang. Kecenderungan ini semakin menguat ketika dunia memasuki apa yang disebut Mario Vargas sebagai era Peradaban Tontonan. Masuknya nama seorang pengarang dalam peta sastra akan dianggap penting karena bisa memberikan legitimasi bahwa dirinya layak tampil di atas rupa-rupa panggung tontonan sastra seperti, acara pekan raya sastra, pelatihan mengarang, pembacaan karya sastra hingga menjadi duta sastra di mancanegara.
Bila peta sastra dianggap penting bagi sastrawan itu sendiri maka seorang pengarang memang perlu berlaku meniru selebriti. Berusaha terus tampil demi mengejar kepopuleran dan agar namanya tidak terlupakan saat penyusuan peta. ***
*) Novelis dan esais. Panelis Muktamar Sastra 2018
https://www.facebook.com/anindita.thayf/posts/10205875770451631