F. Rahardi *
Judul buku kumpulan puisi Saut Situmorang: saut kecil bicara dengan tuhan, ada baiknya kita ubah. Sebab dalam sajak dengan judul sama pada buku tersebut (hal 25), tidak akan kita temukan adanya indikasi “Saut Kecil yang bicara dengan Tuhan”. Baik secara tersurat maupun tersirat (kiasan). Bahkan, keseluruhan 52 sajak yang terkumpul dalam buku ini, tidak mengisyaratkan adanya pembicaraan yang intens antara Saut dengan Tuhan. Yang ada justru bertebarannya kata-kata mabok, alkohol, bir, anggur dan ungkapan-ungkapan kebirahian. Yakni, ungkapan yang berhubungan dengan seksualitas dan sensualitas (voyeurisme). Maka judul paling pas untuk buku ini adalah: Saut Kecil Bicara dengan Mabok dan Birahi.
Judul buku kumpulan puisi, memang bisa saja asal comot. Misalnya Blues untuk Bonnie, Perahu Kertas, Golf untuk Rakyat dll. Tetapi kalau seorang penyair mengambil judul yang agak lebih serius, misalnya Priangan Si Jelita, maka khalayak sastra akan menuntut adanya “ruh” dari Bumi Priangan yang Jelita tersebut, pada sebagian besar puisi yang dihadirkan. Kalau “ruh” Priangan yang Jelita itu tidak terasa keberadaannya, maka khalayak sastra akan menganggap judul tersebut hanya asal tempel. Meski Saut menampilkan judul “bicara dengan tuhan” tetapi yang dominan dalam kumpulan puisi ini justru kata-kata mabok dan birahi. Dan itu pulalah sebenarnya yang ia tuliskan dalam sajak cinta untuk semua perempuanku yang lampau yang kini yang akan datang (hal 38-39). Saya kutipkan bait terakhir sajak tersebut.
cakar kuku kuku possum yang tajam
menyayat kulit mukaku
beraturan¾
sebuah tattoo warna-warni
sebuah pelangi warna warni
membusur di dinding kamar
tempat kalian turun bermain
dari dongeng dongeng nenek moyang
dan mandi telanjang di kolam di kasur
kolam harum alkohol dan mani
sementara aku cuma tersenyum
mabok dan birahi
menulis sajak ini.
Istilah kecil dalam saut kecil bicara dengan tuhan, sebenarnya dimaksudkan oleh penyair dalam arti harafiah. Yakni mengacu ke sebuah masa, ketika Saut masih kanak-kanak. Namun, secara tidak sadar, makna kecil dalam konteks ini, bisa pula menjadi kiasan akan kekecilan hati Saut dalam menghadapi “para raksasa” penyair Indonesia. Kekecilan hati ini tampak ketika ia mengutip baris-baris penggalan sajak Rendra dan Chairil Anwar di halaman 3. Juga ketika ia menyebut-nyebut nama Amir Hamzah, Chairil Anwar, Sutardji Calzoum Bachri dan Afrizal Malna dalam blurb di sampul belakang.
Sebelum menyebut nama para “raksasa” penyair Indonesia dalam blurb tersebut, Saut menyatakan: matahari sudah condong ke barat, kehidupan sedang berada/di titik klimaks musim kemarau tropis yang panjang, dst. Musim kemarau di kawasan Tropis itu justru sangat pendek. Kemarau yang panjang terjadi di kawasan beriklim munson (monsoon), sabana (savanah) dan yang paling ekstrim di gurun. Penyebutan musim kemarau tropis yang panjang, untuk dianalogkan dengan ketiadaan para pahlawan, para datuk yang menguasai keempat mata angin dunia kangouw sastra, merupakan akibat dari kekurang tahuan penyair, dan bukannya kesengajaan untuk menciptakan paradoks atau ironi. Kecuali dia hanya menyebut kemarau yang panjang, tanpa embel-embel musim dan tropis.
Kekecilan hati Saut, pada akhirnya melahirkan kekaguman yang berlebihan terhadap “raksasa” penyair Indonesia. Dalam hal ini Rendra. Pada kumpulan puisi ini, ada tiga sajak dengan judul disebabkan oleh rendra 1, 2 dan 3 (hal. 15, 16 dan 17). Selain itu juga ada sajak berjudul blues untuk katrin (hal 64) yang jelas mengingatkan kita pada salah satu sajak Rendra berjudul Blues untuk Bonnie. Sajak Rendra ini memang merupakan salah satu master piece, hingga pengaruhnya terhadap Saut juga merembet ke sajaknya berjudul do you like basketball, berangere? (sajak jazz untuk dale turner). Meskipun struktur dan semangat dua sajak ini sangat berlainan, namun Saut menyebut:
malam yang penuh asap rokok
malam yang penuh gadis mabok
malam yang penuh harum anggur
si negro tua memainkan saxophonenya
menghembuskan napas tuanya memainkan saxophonenya
seorang negro tua
sebuah saxophone tua
di sebuah cafe penuh gelak tawa, dst.
Sementara dalam Blues untuk Bonnie, Rendra menulis:
Kota Boston lusuh dan layu
kerna angin santer, udara jelek,
dan malam larut yang celaka.
di dalam cafe itu
seorang penyanyi negro tua
bergitar dan bernyanyi.
Hampir-hampir tanpa penonton.
Cuma tujuh pasang laki dan wanita
berdusta dan berciuman dalam gelap
mengepulkan asap rokok kelabu
seperti tungku-tungku yang menjengkelkan.
Pengaruh penyair yang lahir lebih awal, merupakan hal yang wajar dan tidak perlu terlalu dirisaukan. Ballada-ballada Rendra pun sangat terpengaruh oleh penyair dan dramawan kenamaan Spanyol, Federico Garcia Lorca (1898 – 1936). Sebab pengaruh hanyalah sekadar pegangan, agar seorang penyair segera mampu menemukan jatidirinya. Pengaruh yang terlalu kuat dan berkepanjangan akan menyebabkan seorang penyair sekadar menjadi “bayang-bayang” dari penyair yang lebih besar. Namun sebaliknya, terlalu over acting dalam menghujat penyair yang lebih mapan pun, baik dalam berkreasi maupun bertingkah laku, hanya akan menjadi sekadar “pengukuh” bahwa penyair senior itulah yang lebih hebat.
Pada tahun 1976, dalam mengomentari Yudhis, Norca, Adri dll., Darmanto Yatman menulis: “Tidak usah kayak Buto Cakil, pencilakan, pecicilan tapi hadir cuma untuk mempertunjukkan bahwa Arjuna lebih sakti. Joss Sarhadi, B. Priyono, Syarifuddin A.Ch, Noorca Marendra, kalau toh betul terjun ke pentas, ya cuma untuk menunjukkan bahwa Sutardjilah yang sakti – sekalipun sama-sama menari dan bawa keris”. Sebab ketika itu para penyair muda dengan “puisi mbeling” dan “puisi lugu” nya, banyak yang memparodikan sajak-sajak Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Rendra dll. termasuk sajak Darmanto juga. Ternyata omelan Darmanto 27 tahun silam itu benar. Dari sembilan penyair yang ditampilkan dalam program Penyair Muda di Depan Forum oleh DKJ tahun 1976 tersebut, hanya tinggal Dami N Toda yang masih eksis. Lainnya tak ketahuan jejaknya atau berkiprah di luar dunia kepenyairan.
***
Dalam sajak yang dijadikan judul kumpulan puisinya, Saut memposisikan diri sebagai anak kecil. Bocah kecil itu masih terus memandangi langit biru dan mempertanyakan hal yang baginya sangat aneh, yakni: kenapa kadang turun hujan ke bumi/membuat becek jalan di depan rumah/membuat dia tak boleh main di luar rumah dst. Ruh sajak tersebut, mencerminkan dunia kanak-kanak. Sama halnya dengan sajak pertama dalam buku ini: tidurlah cicak (hal 5): tidurlah cicak walau dinding-dinding terbakar/biarkan anak anak ayam berpesta atas ekor gadingmu/tidurlah cicak tidurlah dst. Juga dalam sajak musim salju (hal 12): angin mencuri air dari kerajaan lautan dan/melarikannya ke puncak bukit-bukit berkabut./karena meronta-ronta gaun tidur putri laut/ yang putih robek robek berceceran sepanjang pantai, jalan-jalan kota dst. Itu semua adalah 100 % pikiran anak-anak.
Memang dalam dunia kesenian, ada faham Dadaisme, Surealisme, Naifisme, Absurdisme dll. Tetapi, faham-faham itu tidak pernah bermaksud untuk mengkopi pikiran anak-anak 100% dan menyajikannya sebagai karya seni. Sapardi Djoko Damono misalnya, juga senang mengangkat dunia kanak-kanak dalam sajaknya. Sebagian sajak Sapardi juga terjebak menjadi puisi kanak-kanak seperti pernah dikritisi oleh Sutardji pada tahun 1977. Namun dengan gayanya tersebut, Sapardi tetap merupakan penyair papan atas Indonesia yang tak tergoyahkan. Berikut saya kutipkan penggalan bait sajak saut kecil bicara dengan tuhan dan juga sajak Sapardi.
mungkin di bawah tanah ini
sama seperti di atas sini, serunya dalam hati
ada pohon ada rumah rumah
ada tanah lapang di mana orang
main layang layang
dan tentu mereka mengira
di atas sini tinggal tuhan mereka!
dia mulai tersenyum
dia tahu sekarang kenapa kadang kadang turun hujan
tentu saja hujan turun dari langit
karena di atas sana tuhan sedang pesta
dan air hujan itu
tentu air yang dipakai mencuci piring gelas
sehabis pesta
sama seperti ibu waktu cuci piring gelas
dan airnya hilang masuk ke dalam tanah
senyumnya makin lebar sekarang
dibayangkanNya anak anak mandi hujan
di bawah sana!
Berikut penggalan bait sajak Sapardi Djoko Damono, Perahu Kertas.
Waktu masih kanak-kanak kau membuat perahu
kertas dan kaulayarkan di tepi kali; alirnya
sangat tenang, dan perahumu bergoyang
menuju lautan.
“Ia akan singgah di bandar-bandar besar”, kata
seorang lelaki tua. Kau sangat gembira, pulang
dengan berbagai gambar warna-warni di kepala.
Sejak itu kau pun menunggu kalau-kalau ada
kabar dari perahu yang tak pernah lepas dari
rindumu itu.
Akhirnya kaudengar juga pesan si tua itu, Nuh,
“Telah kupergunakan perahumu itu dalam
sebuah banjir besar dan kini terdampar di
sebuah bukit”.
Meskipun sama-sama mengambil tema dunia anak-anak, Sapardi tampak lebih unggul mengolah materi, hingga sajaknya tidak terjebak menjadi puisi anak-anak. Membayangkan bahwa di atas sana tuhan sedang pesta/dan air hujan itu/tentu air yang dipakai mencuci piring gelas, memang tipikal pikiran anak-anak. Sama halnya dengan sikap menunggu kabar dari perahu kertas yang pernah dilepas di pinggir kali. Tapi Sapardi telah berhasil mengambil jarak, hingga seluruh gambaran di sekitar perahu kertas tersebut berubah menjadi sebuah kerinduan akan masa kanak-kanak yang tak akan pernah kembali. Bukan hanya sekadar adegan anak-anak yang melepas perahu kertas, dan bukan pula berhenti pada pikiran kanak-kanak.
Adanya kesadaran, bahwa perahu kertas itu telah diambil oleh Nuh, untuk dijadikan bahtera dalam banjir besar, hingga tak akan pernah datang lagi, sebenarnya juga masih tipikal pikiran anak-anak dan kekanak-kanakan. Yang menyebabkan Sapardi tidak terjebak dalam sikap kekanak-kanakan adalah kabar dari perahu yang tak pernah lepas dari/rindumu itu. Dunia anak-anak memang merupakan sumber inspirasi yang sebenarnya luar biasa. Namun kalau kita tidak berhati-hati mengolahnya, akan terjebak hingga hanya menghasilkan puisi kekanak-kanakan. Penyair kontemporer Jepang Kotaro Takamura (1883 – 1956), pernah menulis Percakapan Bocah yang diterjemahkan Abdul Hadi WM dari versi Inggrisnya.
PERCAKAPAN BOCAH
Chieko bilang Tokyo tak punya langit sama sekali,
bilang ia ingin melihat langit yang benar.
Sambil memandang ke langit aku terkejut.
Di antara daun-daun sakura yang segar
terbentang langit cerah
langit lama, langit cerah yang kukenal.
Kabut muram dan berasap di cakrawala
adalah bunga kurus dan basah di pagi hari.
Memandang ke tempat jauh Chieko bilang:
langit biru yang setiap hari muncul
di atas gunung Adatara
itulah sebenarnya yang kumaksudkan.
Tentu ini cuma percakapan seorang bocah tentang
langit.
Meskipun sajak di atas berjudul Percakapan Bocah dan sama dengan sajak Saut, mempertanyakan tentang langit, namun Kotaro tidak terjebak menulis sajak yang kekanak-kanakan. Sebab kenyataannya Tokyo dengan pencakar langitnya, dengan polusinya, dengan segala hiruk pikuknya, memang seakan sudah tak berlangit sama sekali. Dan percakapan bocah itu mengejutkan sang penyair. Sambil memandang ke langit aku terkejut./Di antara daun-daun sakura yang segar/terbentang langit cerah/langit lama, langit cerah yang kukenal. Sajak Kotaro ini sangat sederhana. Namun justru dari kesederhanaan itulah muncul kekuatan puitik. Dalam tradisi perpuisian Jepang, kesederhanaan (kebersahajaan), pada awal abad XVI telah berhasil mencapai puncaknya dalam ujud Haiku, Hokku atau Haikai. Puisi pendek yang hanya terdiri dari tiga baris dengan total 17 suku kata.
***
Eksploitasi terhadap alkohol, narkotika dan seks dalam khasanah sastra, sebenarnya bukanlah hal yang baru. Pada awal abad XX, di Surakarta, Jawa Tengah, pernah terbit dua buku dengan judul Balsafah (Filsafat) Gatoloco, dan Darmogandoel. Buku Balsafah Gatoloco, berisi percakapan (berbentuk tembang mocopat) si tokoh bernama Gatoloco alias Barang Kinisik alias Barang Panglusan yang arti harafiahnya adalah kemaluan laki-laki. Nama-nama tokoh perempuannya pun menjurus ke arah kemaluan perempuan: Dewi Mlenukgembuk, Dewi Dudulmendut, Dewi Rorobawuk dan Dewi Bleweh. Si Gatoloco dilukiskan bertampang buruk, kurus kering, hobinya mengisap candu (opium) dan menelan kleletnya, serta jagoan berdebat.
“Memang aku sangat kurus, itu kehendak Allah dan Nabi, setiap hari aku harus makan candu dan madat yang kutelan dan kubakar. Kalau tidak kuturuti perintah ini, Nabi akan marah-marah.” Ajaran agama Islam pun dilabraknya habis-habisan: “Nabi Mekah yang kau sembah, sudah tidak ada ujudnya, sudah meninggal seribu tahun silam, tempatnya pun di tanah Arab, perjalanan ke sana tujuh bulan (ketika itu), itu pun dihadang laut, dan di sana tinggal hanya makamnya, kalian sembah jungkir balik tiap hari, apa bisa sampai?” Dan lain-lain yang tingkat kekurang ajarannya telah menyebabkan buku ini dilarang sampai sekarang.
Dalam buku Darmogandoel (Darmo = ajaran; Gandoel = menggelantung, posisi kemaluan laki-laki), disebutkan antara lain istilah syariat (Islam) yang diplesetkan menjadi sarengat (yen sare njengat), yang artinya kalau tidur berereksi. Mekah (kota suci Mekah) diartikan sebagai mekakah (posisi perempuan yang mengangkang). Kristus diartikan sebagai keris, yang merupakan senjatanya kaum lelaki, yang di “tus” (dituntaskan) airnya, dengan cara ditusukkan. Yesus diartikan sebagai ebahing wanito (goyangnya perempuan). Kalau dalam Gatoloco Kristen hanya dicap sebagai “kapir”, dalam Darmogandoel kaum Nasrani (Katolik dan Kristen) lebih banyak diledek dan dijadikan lelucon secara total.
Meskipun Saut terobsesi oleh seks dan alkohol yang maunya akan ditabrakkan dengan dunia Theologi, namun eksplorasi terhadap hal ini jelas masih dalam tahap iseng kalau dibanding dengan Balsafah Gatoloco dan Darmogandoel. Dia memang sudah menyentuh figur Nabi, Malaikat, Tuhan dan Kitab Suci, tetapi sikapnya masih belum jelas dan kuat. Dia masih tampak malu-malu, ragu-ragu, takut-takut, untuk secara tegas melabrak doktrin keagamaan. Itu semua tampak dalam sajak cinta perempuanku yang lampau yang kini yang akan datang, yang mencoba menggarap eksploitasi ini. Saya kutipkan penggalan bait sajak tersebut.
sajak sajak cinta yang terlahir
dari harum alkohol dan mani
dibabtis dalam harum alkohol dan mani
apa yang lebih suci
daripada alkohol dan mani?
(bulan tiba-tiba jadi iri!)
seekor kupu-kupu yang tinggal rangka
di sudut jendela kamar
mengerti apa yang para nabi
para malaikat para tuhan tidak mengerti.
perempuanku perempuanku perempuanku
sajak sajak cinta jauh lebih suci
daripada keangkuhan semua kitab suci.
Sebenarnya gugatan terhadap Theologi formal Nasrani maupun Islam, merupakan kelanjutan dari gugatan terhadap Teologi Hindu pada abad V dan IV SM, dan Hindu serta Budha pada abad-abad awal millenium I. Secara sederhana, gugatan tersebut berupa pertanyaan, mengapa untuk bebas dari Samsara dan bisa mencapai Nirvana (Surga), harus lewat jasa para Dewa dan Dewi (Hindu). Pertanyaan inilah yang melahirkan Theologi Budha, bahwa melalui meditasi, mengosongkan pikiran dan bertapa brata, orang bisa sampai ke Nirvana tanpa bantuan siapa pun. Dari Theologi Hindu dan Budha ini, pada abad-abad awal millenium I lahir Theologi Tantraisme dan Syiwaisme, yang setelah menyatu dengan ajaran Budha menjadi Syiwa Budha dan Budha Bhairawa.
Kutub paling ekstrim Tantraisme mengajarkan, bahwa untuk mencapai Nirvana seseorang tidak perlu bantuan Dewa dan Dewi atau susah payah bermeditasi, tapa brata selama puluhan tahun. Sebab, itu semua bisa dilakukan dengan cara sangat mudah dan enak. Yakni dengan minuman keras, berjudi, berhubungan seks, merampok, membunuh dan lain-lain tindak kemaksiatan. Ritual keagamaan bisa dilakukan dengan mengorbankan gadis atau perjaka yang terlebih dulu diperkosa. Syiwaisme, Tantraisme yang digabung dengan Budhisme ini, pernah menjadi agama resmi (agama negara) bagi masyarakat Jawa pada jaman Kediri, Singosari dan Majapahit. Ketika itu agama Budha, Wisnu, Syiwa (+ Tantraisme) dan Syiwa Budha (+ Tantraisme), hidup berdampingan dengan berbagai konflik dan intriknya. Puncak dari konflik ideologis ini terjadi pada jaman pemerintahan Kerajaan Demak yang Muslim, antara para Wali Kerajaan (Wali Songo) dengan Syech Siti Jenar yang ajarannya dianggap terpengaruh Tantraisme.
Hingga ungkapan Saut dibabtis dalam alkohol dan mani, sebenarnya telah ketinggalan 100 tahun (dari Gatoloco), 1.000 tahun (dari Syiwa Budha sekitar jaman Kediri), dan 2.000 tahun dari kelahiran Tantraisme di tanah India sana. Memang, di kolong langit ini tidak pernah ada hal yang 100% baru. Sebaliknya juga tidak pernah ada hal yang 100% usang. Hingga upaya Saut untuk mengeksploitir seks dan minuman keras dalam sastra, sebenarnya merupakan sesuatu yang sah dan harus dihormati. Namun upaya tersebut baru akan tampak kuat apabila dikaitkan dengan konteks kekinian dan dilontarkan dengan intensitas tinggi. Intensitas tinggi ini baru bisa dicapai kalau si penyair punya rasa percaya diri (pede) yang tinggi pula.
Sebenarnya, dengan modal keberanian menabrak konvensi religi, seseorang tidak perlu mengkaitkan dirinya dengan penyair yang lebih senior. Dan juga tidak perlu takut kepada institusi keagamaan yang dianut. Mundurnya Sutardji dari hobi ngebir ketika dia mengklaim dirinya sastrawan sufi misalnya, memang seperti yang disebut Saut, merupakan sebuah kelemahan. Sebab Gus Mik, ulama besar kita pencetus tradisi Samakan, tetap datang ke diskotik dan menenggak bir hitam sampai dia meninggal. Gus Dur yang waktu itu Ketua Umum PBNU dan umurnya lebih tua pun, selalu mencium tangan Gus Mik. Para Kiai Sepuh juga tidak pernah berani mempermasalahkan “tradisi” Gus Mik ini, sebab ia telah sampai ke “puncak ilmunya”. Salah satu buktinya, ia tahu kapan akan meninggal.
***
Sebagai penyair yang relatif muda usia (saat ini 37 tahun), Saut masih punya kesempatan menghasilkan sajak yang lebih baik. Untuk itu dia harus lebih banyak belajar dari dirinya sendiri. Bukan dengan terus membebek penyair yang lebih senior. Selain itu diperlukan pula fokus yang lebih terarah serta keberanian dalam mengeksploitir sesuatu yang menjadi obsesinya. Kalau memang benar seks dan alkohol adalah obsesinya, maka dua hal inilah yang harus ditampilkannya secara intens dan konsisten. Resiko dari eksploitasi terhadap dua hal ini adalah, adanya tantangan dari institusi dan penganut agama, yang mayoritas pasti tidak setuju dengan hal-hal tersebut.
Bahaya lain dari intensitas menggeluti hal tertentu adalah, sang penyair akan ditelan oleh materi yang digelutinya. Kirdjomulyo dan Linus Suryadi AG adalah dua penyair Jawa yang mencoba secara intens mengangkat masalah mistik Jawa. Namun dua penyair ini hanyut terbawa oleh arus kejawen yang sangat kuat. Beda dengan Goenawan Mohamad yang juga menggeluti masalah tersebut, namun tetap bisa menjaga jarak untuk tidak hanyut. Baik dalam karya maupun kehidupan sehari-harinya. Eksploitasi terhadap alkohol dan seks untuk kepentingan sastra, bisa saja menghanyutkan penyairnya, hingga benar-benar menjadi pemabuk dan pecandu seks bebas. Efeknya, seseorang bukan menjadi penyair hebat, melainkan terkena gangguan lever, GO atau HIV.
Kesan mencari-cari pada diri Saut juga tampak masih sangat kuat dalam buku ini. Dari 52 puisi yang dihadirkan, hampir seluruhnya menggunakan pola penulisan rata kiri, lurus. Kecuali pada sajak musim salju (hal 12) dan ibu seorang penyair (hal 23) yang menggunakan pola rata tengah. Pada sajak karena laut sungai lupa jalan pulang (hal 44), rata pinggir kiri ini divariasi dengan dua bait masuk ke dalam satu “tab”. Pada sajak blues untuk katrin, dia mencoba menggunakan pola rata kiri kanan (justified). Ini merupakan upaya untuk menyegarkan diri si penyair (agar tidak bosan dalam menulis) dan pembaca (supaya tidak capek dalam membaca). Tetapi ketika dia menampilkan sajak hujan dengan tipografi yang disusun mirip hujan, maka kesan norak itu segera timbul. Sebab pola demikian (menulis aple dengan tipografi yang disusun menjadi gambar buah apel dll.) sudah menjadi trend di Eropa, khususnya di Perancis pada awal abad XX.
Di Indonesia, Remmy Silado dengan gerakan Puisi Mbelingnya, Danarto dan Jeihan dengan Puisi Konkritnya, pernah mengadopsi hal ini dan cukup menghebohkan pada dekade tahun 1970an. Puncak dari “pemberontakan” dekade tahun 1970an adalah hadirnya gaya kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri. Di dunia ini, tentu tidak ada hal yang sempurna (100% baik). Sebaliknya juga tidak mungkin sesuatu itu 100% jelek, hingga sama sekali tidak mengandung kebaikan. Buku kumpulan puisi Saut ini, tentu menghadirkan pula sajak-sajak bagus yang kalau dia mau tekun mengembangkan, akan bisa menjadi basis kuat bagi kepenyairannya di masa mendatang. Misalnya sajak Aku telah menjelajahi kemulusan tubuhMu (hal 34). Saya kutipkan keseluruhan sajak ini:
Aku telah menjelajahi kemulusan tubuhMu
seperti seekor kupu kupu menjalangi
semua mawar di taman
di luar kamar, biarlah bulan itu
sendiri
dalam kedinginannya.
perempuan yang merangkulku
dalam embun pagi hari, janganlah
engkau tertidur. tak kan ada mimpi
yang seindah permainan cinta kita ini.
hunjamkanlah lagi kuku kuku manismu
ke rambutku yang basah bau tubuh.
aku telah berdamai dengan bayanganku
di kemulusan tubuhmu
seperti kupu kupu yang menemukan
celah daun di mawar
di luar kamar. biarlah bulan itu mengutuki
bayangannya sendiri
yang pecah bersama embun di
pagi hari.
perempuan bermata biru
sebiru kemulusan ombak laut yang memukul mukul perahu
lihatlah malam tak berawan di mataku.
cinta dan bintang bintang telah bersatu
di dada si pengembara jemu.
di ujung kuku kukumulah lahir
semua kata kata sajakku!
Sajak ini relatif lancar, jujur dan tidak berlebihan dalam mengungkapkan nilai puitiknya. Meskipun materi utamanya tetap birahi, namun kesan jorok atau cabul tidak tampak. Beda misalnya dengan disebabkan oleh rendra 2 (hal 16) yang terkesan vulgar: di dalam tenda pinjamam/tubuhnya hangat/bagaikan lidah yang menyengat./susunya kecil bulat penuh/bagai bola kasti di sd dulu dst. Atau pada Aku mencintaiMu dengan seluruh jembutKu (hal 68): ada jembut nyangkut/di sela gigiMu dst. Ini lebih terkesan jorok daripada puitis. Meskipun kejorokan, bisa saja dieksploitir untuk melukiskan suasana chaos, kekumuhan dan penderitaan. Tetapi dalam puisi tadi suasana tersebut tidak muncul. Sebenarnya Saut bisa pula menulis bagus tanpa harus mengeksploitir birahi dan mabok. Misalnya pada sajaknya di hal 24 berikut ini.
hanya airmata dan terik matahari
yang mengerti
rumput-rumput sudah mulai panjang
dan seperti rambut kusut
merambati permukaan gundukan tanah
yang tak lagi berwarna merah
waktu aku datang mengunjungimu
pertemuan kita ini
punya arti
hanya airmata dan terik matahari
yang mengerti
seperti cerita dalam lagu
anak anakmu mencabuti rumput rumput itu
lalu mencoba mempertinggi gundukan tanah seperti semula
lalu menanam beberapa bunga di atasnya
sebentar lagi aku akan pergi lagi
sebentar lagi tinggalah kau sendiri lagi
hanya bekas-bekas jari tanganku
bekas bekas tapak sepatuku
pertanda aku pernah mengunjungimu
ada yang bilang tak boleh menoleh ke belakang
kalau laki sudah beranjak mau pulang
tapi dari jauh
kulihat salib kayumu
tegak penuh
seperti dirimu waktu melepasku
di pelabuhan dulu
Sajak ini berkisah tentang seorang laki-laki yang berziarah ke makam perempuan, yang pernah punya hubungan khusus dengannya (mungkin istrinya). Biasanya materi demikian akan melahirkan sajak yang cenderung cengeng atau sentimental. Dalam hal ini Saut tidak terjebak ke dua hal tadi. Beberapa sajak dalam kumpulan ini, masih bisa dikatagorikan seperti dua sajak yang saya kutip penuh tadi. Meskipun jumlahnya tidak banyak. Ini semua bisa menjadi modal dasar, kalau Saut mau mengembangkannya. Hingga sebenarnya, tanpa harus vulgar, norak dan terlalu mengeksploitir alkohol serta seks pun, Saut bisa melahirkan puisi yang baik. Mengeksploitir dua hal tadi pun, sehat-sehat saja untuk dilakukan. Asal secara intens, konsisten, dan berani berhadapan dengan institusi keagaman yang mirip tembok raksasa yang sangat kokoh.
***
[Makalah untuk Bahan Diskusi Bulanan Meja Budaya di PDS HB Jassin (TIM), Kamis 15.00 WIB, 18 Desember 2003]
_____________
*) Floribertus Rahardi atau F. Rahardi, lahir di Ambarawa, Semarang, Jawa Tengah 10 Juni 1950, seorang penyair, petani, wartawan, penulis artikel, kolom, kritik sastra, cerpen, novel, dll. Pendidikan drop out kelas II SMA tahun 1967, dan lulus ujian persamaan SPG (1969). Pernah menjadi guru SD, dan kepala sekolah di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Tahun 1974 ke Jakarta, lalu alih profesi menjadi wartawan, editor serta penulis artikel/kolom di berbagai media. Pertama menulis puisi akhir tahun 1960-an, dimuat di Majalah Semangat, Basis (Yogyakarta), dan Horison (Jakarta).
https://frahardi.wordpress.com/artikel/saut-kecil-bicara-dengan-mabok-dan-birahi/