Maman S. Mahayana
Belanda sebagai negara kecil di Eropa sebenarnya cukup punya reputasi yang baik sebagai negara kolonial yang berhasil merambahkan kekuasaannya sampai ke Afrika. Meski begitu, Belanda termasuk salah satu negara kolonial yang gagal menanamkan jejak peradabannya di negara bekas koloninya dibandingkan negara-negara Eropa lainnya, seperti Inggris, Prancis, Portugis atau Spanyol. Paling tidak, bahasa dan agama yang ditinggalkan negara-negara kolonialis itu menciptakan semacam ikatan sejarah yang menghubungkan negara-negara itu dengan bekas wilayah koloninya. Belanda tidak! Agama tidak, bahasa pun tak!
Satu-satunya keberhasilan Belanda meninggalkan jejak kekuasaan kolonialismenya di wilayah Nusantara adalah penggantian penulisan Arab—Melayu atau huruf Jawi ke huruf Latin. Dalam hal ini, Belanda tidak meninggalkan peradaban, melainkan dampak politik kolonial yang pengaruhnya begitu besar. Para ulama dan intelektual Nusantara yang terbiasa menulis dalam bahasa Melayu dengan huruf Arab—Melayu atau huruf Jawi, seketika peranannya surut ke belakang dan posisinya digantikan oleh mereka yang bisa bahasa Melayu dan bisa menulis dengan huruf Latin. Tidak jadi soal, apakah mereka ulama besar yang dihormati masyarakat atau bukan; apakah mereka kaum intelektual yang menguasai bahasa Arab dan Parsi atau bukan. Yang penting: mereka bisa bahasa Melayu, bisa pula menulis dengan huruf Latin. Cukup! Jadi, begitulah. Ketika para ulama yang terbiasa menulis dalam bahasa Melayu dengan huruf Arab-Melayu atau huruf Jawi, tidak men-switch atau mengganti saklar keterampilan menulisnya dengan huruf Latin, mereka tersalip dan terpinggirkan oleh mereka yang bisa bahasa Melayu sedikit, tetapi bisa menulis dengan huruf Latin. Itulah politik bahasa yang dampaknya sangat luas, yaitu berhasil meminggirkan tradisi penulisan Arab-Melayu ke mesin cetak dengan huruf Latin.
Di Betawi pada akhir abad ke-19, misalnya, Muhammad Bakir bin Sofyan bin Usman Fadli dikenal sebagai pengarang profesional. Ia menulis naskah dan kemudian meminjamkannya kepada masyarakat dengan bayaran tertentu. Sebuah naskah yang ditulis Muhammad Bakir, berjudul Hikayat Maharaja Gerebeg Jagad menunjukkan hal tersebut. Di dalam kolofon (catatan yang biasanya terdapat di belakang halaman judul) tertulis keterangan bahwa naskah itu selesai ditulis pada 29 Rabiul Akhir Hijratun-Nabi Sallalahu alayhi wassalam sanat 1310 (19 November 1892). Di sana, Muhammad Bakir juga menyatakan dirinya sebagai orang miskin, kepala keluarga yang mempunyai tanggung jawab kepada anak dan istri, tidak mempunyai pekerjaan dan hanya mengharapkan pemasukan uang dari penyewaan hikayat. Untuk setiap naskah yang disewa sehari-semalam, dikenakan tarif sepuluh sen. Agar masyarakat mau menyewa naskahnya, ia menulis sendiri ceritanya dengan tema yang bermacam-macam, mulai dari cerita wayang sampai Hikayat Syeikh Abdulkadir Jailani atau menyalin kembali naskah-naskah milik ayahnya.
Ada sekitar 30-an naskah yang ditulis atau disalin Muhammad Bakir. Selain menulis dan menyewakan naskah, Muhammad Bakir juga kerap diminta oleh beberapa pejabat Belanda untuk menyalin, menuliskan cerita, membuat surat atau mencatat peristiwa yang dianggap penting atau sekadar membacakan naskah sesuai keperluan pejabat yang bersangkutan. Jadi, sejauh pengamatan, pekerjaan mengarang sebagai profesi, telah dirintis Muhammad Bakir ketika itu.
Tetapi, apa yang terjadi kemudian ketika bahasa Melayu tidak lagi memakai huruf Arab—Melayu atau huruf Jawi? Kiprahnya tidak lagi terdengar lantaran Muhammad Bakir tidak men-switch ke huruf Latin. Yang berperan di media massa adalah golongan indo dan peranakan Tionghoa yang bisa bahasa Melayu (sekadarnya) dan bisa menulis dengan huruf Latin. Muhammad Bakir adalah satu contoh. Contoh lain tentu saja masih dapat kita deretkan, bagaimana para ulama Nusantara, seperti Al-Banjari, Al-Bantani, Syeikh Junaid al-Batawi, dan seterusnya, berikut karya-karya agungnya seolah-olah ikut pula tenggelam. Epos-epos besar dan mahakarya seperti Mahabharata, Ramayana, Hikayat Hang Tuah, Hikayat Raja-Raja Pasai, Tajus As-Salatin, Bustanul As-Salatin, dan seterusnya, cuma terdengar namanya, tetapi tak pernah tersentuh barangnya. Naskah-naskah itu jadinya seperti artefak beku peninggalan masa lalu yang terkucil dari kehidupan sosial masa kini. Naskah-naskah itu nun jauh di masa lalu dan tidak pernah dibunyikan lagi, sehingga tidak memunculkan perdebatan, polemik, dan pemaknaan baru.
Pelatinan dalam bahasa Melayu, di satu pihak, meminggirkan para ulama yang terbiasa menulis dengan huruf Jawi menjauh dari pusat arena sosial, dan di pihak lain, memunculkan golongan Indo dan peranakan Tionghoa memainkan peranannya di dekat kekuasaan. Terjadinya perubahan sosial di Hindia Belanda abad ke-19 dan memasuki abad ke-20, seolah-olah sama sekali tidak melibatkan para ulama besar Nusantara. Para pemainnya adalah mereka yang menguasai bahasa Melayu dengan huruf Latin.
***
Sebenarnya, bahasa Melayu sendiri sangat mudah dipelajari, terutama untuk pergaulan sehari-hari dan kegiatan percakapan lisan. Apalagi bahasa Melayu sudah sejak lama menjadi lingua franca dan dipergunakan sebagai bahasa perhubungan antarbangsa di Nusantara. Tetapi mempelajari huruf-huruf dan penulisan yang menggunakan Arab-Melayu atau Jawi, bagi bangsa Belanda merupakan persoalan lain. Mereka lebih mudah belajar bahasa Melayu dengan huruf Latin daripada dengan huruf Arab. Seperti dikatakan van Ronkel: “Berbicara dalam bahasa Melayu merupakan hal biasa bagi kami. … sayangnya orang Belanda yang dapat “membaca” (mengerti huruf Arab) masih sangat langka.” (Denys Lombard, 1996: 96). Itulah yang menyebabkan sosialisasi pemakaian huruf Latin dalam bahasa Melayu dipraktikkan secara bebas dalam surat-menyurat, administrasi pemerintahan, dan media massa.
Bagi pengusaha Belanda, Indo-Belanda atau golongan peranakan Tionghoa, pelatinan bahasa Melayu memudahkan mereka melakukan komunikasi, menyebarkan berita-berita kedatangan dan keberangkatan kapal, menyampaikan pengumuman harga-harga komoditas, membuat iklan lelang, dan seterusnya. Bersamaan dengan itu, pada paroh pertama abad ke-19, surat-surat kabar berbahasa Belanda banyak yang mengalami kebangkrutan, gulung tikar karena ditinggalkan pembacanya yang makin sedikit, sementara masyarakat Indo-Belanda dan golongan peranakan Tionghoa, lebih suka memakai bahasa Melayu. Maka, munculnya surat-surat kabar berbahasa Melayu dengan huruf Latin mendapat sambutan yang baik dari masyarakat. Itulah salah satu latar belakang munculnya surat-surat kabar berbahasa Melayu. Para pengelola media massa yang pada dasarnya berkiprah dengan orientasi bisnis, melihat peluang yang baik dalam bisnis penerbitan surat kabar. Waktu itu, belum ada pribumi yang memasuki bisnis penerbitan surat kabar.
Modal para pengelola surat-surat kabar itu, selain tentu saja kepemilikan modal kapital, juga modal sosial dan modal simbolik, yaitu dapat berbahasa Melayu dalam ragam percakapan secukupnya. Mengingat waktu itu belum ada pedoman pelatinan bahasa Melayu, maka mereka menuliskannya berdasarkan ucapan yang kadang kala disesuaikan dengan penulisan dalam bahasa Belanda atau ucapan dan pelafalan yang lazim dipakai golongan peranakan Tionghoa. Bahasa Melayu dengan huruf Latin yang terpampang di surat-surat kabar yang awal itu, boleh dikatakan, bahasa Melayu lisan yang dituliskan. Belakangan, bahasa Melayu seperti itu dikatakan sebagai bahasa Melayu rendah.
Sejak tahun 1856 sampai tahun 1900, sedikitnya tercatat 15 surat kabar berbahasa Melayu dengan huruf Latin yang terbit. Tidak ada unsur politik di balik keterlibatan para pengelola media massa itu. Jadi, pada awalnya, penerbitan surat kabar itu semata-mata murni dilatarbelakangi oleh faktor ekonomi, sebagai bisnis. Dalam hal ini, tidak dapat diabaikan, pengaruh kapitalisme makin menunjukkan peranannya yang penting dalam kehidupan masyarakat di Hindia Belanda masa itu. Dalam perkembangannya, ada faktor idealisme dan ideologi di balik usaha mengejar keuntungan. Terlepas dari masalah berbagai kepentingan itu, penerbitan surat-surat kabar berbahasa Melayu dengan huruf Latin berdampak sangat luas, menciptakan perubahan besar dalam tata kehidupan masyarakat di Hindia Belanda, terutama di wilayah-wilayah perkotaan.
Berdasarkan Katalog Surat Kabar: Koleksi Perpustakaan Nasional 1810—1984 yang disusun Wartini Santoso (1984) ke-15 suratkabar berbahasa Melayu dengan huruf Latin terbitan tahun 1856—1900 itu, sebagian besar terbit di Betawi, sebagiannya lagi terbit di berbagai daerah, termasuk yang terbit di Rotterdam.
Meskipun buku itu tersurat berjudul Katalog Surat Kabar: Koleksi Perpustakaan Nasional 1810—1984, dalam kenyataannya, setelah dilakukan penelusuran, ada surat kabar yang tidak ditemukan sebagai koleksi Perpustakaan Nasional, yaitu Soerat Kabar Bahasa Melaijoe, terbit di Surabaya, 12 Januari 1856. Berdasarkan tarikh penerbitannya, 12 Januari 1856, sejauh ini, kita dapat menempatkan surat kabar itu sebagai surat kabar pertama yang berbahasa Melayu dengan huruf Latin. Ahmat Adam (2003: 32) juga menyebutkan, bahwa Soerat Kabar Bahasa Melaijoe sebagai surat kabar pertama berbahasa Melayu yang terbit di Indonesia. Sayangnya, Perpustakaan Nasional RI (Perpusnas) tidak menyimpan koleksi surat kabar itu, baik dalam bentuk aslinya, maupun dalam bentuk mikrofilm.
Yang menarik dari ke-15 surat kabar itu adalah adanya kecenderungan para pengelolanya memanfaatkan khazanah sastra Melayu (pantun, syair, hikayat, dongeng, atau cerita terjemahan) untuk menambah jumlah pelanggan. Bagaimanapun, hidup-matinya media massa ketika itu sangat bergantung dari jumlah pelanggan dan adanya pemasangan iklan. Oleh karena itu, dengan berbagai cara, para pengelola surat kabar berusaha menambah jumlah pelanggan, baik melalui pemotongan harga, pemuatan pantun atau berita yang dikirim pembaca, atau hadiah berupa gratis berlangganan selama tiga sampai enam bulan. Dari ke-15 media massa itu, ada dua surat kabar dan satu majalah yang setiap edisinya memuat karya sastra. Kedua surat kabar itu adalah Biang-lala (dwimingguan, Batavia: Ogilvie, 11 September 1867—Desember 1872) dan Bintang Djohar (mingguan, Betawi: T. Pen, 1873—1886 sebagai lanjutan Bianglala), serta majalah Çahhabat Baik (bulanan, Betawi: Albrecht & Rusche, 1890). Ketiga media massa itu dikelola para misionaris Kristen. Di sana, dalam setiap edisinya, dimuat pantun, syair, hikayat, dan cerita-cerita lain, terutama cerita terjemahan.
Majalah Çahhabat Baik, bahkan di bawah judulnya tertulis keterangan: “Hikajat, tjerita, dongeng, sjair, pantoen, dan lain-lain dari pada itoe. Di Koempoelkan dan di hijasi dengan bebrapa gambar.” Rupanya, karya-karya sastra yang berupa pantun, syair, dan hikayat yang dimuat majalah itu, hampir semuanya pernah dimuat surat kabar Biang-lala atau Bintang Djohar.
Perpustakaan Nasional juga menyimpan surat-surat kabar terbitan di luar Betawi. Dua di antaranya, Bintang Oetara (bulanan, Rotterdam, 5 Februari 1856) dan surat kabar Slompret Melayu, Semarang. Slompret Melayu jika dilihat dari usia penerbitan surat kabar itu (pertama kali terbit 3 Februari 1860) sampai pertengahan tahun 1890-an, dapat dikatakan, bahwa surat kabar ini yang paling lama bertahan pada zamannya. Kebertahanan yang lebih dari tiga dasawarsa itu, tentu didukung oleh berbagai faktor, seperti jumlah pelanggan yang makin bertambah, pemuatan iklan yang lumayan banyak, serta manajemen keuangan yang baik. Surat kabar Slompret Melayu pun memuat banyak karya sastra yang berupa pantun, syair, hikayat, dan cerita-cerita terjemahan dari Eropa, Timur Tengah, dan Tiongkok.
Bagaimana sesungguhnya hubungan tradisi sastra Melayu produk tulisan tangan atau penyalinan yang menggunakan huruf Arab-Melayu atau Jawi ke sastra Melayu produk cetak dengan huruf Latin yang tersebar di surat-surat kabar itu?
Pemikiran dikotomis sastra (Indonesia) lama dan sastra (Indonesia) baru atau sastra tradisional dan sastra modern, titik pangkalnya bermula dari sesat nalar seperti itu. Seolah-olah keberadaan mesin cetak menandai segalanya jadi baru dan modern, dan sebelum itu semuanya lama dan tradisional. Kesusastraan dan kebudayaan secara keseluruhan tidak dapat disederhanakan seperti itu. Perjalanan kesusastraan sebuah bangsa di mana pun, tidak dapat direduksi semacam itu. Mesin cetak hanyalah sebuah alat. Benar ia mengubah banyak hal, tetapi tidak serta merta mengubah cara berpikir dan bersikap. Tidak seketika karya yang sama yang awalnya ditulis tangan dengan menggunakan huruf Arab—Melayu berubah menjadi sastra baru atau modern hanya karena dialihtuliskan ke huruf Latin dicetak dan dipublikasikan di surat kabar.
Ketika Abdullah bin Abdulkadir Munsyi pertama kali menggunakan alat cetak batu untuk karyanya Kalila dan Damina, ia mengatakan ada empat manfaat yang dapat diambil dari alat cetak batu itu, yaitu (1) betul perkataannya dengan tiada bersalah, (2) lekas pekerjaannya, (3) terang hurufnya lagi senang membacanya, dan (4) murah harganya. Sejak itu dimulailah penerbitan buku-buku sastra dan buku pengetahuan lainnya yang berbarengan dengan penerbitan surat-surat kabar dan majalah.
Begitulah, sastra Melayu yang pada awalnya ditulis tangan atau melalui penyalinan dengan huruf Arab—Melayu atau Jawi, memasuki produk cetak dengan huruf Latin. Terjadinya perubahan dari tradisi tulis tangan dan penyalinannya dengan huruf Jawi atau Arab—Melayu ke produk cetak dengan huruf Latin, benang merahnya dapat ditelusuri melalui keberadaan surat-surat kabar itu. Jadi, awal kemunculan surat-surat kabar berbahasa Melayu yang menggunakan huruf Latin merupakan fase penting perjalanan tradisi sastra Melayu memasuki produk industri mesin cetak. Itulah fase yang seperti menciptakan missing link, seolah-olah ada garis putus, ada rumpang dari tradisi sastra Melayu produk tulisan tangan dan huruf Arab-Melayu ke produk mesin cetak dengan huruf Latin. Padahal, kenyataannya tidak. Ada garis kontinu dari produk tulisan tangan atau penyalinan dalam sastra Melayu dengan huruf Arab-Melayu atau Jawi ke sastra Melayu produk cetak dengan huruf Latin.
Empat surat kabar, yaitu (1) Bintang Oetara (Rotterdam, 1856), (2) Bintang Djohar (Betawi, 1873), Slompret Melayu (Semarang, 1889), dan (4) Pembrita Betawi (Betawi, 1895) adalah bukti otentik, bagaimana keempat surat kabar itu memanfaatkan khazanah sastra Melayu dan menyiarkannya kembali dengan huruf Latin. Tidak ada garis pemisah, tidak ada garis putus perjalanan sastra Melayu hingga sampai ke sastra Indonesia setelah bahasa Melayu diangkat menjadi bahasa Indonesia. Oleh karena itu, dikotomi sastra Indonesia (lama—baru; tradisional—modern) adalah produk sesat nalar yang tunasejarah. Maka, kembalikan sastra Indonesia ke tradisinya, ke cikal-bakalnya, yaitu sastra Melayu!
***