Sihar Ramses Simatupang
Kehadirannya disambut dengan antusiasme oleh masyarakat. Salah satu bentuknya adalah dengan kehadiran bermacam-macam komunitas yang dipertemukan oleh minat terhadap sastra. Selain situs cybersastra, milis penyair, bumi manusia, dan bunga matahari, salah satu komunitas yang eksis hingga saat ini adalah Apresiasi- Sastra (biasa disebut Apsas).
Di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, Sabtu (31/1), milis Apsas menggelar perayaan ulang tahun yang keempat. Para anggota komunitas ini berkumpul dan menggelar aktivitas yang berhubungan dengan sastra, seperti diskusi sastra, pembacaan puisi, hingga pertunjukan teater. Pesertanya beragam, bila kita melihatnya dari sisi profesi maupun ideologi mereka. Kendati usianya bervariasi, namun, menurut salah satu moderator Apsas, Sonny Debono kepada SH (5/2), yang paling berperan justru generasi yang “tua”. Selain itu, yang terlibat di milis ini adalah orang-orang yang dikenal “serius” di kepenulisan sastra.
“Motivasi paling dominan justru di kalangan sastrawan “senior”. Kebanyakan saling mengapresiasi antaranggota, baik terhadap buku baru, artikel di koran, maupun memberi masukan dan kritik sastra,” paparnya.
Selain dapat bertemu di acara tahunan milis ini, launching buku, dan aktivitas sastra lainnya, komunikasi antarmoderator dapat dilakukan secara darurat. Dia mencontohkan, ketika ada kunjungan dari moderator, seperti Sigit Susanto yang tinggal di Swiss, para moderator akan mengadakan pertemuan sporadis. “Jadi tetap ada aktivitas darat, bersama rekan-rekan anggota Apsas. Mereka juga dapat bertemu di darat karena kegiatan komunitas, baik dari milis maupun komunitas lainnya,” papar Soni.
Terhadap media cetak, menurutnya milis Apsas bersifat terbuka, baik terhadap situs atau milis lain, bahkan terhadap media sastra di koran sehingga kalaupun ada member yang dimuat di koran, biasanya akan dikabarkan di Apsas, kemudian diapresiasi.
“Saya kira tidak ada pembedaan yang terlalu signifikan antara sastra di media cetak dan internet di kalangan moderator. Kalaupun ada wacana, ya, berupa pengakuan ataupun pemberontakan, itu akan ditanggapi sebagai wacana dan sikap kritis. Namun bagi kami, tetap ada ruang untuk perbedaan,” paparnya.
Lebih Ekspresif
Dalam diskusi itu, Sabtu, masalah kebebasan berekspresi juga menjadi topik yang hangat dipersoalkan. “Sastra cyber memang memberikan ruang berekspresi yang lebih leluasa bila dibandingkan dengan panggung sastra yang lainnya,” kata Nurudin Asyhadie, salah seorang pembicara. Dia membandingkan sastra cyber dengan kesempatan yang diberikan untuk berapresiasi di media yang lainnya, seperti dengan koran, majalah, atau buku antologi. Di media-media tersebut, masih banyak batasan-batasan yang mesti dilewati agar karya seseorang bisa ditampilkan dan dapat dibaca oleh orang lain.
Di sisi lain, kemudahan untuk berekspresi di internet ini ternyata mengundang kritikan pula. Dalam catatan penyair dan eseis Saut Situmorang, seorang kritikus sastra dan dosen sastra Maman S. Mahayana pernah menyebut para penyair cyber Indonesia belum pantas untuk dikategorikan sebagai “penyair”, tetapi “penulis puisi”. Perbedaan istilah ini hanya berdasarkan ketidakjelasan produktivitas mereka belaka.
Polemik lain juga pernah muncul terhadap produk dari komunitas sastra cyber Indonesia, yaitu ketika Yayasan Multimedia Satra (YMS) menerbitkan antologi puisi digital dalam bentuk CD multimedia yang bernama CYBER puitika. Kritik datang dari dua orang yang dianggap sebagai otoritas seni Indonesia, yaitu Sapto Raharjo dan Faruk HT —keduanya dari Jogjakarta.
Kedua orang ini mengatakannya sebagai cermin makin kuatnya pengaruh budaya konsumerisme dan absennya orisinalitas kreatif karena hanya meramu elemen-elemen yang sudah ada. Saut balik menuding polemik tersebut sebagai sederetan “pseudo” belaka, baik itu pseudopolemik, pseudokritik, pseudokritikus, dan pseudosastrawan- senior.
“Tidak adanya pengetahuan tentang sastra cyber, tidak adanya pengetahuan tentang hakikat “teks” tulisan dalam dunia internet yang disebut “hyper-text” dan hubungannya dengan teks-teks lain melalui jaringan “hyper-link” , dan tidak adanya pengetahuan tentang seni kolase yang menggabung-gabungka n berbagai bentuk seni menjadi satu seni multimedia, ternyata tidak membuat para penghujat sastra cyber Indonesia untuk introspeksi, ” katanya.
***
Copyright © Sinar Harapan 2008
https://gudangsastraindo.blogspot.com/2010/05/dinamika-sastra-cyber.html