HIKAYAT POHON DURIAN

Indra Intisa

Ini bukan dongeng, bukan pula legenda. Jika kausudi mendengar, marilah ke sini. Pasang telinga baik-baik. Amati dengan saksama. Kelak kau akan terkejut, betapa nyatanya … di dunia ini. Mereka ada di sana—di tempat yang kau tak sangka-sangka. Di tempat-tempat yang kau abaikan.
***

Sebatang pohon durian kecil, tumbuh lurus di antara sebatang pohon jati dan tunggul durian tua. Daun-daunnya hijau mengkilap, kekuning-kuningan. Sekilas seperti emas yang berkilau-kilau ketika diterpa oleh sinar matahari. Tingginya kira-kira dua meter. Di sekitar, tanah terlihat kering—tiada rumput yang biasanya berjejer. Ranting-ranting dan dahan-dahan kayu yang mulai melapuk menumpuk di depan mereka. Selebihnya, hanya lahan kosong yang terlihat seolah-olah tandus tanpa pepohonan.

Angin berembus sepoi-sepoi. Daun-daun durian kecil bergerak-gerak berlawanan dengan arah angin. Batangnya meliuk-liuk seperti penari balet yang sangat lincah dan lentur. Tunggul Durian Tua terdiam kaku—tak bergerak—selain mulutnya yang tersenyum tipis melihat ulah si Durian Muda.

“Amboi, bahagia sekali kau, Durian Muda?” tanyanya kepada Durian Muda yang bertubuh mungil itu.

Durian Muda berhenti sejenak, “Iya, dong. Tak dapatkah kau melihat alam yang luas terbentang ini? Tak ada pohon-pohon besar yang biasa menutup tubuh kecilku ini lagi selain sebatang Pohon Jati itu,” jawabnya sambil menunjuk Pohon Jati yang berdiri di sampingnya, kira-kira lima meter. Kemudian ia kembali berjoget mengikuti arah angin.

“Kenapa kau bahagia jika pohon-pohon itu ditebang?” tanya Tunggul Durian Tua kembali. Pohon Jati hanya menggeleng-gelengkan kepala.

“Tentu saja. Aku bisa berdiri bebas di sini tanpa terganggu.” Sedikit culas. Sedikit pongah.

“Durian Muda, sebagai anak muda, tak baik kau bicara seperti itu. Sebelum kau lahir, tanah ini adalah tanah surga bagi orang-orang di sini,” jawab Tunggul Durian Tua kesal.

“Orang tua, kau tak tahu betapa beratnya menjadi kecil di antara durian-durian besar. Aku hidup seperti tak dianggap. Mereka menertawakanku, meremehkan, merendahkan.”

“Ah, kau masih terlalu muda untuk tahu. Tidakkah kau bahagia melihat banyak orang-orang berbahagia duduk di sini—menunggu durian jatuh? Anak-anak kecil tertawa, berlarian dan berkejaran di antara pohon-pohon durian—berebut buah kita yang jatuh. Buah-buah yang mereka dapat bisa dimakan dengan nikmat, sebagian bisa mereka jual untuk menambah uang jajan atau mungkin untuk uang sekolah mereka.”

“Anak-anak hanya sekadarnya saja, Tunggul Durian Tua. Selebihnya, hanya diisi oleh egoisnya orang dewasa yang memperebutkan durian.”

“Itu bukan egois, tetapi kebutuhan. Buah durian bisa menjadi penghasilan mereka. Kita berbahagia ketika mereka bahagia.”

“Tetap saja bukan aku. Pujian itu hanya milik kalian durian-durian yang telah berbuah. Sedang aku, hanya durian muda yang selalu diabaikan. Bahkan ketika semak-semak mulai meninggi, para pemilik kebun tidak mau membersihkan area di sekitarku. Sekarang terang benderang. Mereka habis ditebang. Aku bisa berdiri kokoh tanpa terhalang.”

“Sebagai durian, kau sungguh keterlaluan. Kelak kau akan merasakan akibatnya.”

“Akibat apa? Yang ditebang hanyalah pohon-pohon besar, bukan aku.”

“Ingatlah, Durian Muda. Zaman dahulu, durian hanya ditanam untuk dimanfaatkan buah-buahnya saja. Sedangkan pohon-pohon lain—yang bukan buah—seperti jati, kulim, marsawa, dan pohon keras lainnya hanya ditebang untuk dimanfaatkan batangnya. Batang mereka dijadikan papan untuk perumahan dan alat-alat bangunan lainnya. Waktu itu, kami juga teralu pongah seperti kau. Tidak mungkin kami akan ditebang sampai maut menjelang—sampai dahan-dahan kami lapuk ditelan usia. Namun rupanya tidak. Manusia terlalu cepat berkembang. Mereka terus hidup semakin buas. Memakan apa saja yang bisa dimakan. Lama-lama, bumi ini habis mereka telan tanpa memikirkan anak-cucunya.”

“Itu hanya berlaku untuk pohon-pohon besar saja dan pohon durian yang sudah berbuah.”

“Bukan karena sudah berbuah, Durian Muda. Namun sudah layak untuk dibelah dan dijadikan papan. Padahal uang yang mereka makan tidak lebih sebatas di tenggorokan saja. Sebatang pohon hanya dihargai sekitar seratus sampai dua ratus ribu rupiah. Itu hanya beberapa hari saja sudah habis. Buat apa mereka menebang hanya untuk uang sekecil itu? Tak mereka pikirkan ayah-kakek mereka dulu yang telah bersusah-payah menanam kita. Kata mereka, Durian ini kami tanam untuk anak-cucu kami. Biar mereka bisa menikmati durian tanpa meminta-minta ke orang lain. Sedang generasi anak-cucunya tumbuh menjadi parasit. Tak mereka pikirkan lagi masa depan untuk anak-cucunya kelak, selain kesenangan sesaat.”

“Yang ditebang itu hanya di negeri kita saja, Tunggul Durian Tua. Kau tak usah khawatir. Di negeri lain, pohon durian tumbuh dengan subur. Tak satu pun mereka tebang karena durian hidup seperti anak kesayangan mereka. Sungguh berbeda dengan jenis kami. Kami ditanam untuk ditebang,” potong Pohon Jati tiba-tiba.

“Tidak juga Pohon Jati. Dengar-dengar kabar, hampir setiap kampung dan pelosok juga terkena wabah penebangan ini. Bahkan sampai ke provinsi sebelah.”

“Namun tidak separah kampung kita ini, Tunggul Durian Tua,” sanggah Pohon Jati. “Di kampung ini, populasi durian barangkali hanya tinggal sekian persen saja.”

“Justru itu yang paling aku khawatirkan. Aku cemas orang-orang di sini akan menjadi pengemis tanpa mereka sadari.”

“Ah, tinggal dibeli saja beres. Yang penting, aku aman. Pohon kecil takkan ditebang,” tambah si Durian Muda pongah.

“Jika kecil, suatu saat akan besar. Akan datang masanya juga,” kata si Pohon Jati.

“Masa itu entah bila datangnya. Generasi selalu berganti. Ke depannya kita tak tahu, apakah batang durian masih dibutuhkan atau tidak. Manusia semakin modern. Kayu-kayu mulai digantikan dengan alumunium, besi, dan zat padat lainnya yang lebih baik,” kata Durian Muda tersenyum.

“Kelak akan datang masanya!”
***

“Ibu, kenapa semua pohon durian ini ditebang?” tanya seorang bocah laki-laki berumur delapan tahun, suatu hari yang cerah.

Seorang ibu berwajah keibuan, bertubuh tambun tersenyum. “Untuk dijual, anakku.”

“Kenapa dijual, Bu? Bagaimana nanti jika kami ingin memakan buah durian? Semua sudah habis ditebang.”

“Tidak semua ditebang, kok.”

“Ditebang, kok, Bu. Pak Dulah, Pak Rome, dan Bang Jufri adalah tiga orang pemburu batang durian. Kabarnya, sejak beberapa tahun yang lalu, hampir semua durian di kampung kita ini sudah habis ditebang. Ladang kita ini adalah ladang durian terakhir. Sayang, ibu tebang juga untuk dijual.”

“Kau tak paham, anakku. Kita butuh hidup. Minggu ini, harga karet sangat rendah. Kita butuh biaya tambahan. Bersyukurlah ada pohon-pohon durian ini.”

“Bersyukur untuk ditebang?”

“Hus! Bukan untuk ditebang, tapi untuk dijual—untuk dijadikan uang. Bisa buat makan kita minggu ini. Buat uang jajan kau juga.”

“Uang jajanku hanya seribu, Bu. Paling banyak Cuma lima ribu sehari. Tidak ada perbedaannya dengan hari-hari yang lain sebelum durian ditebang.”

“Kau masih kecil, uang segitu, cukuplah.”

“Bagaimana nanti jika kita ingin makan durian, Bu? Sedang semua durian sudah ditebang.”

“Tinggal beli, anakku.”

“Beli di mana, Bu? Bukan semua sudah ditebang?”

“Di kampung-kampung yang lain masih sangat banyak, kok. Kita bisa beli ke sana.”

“Bagaimana jika tidak ada uang?”

“Jangan dibeli.”

“Tetapi, Bu?”

“Sudah, sudah. Jangan banyak bantah. Bantu Ibu membersihkan dahan dan ranting ini untuk dibakar. Jangan lupa kaubakar juga tunggul durian tua di pojok sana itu. Tunggulnya terlalu besar. Sulit untuk dibongkar.”

“Bakarnya pakai apa, Bu?”

“Jangan bodoh, lah. Pakai minyak ini. Campurkan dengan ranting dan daun kering ini.”

“Ibu … Ibu ….”

“Apalagi?”

“Itu ada anak pohon durian. Jangan dibakar juga, ya!”

“Baiklah.”

“Terima kasih, Bu. Pohon ini akan kita besarkan. Kelak akan berbuah.”

“Maksud ibu, bukan dipelihara.”

“Maksudnya bagaimana, Bu? Bukankah boleh tidak dibakar?”

“Iya, tetapi dengan cara ditebang. Mengganggu saja.”

“Kenapa mengganggu, Bu?
Hanya satu pohon ini saja, kok. Tidak akan memenuhi tanah kita. Biar ada yang kami tunggui saat besar nanti—biar kita tidak membeli ke orang lain.”

“Jangan. Kalau pohon durian ini besar, maka kita pun takkan mendapatkan hasilnya. Semua orang akan tertuju ke pohon ini. Karena tak ada durian yang lain selain pohon durian ini yang tumbuh di kampung kita.”

“Tak apa, Bu. Jika berbuah, anggap saja sedekah untuk orang-orang.”

“Tidak bisa begitu, anakku. Kita yang rugi. Kita merawat dan membesarkan, dan orang lain yang mendapatkan hasil. Daripada sakit hati, baiknya kita tebang saja. Biar tak dapat semuanya.”

“Lalu bagaimana dengan pohon jati itu? Tidak ditebang juga, Bu?”

“Tidak! Pohon itu bisa menjadi batas tanah kita atau pohon pelindung. Ia tak berbuah, jadi tak perlu kita risaukan.”

“Baik, Bu!”
***

2017

Keterangan:
Cerpen ditulis sebagai rasa prihatin saya terhadap penebangan pohon-pohon durian di desa Sungai Abang, Kab. Tebo, Jambi. Termasuk di desa-desa sekitar yang terus meluas ke provinsi tetangga.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *