Sutan Syahrir
Pendahuluan
Kesadaran akan penghidupan kultur makin lama makin besar pada kita. Tak dapat disangkal bahwa jasa yang terbesar untuk menghidupkan dan mengembangkan kesadaran itu adalah pada segolongan kaum muda yang berkumpul di sekililing majalah Pujangga Baru.
Pergerakan pemuda ini mula-mula hanya menarik perhatian oleh semangat kegembiraannya untuk membangunkan suatu penghidupan kultur di Indonesia, yang tidak berbau udara museum atau menyan. Tujuan dan dasar mula-mula belum terang, sekurang-kurangnya bagi orang di luar. Akan tetapi lambat laun semangat kegembiraan muda tadi pun bertambah jernih, ditapis oleh pengalaman dan pengertian yang lebih lanjut akan kedudukan dan kesanggupan sendiri.
Pujangga Baru menjadi majalah bulanan yang hendak: memimpin semangat baru yang dinamis untuk membentuk kebudayaan baru, kebudayaan persatuan Indonesia. Kesadaran akan diri didapat: semangat dinamis semangat pembaru. Tujuan tetap masih belum terang benar. Bagaimanakah rupanya kelak kebudayaan baru, kebudayaan persatuan Indonesia itu?
Mengetahui yang akan datang di dalam penghidupan dan pergaulan manusia kita serahkan saja kepada Mme Leila. Kita sebagai manusia biasa hanya dapat menduga dan berikhtiar mencapai apa yang kita kehendaki. Apakah yang dikehendaki pergerakan Pujangga Baru ini? Bagaimana rupa kebudayaan baru yang dikehendaki Pujangga Baru? Kita hanya dapat menduga-duga dari ucapan-ucapan wakil-wakilnya. Program rupanya tidak ada. Ini suatu kekurangan, akan tetapi bukan suatu kesalahan.
Oleh karena ia tiada mempunyai program selain dari yang seluas-luasnya di dalam tujuannya itu, ia hanya dapat dikenal benar oleh memperhatikan dan menyelidiki gerak-geraknya, tendensi yang ada padanya. Inilah pula yang saya gunakan bagi dasar pikiran dan pemandangan saya terhadapnya serta dugaan dan pengharapan ke jurusan mana ia akan berlanjut.
Agaknya kepada rakyat. Sebab jika ia nanti mendapat kesadaran yang sepenuhnya akan diri dan tujuannya, ia terpaksa akan memilih satu dari dua jalan yang terlihat di mukanya: ke kanan balik pada permulaan — ke kiri terus dengan rakyat menuju kebudayaan baru. Jalan ke kanan jalan ke-kesentosaan yang kekal, jalan ke kubur — jalan ke kiri jalan perjuangan terus menerus menuju kebudayaan baru yang rupanya tidak pernah akan dicapai, jalan perjuangan untuk perjuangan, jalan dunia dinamis.
Jika Pujangga Baru memenuhi perjanjian yang diberinya pada diri sendiri dan pada rakyat Indonesia: — semangat dinamis dan kebudayaan baru — tentu ia akan menjurus terus pada rakyat dan akhirnya menggabungkan cita-cita dan dirinya dengan rakyat.
Rakyat banyak yang tidak mempunyai kesempatan untuk penghidupan kebudayaan di dalam kesempitan hidup-mencari-makan sedia untuk bersama dan bersatu dengan pahlawan-pahlawan yang hendak mencapai kebudayaan baru, di dalam mana rakyat mendapat tempat. Di antara rakyat banyak yang sebenarnya belum berkebudayaan pun tak perlu dimusnahkan dahulu semangat kebudayaan statis, yang dimusuhi oleh Pujangga Baru itu.
Oleh karena ini pula, soal kesusastraan dan rakyat harus menjadi pokok perhatian sekalian pemuda Indonesia yang bersemangat dinamis dan berikhtiar mencapai kebudayaan baru.
Beberapa pikiran tentang kesusastraan dan kebudayaan di dalam karangan ini saya dasarkan pada karangan yang lebih besar tentang kebudayaan dan rakyat.
Pokok-pokok pikiran di dalam karangan itu adalah demikian:
Kebudayaan berarti sama dengan dalam bahasa Inggris civilization; Zivilisation dan Kultur yang dibuat orang Jerman, saya anggap tidak berguna dan saya tolak.
Kebudayaan borjuis yang juga dinamakan kebudayaan Barat telah menjadi kebudayaan universal, kebudayaan seluruh dunia.
Kebudayaan, bukan pusaka barang mati, akan tetapi pusaka yang harus dikalahkan lebih dahulu, untuk mendapatnya. Waris dari sesuatu kebudayaan bukan sesuatu manusia atau kasta menurut turunan darah, akan tetapi sekalian yang sedia dan sanggup mengalahkan, menguasai pusaka kebudayaan tadi.
Kebudayaan kaum terpelajar di Timur tak lain dari kebudayaan Barat itu.
Di sini saya lanjutkan pikiran-pikiran ini dengan akibat: pergerakan Pujangga Baru hanya suatu rupa dari kebudayaan universal yang ada di dunia.
Lebih dahulu saya akan berikhtiar memberi karakteristik pergerakan kesusastraan baru yang ada di Indonesia.
Pergerakan ini dimulai oleh kaum muda, kaum terpelajar Indonesia. Mereka terpelajar secara Barat. Kekayaan kebudayaan mereka bukan saja ilmu Barat, akan tetapi pun kesusastraan dan kesenian Barat. Mereka hidup dengan kesusastraan dan kebudayaan Barat tadi oleh karena bagi mereka memang tidak ada kesusastraan dan kebudayaan lain yang dapat memuaskan penghidupan rohani mereka. Oleh karena ini pula cita-cita mereka tentang kebudayaan tak berbeda dari cita-cita yang terdapat di dalam kebudayaan Barat. Kebenaran dan kenyataan ini sedikit pun tak perlu merendahkan derajat kebudayaan dan kesusastraan yang dikehendaki Indonesia muda. Sebaliknya apa yang dikehendakinya itu tak lain dari apa yang dibawa zaman.
Sejalan dengan pergaulan di Indonesia muda dengan bertambah kuat pula kedudukan Indonesia muda dengan cita-citanya. Pemuda-pemuda Indonesia ini yang acap disebut orang ontworteld sebenarnya tumbuh dan timbul di tanah baru, di Indonesia baru, yang banyak orang tidak hendak melihat dan mengetahui. Bertambah modern Indonesia bertambah meluas dan mendalam akar mereka, bertambah besar pengaruh dan kuasa mereka atas pergaulan Indonesia.
Ukuran yang harus dipergunakan pada kebudayaan mereka tak lain dari ukuran yang lazim dipakai untuk kebudayaan Barat.
Menurut ukuran itu kesusastraan yang diwakilkan oleh mereka masih terkebelakang. Hal ini tak perlu mengecewakan. Pergerakan kesusastraan ini masih sangat muda. Ia masih penuh cacat dan kekurangan yang menjadi sifat umur muda. Ia jauh dari mempunyai distingsi yang didapat pada rambut putih.
Akan tetapi pula sebenarnya sifat-sifat itu menjadi keuntungan padanya di dalam saat ini. Ia masih penuh kegembiraan dan belum dihinggapi scepticisme dan pessimisme Barat tua. Semangatnya masih dapat menyala oleh cita-cita, yang hanya membuat scepticus Eropa tersenyum. Pergerakan ’80 yang di Eropa telah dianggap kuno masih dapat menggembirakannya. Ia masih bergumul dengan soal yang di Eropa telah ditanggalkan seolah-olah pakaian tua. Apa yang telah menjadi tempo yang sudah lampau untuk Eropa baginya masih masa yang akan datang. Baginya kebudayaan dan kesusastraan masih suatu perjanjian masa yang akan datang. Ia percaya pada masa yang akan datang itu dan ia bersedia akan mengalahkannya pada kehendaknya. Kaum muda ini sedia untuk mencapai segala cita-citanya dengan cepat dan terburu-buru.
Pada waktu ini kebudayaannya belum seukur dengan kebudayaan di Barat, akan tetapi ia juga akan mencapai ukuran itu. Hingga sekarang beberapa fase yang di Eropa beberapa tahun lamanya, mereka jalani dalam tempo sedikit. Pun pada waktu ini ada satu dua antara mereka yang telah menginjam modernisme Eropa. Muak dan lesu pada kebudayaan yang ada di Eropa masih jauh dari diri mereka.
Di dalam tangan pemuda-pemuda Asia ini kebudayaan masih berupa muda. Sehingga banyak orang di Eropa menyangka bahwa kebudayaan mereka ini yang akan mengganti kebudayaan Eropa yang telah tua itu. Ini ada suatu kekhilafan. Kebudayaan pemuda Timur ini satu dengan kebudayaan Barat dan semangat pembarunya hanya dapat membarukan kebudayaan Eropa itu, sejalan dan bersama dengan semangat dan kekuatan-kekuatan pembaru yang ada di Eropa itu sendiri.
Dengan bertambah umurnya pergerakan ini, cita-cita kebudayaannya akan lebih terang dan nyata, naik seukur dengan cita-cita membarukan kebudayaan yang ada di seluruh dunia.
Pergerakan pembaru kebudayaan di Indonesia boleh dikatakan hanya pergerakan kesusastraan. Di dalam penghidupan kebudayaan yang lain selain dari penghidupan agama dan ilmu, semangat pembaru itu belum ada. Pada pergerakan kesusastraan ini tergantung jurusan yang akan ditempuh oleh kebudayaan Indonesia. Untuk menyumbang untuk keperluannya di dalam perjalanan dan pekerjaannya saya hadapkan padanya beberapa pikiran di dalam karangan ini.
Di dalam tiap-tiap penghidupan kebudayaan manusia tingkatan romantis harus dilalui. Demikian pula dengan pergerakan kesusastraan Indonesia muda. Tingkatan itu adalah tingkatan di dalam mana kekurangan pengalaman dan pengetahuan dipenuhi dengan perasaan. Penglihatan dunia adalah penglihatan dunia oleh perasaan. Mata tidak, belum lagi “dikuasai” oleh pikiran, akan tetapi oleh perasaan. Pikiran pasif belum lagi aktif. Dinamik di dalam penghidupan dinamik perasaan belum lagi dinamik pikiran. Malahan pikiran acap terasa sebagai penghalang—rem di dalam penghidupan. Perasaan dihargai jauh lebih dari pikiran, yang kuasanya belum diketahui. Perasaan dijunjung, dijadikan sesuatu dunia, diper-Tuhan:
Und wenn Du ganz in de gefuhle selig bist.
Nenn es dann, wie du willst.
Nenn’s Gluek! Herz! Liebe! Gott!
Ich habe keinen Namen
Dafur Gefuhl ist alles;
Name ist Schall und Rauch.
Umnebelnd Himmelsglut.
Tingkatan itu agaknya belum di belakang kita, kalau sudah belum berpisah dari kita. Meskipun begitu boleh dikatakan, bahwa kita telah keluar dari dunia Weltschmerz dan Idylle, dari dunia Courths-Mahler dan Florence Barelay. Kita pun tidak lagi mengutamakan mengembara di dalam wazigheid en lievigheid van tussen icht en duisternis. Kita sudah tahu membaca dan menghargakan Du Perron, Ter Braak, Benda, dan Malraux. Kita maju tepat dan dengan kecepatan itu akan lekas pula dapat dibuat jembatan yang akan menyambung kaum terpelajar kita serta kebudayaan mereka dengan rakyat dan keperluannya.
Di dalam karangan yang telah saya sebut di atas, saya membicarakan soal-soal berhubung dengan kebudayaan dan rakyat. Di Indonesia soal-soal itu tidak terasa dan sebenarnya hal ini ada suatu keuntungan bagi kita. Rata-rata kita di Indonesia percaya bahwa Aufklärung—pendidikan dan penerangan yang seluas-luasnya—perlu dan berguna. Yang menjadi soal di sini hanya bagaimana Aufklärung—pendidikan dan penerangan itu —harus dan dapat dikerjakan.
Demikian pula dengan soal kesusastraan dan rakyat. Pertanyaan di sini tidak berbunyi: perlukah kesusastraan itu dihadapkan dan didasarkan pada rakyat? Akan tetapi bagaimanakah seharusnya kesusastraan itu, agar dapat berguna yang sebanyak-banyaknya untuk rakyat Indonesia?
Pertanyaan itu dapat pula dipecah menjadi dua:
Pertama: bentuk dan isi kesusastraan itu?
Kedua: penyiarannya pada rakyat?
Hal yang kedua biarpun sangat penting sebenarnya hal teknik komersial. Soal mencari siaran yang semurah-murahnya dan—oleh karena itu—seluas-luasnya di dalam karangan ini tidak akan saya bicarakan lebih lanjut.
Hal yang pertama adalah mengenai kesusastraan sendiri. Apa macamnya kesusastraan yang dapat dan harus dibaca oleh orang banyak?
Kalau kita berpaling ke Eropa terlihat di muka kita nama-nama: Zola, Gorki, Adama van Scheltema, dan A.M. de Jong.
Keempat itu tidak sama derajatnya di dalam kesusastraan dunia. Akan tetapi, buah kesusastraan mereka keempat sama gemar dibaca rakyat di negeri Belanda.
Zola ayah naturalisme. Gorki boleh dikatakan muridnya di negeri Rusia, demikian pula Adama van Scheltema dan A.M. de Jong di negeri Belanda.
Apakah sifat-sifat naturalisme itu, yang membuat dia dapat bersambung dengan perasaan rakyat? Selintas lalu dapat kita duga. Naturalisme menggambarkan penghidupan rakyat banyak. Keburukan, kesengsaraan yang ada pada rakyat diikhtiarkannya menggambarkan dengan bahasa yang seterang-terangnya. Menurut pengakuannya, maksudnya ialah tak lain dari menggambar saja. Pada Zola: hukum natur di dalam penghidupan, hukum turun-temurun (erfelijkheid) juga pada manusia. Jadi sebenarnya pada Zola, naturalisme tidak juga menggambar semata-mata, akan tetapi digunakan untuk membuktikan suatu teori ilmu (turun-temurun). Pendapatan saya rata-rata rakyat banyak tertarik oleh buah kesusastraan Zola bukan oleh karena teorinya ini, bukan juga oleh riwayat Rouzon-Macquart dan turunannya, akan tetapi oleh gambaran-gambaran seperti terdapat di dalam l’Assommoir dan Germinal. Yaitu gambaran yang teliti tentang penghidupan dan kesengsaraan kaum buruh. Pendapatan Zola bahwa manusia sebenarnya di dalam perbuatan dan pikirannya didorong oleh perasaan kasar (instinkt), dapat dirasa sebagai kebenaran oleh rakyat banyak pada permulaan abad ini. Memang di dalam kesengsaraan yang hampir tak terhingga pada waktu itu kehidupan kaum ini tiada banyak bedanya dengan kehidupan hewan.
Meskipun Gorki banyak belajar dari Zola, naturalismenya berbeda dari naturalisme Zola. Selain dari Zola ada juga ia membaca dan belajar dari Poesykin, Dostoyevski, Gogol, dan Tolstoi. Naturalisme padanya boleh dikatakan berbangun rus. Pada Zola hanya kekuatan yang mendorong pikiran dan tindakan manusia (instinkt). Pada Gorki ada psikologi, meskipun tidak mendalam sebagai Dostoyevski. Naturalisme pada Zola banyak kali menjadi simbolisme, pada Gorki rata-rata realisme. Akan tetapi pun Gorki menggambarkan penghidupan kasta paria. Bermula dengan “Nachtasyl”, yang dikarangnya waktu ia mengembara sebagai salah seorang dari kaum paria itu. Zola dapat menggambarkan penghidupan rakyat banyak itu sebagai orang dari luar yang mempelajarinya dari luar. Gorki sebagai orang yang mengalami dan mengetahui sendiri. Boleh jadi perbedaan psikologi di dalam buku-buku kedua pujangga besar ini tersebab oleh perbedaan pengalaman kehidupan.
Adama van Scheltema, pujangga rakyat Belanda pun naturalis di dalam bahasa dan masalah. Kehendak menggambarkan yang besar-besar hingga menjadi simbolik, yang terdapat pada Zola, jauh dari padanya. Di dalam segala-galanya ia kecil, meskipun sosialisme dunianya hanya dialamkannya sebagai salah satu dari perasaannya yang banyak saja. Akan tetapi sebagai Zola, ia menggambarkan dengan sajak apa yang dapat dirasa oleh rakyat banyak dalam bahasa yang dapat diartikan oleh rakyat.
Demikian pula A.M de Jong dengan prosanya. Di dalam buku-bukunya tidak ada soal psikologi yang sulit-sulit. Ia menceritakan penghidupan kaum buruh di negeri Belanda di dalam abad kita ini dengan bahasa yang lancar dan mudah.
Gambaran penghidupan itu telah tidak begitu buruk lagi sebagai di dalam abad kesembilan belas. Penghidupan kaum buruh di negeri Belanda menurut gambaran A.M. de Jong menyerupai penghidupan manusia biasa dengan susah-senangnya.
Nyata bahwa keempat-empat pujangga yang dibaca rakyat banyak di Eropa ini menggambarkan hal-hal yang dapat dirasa oleh rakyat, penghidupannya sendiri dengan jalan naturalisme.
Saya percaya bahwa jika Zola dan Gorki diterjemahkan di dalam bahasa Indonesia dan disiarkan dengan harga murah pun di negeri kita ini Zola dan Gorki akan dibaca oleh rakyat yang sanggup membaca, meskipun boleh dikatakan, bahwa gambaran kesengsaraan kaum miskin di Eropa itu —di sana lebih dahulu alkohol berkuasa— asing pada rakyat banyak di Indonesia. Yang tak luput akan menarik hati di dalam buku-buku itu adalah perhatian kepada kemiskinan dan kesengsaraan, serta penghidupan primitif yang menyerupai penghidupan rakyat banyak di mana pun jua.
Rakyat di Indonesia, terlebih di Jawa, setingkat kurang kasar dari rakyat-banyak di Eropa, akan tetapi agaknya sama primitif.
Jika ditilik pembacaan rakyat-banyak itu lain dari apa yang dapat dinamakan kesusastraan, nyata bahwa yang digemarinya ialah pembacaan tentang negeri asing dan avontuur dan selain dari itu juga buku-buku cap Courths-Mahler dan macam-macam sentimentaliteit harga murah lagi macam lagu Jan Koloniaal yang berbicara dengan mamanya dengan radio-telepon dan sentimentaliteit straatzangers hingga ke Speenhoff. Songs (Sonny Boy).
Menurut kehendak rakyat maka kesusastraan harus realistis kasar, yaitu naturalistis, dan di sebaliknya sentimental.
Haruslah diturut saja kehendak rakyat ini? Haruskah sekalian pujangga yang hendak menjadi pujangga rakyat berguru pada Zola saja? Menurut pendapatan saya tidak. Terlebih di Indonesia, tidak. Benar bahwa pekerjaan Zola dan Gorki termasuk kesusastraan tinggi, akan tetapi tidak perlu kita tinggal pada puncak yang telah mereka capai. Naturalisme yang setinggi-tingginya telah tercapai oleh Zola, lagi telah banyak bersifat simbolisme. Gorki sebenarnya bukan naturalis semata-mata. Padanya sudah bersinar kehendak rakyat banyak, kehendak mencapai yang lebih tinggi dan lebih baik. Gorki pun meluas seperti Zola akan tetapi tidak pernah kasar. Salah satu dari bukunya yang terakhir saya baca di dalam bahasa Belanda (terjemahannya baik), “Zomer”, hampir boleh dikatakan aesthetisch, halus bahasa pikiran dan perasaan. Berguru pada Gorki? Berguru padanya tentang pengalamannya tentang kekuasaannya, kesanggupannya membentuk pikiran dan perasaan, pengalamannya tentang rencana-rencana roman yang baik dan bagus. Akan tetapi bukan padanya saja. Berguru pula pada Dostoyevski, Tolstoi, Proust, Gide, pada van Schendel, van Oudshoorn, Boutens, dan Roland-Holst. Berguru pada kesusastraan umumnya, kepada kebudayaan umumnya, meskipun tidak naturalistis atau realistis.
Tidak perlu rakyat diberi makanan naturalistis dan sentimental. Malahan di dalam zaman kita ini berbuat demikian adalah berbuat salah, berpendirian kuno di dalam buku-bukunya. Zola tidak bermaksud mendidik. Ia menggambarkan kemiskinan dan kesengsaraan bukan terutama untuk menghilangkannya, akan tetapi menurut pengakuannya sendiri menggambar dan menerangkan semata-mata. Kita berikhtiar mendidik rakyat, berikhtiar menghilangkan kemiskinan dan kesengsaraan, kita berjuang menuntut kebudayaan baru. Kesusastraan kita tidak mesti direndahkan ukurannya sehingga dapat memuaskan keperluan rohani rakyat yang belum diasah, yang masih primitif, akan tetapi kesusastraan kita harus dapat mendidik rakyat banyak, supaya dapat menghargakan pikiran dan perasaan, kesusastraan yang halus pun jua. Kesusastraan kita harus dapat menghela pikiran dan perasaan rakyat pada tempat yang lebih tinggi.
Di manakah diperoleh perhubungan antara kesusastraan yang telah membubung tinggi itu dengan perasaan dan pikiran rakyat yang masih primitif? Di dalam tempat hidup kedua-duanya, di dalam lapang pergaulan hidup. Kesusastraan untuk rakyat harus bersifat sosial. Dan untuk dapat memahamkan penghidupan sosial tadi, kita harus mempunyai penglihatan tajam dan awas, pengertian dingin dan bersih, kita harus realistis.
Jadi kesusastraan untuk rakyat tidak perlu naturalistis akan tetapi harus realistis dan sosial.
Psycho-analyse orang-orang berkebudayaan bagaimana juga tajam dan halusnya seperti terdapat di dalam buah kesusastraan Marcel Proust atau Aldous Huxley, tinggal jauh dari perhatian rakyat banyak.
Perasaan sentimental kasar dan rendah rakyat-banyak harus disaring, disublimeer menjadi perasaan dan cita-cita yang bersih dan bagus. Itu semua pekerjaan kesusastraan kita dengan jalan sajak dan roman.
Maka timbul pertanyaan: Jika kewajiban kita ialah mendidik, tidakkah semua kesusastraan menjadi tendensius? Sebenarnya kualifikasi tendensius itu di dalam kesusastraan jauh kurang artinya dari anggapan umum di Indonesia. Banyak kali apa yang dinamakan si reaksioner-konservatif tendensius oleh pihak lain disebut realistis.
Tidakkah pernah Max Havelaar disebut orang tendensius? Dapatkah atau tidak “La Guerre et la Paix” karangan Tolstoi dinamakan tendensius? Segenap pekerjaannya? Rolland Holst? Kurangkah harga buah kesusastraan ini oleh karena ada sesuatu pihak yang menamakan mereka tendensius? Meskipun sebenarnya naturalisme Zola dapat dinamakan tendensius di dalam pengertian demikian. Di dalam mengukur kesusastraan pengertian tendensius itu tidak berharga apa-apa. Dengan ukuran kesusastraan suatu roman meskipun bolsyewistis dapat dihargakan lebih tinggi dari suatu roman l’art pour l’art. Umpamanya “Zement” karangan Gladkow atau sekalian buah kesusastraan Michael Syolochov dibandingkan dengan buah pekerjaan tiap-tiap Piet atau Mina Lutjebroek di negeri Belanda yang mengarang l’art pour l’art mau ia bernama F. de. Sinclair, Reyneke Stuwe, Maurits Dekker, sekalipun Amers-Kuller atau Szekely-Lulofs.
Ukuran buah kesusastraan tidak sedikit jua dipengaruhi oleh maksud si pengarang dengan buah kesusastraannya. Sekalipun maksud itu mengajak orang untuk mengadakan revolusi dunia. Ukuran itu semata-mata digunakan terhadap buah kesusastraan itu sendiri. Maksud Multatuli mengarang Max Havelaar ditulisnya dengan terus terang pada raja Belanda yang memerintah pada waktu itu. Berapa buah karangan di dalam bahasa Belanda yang dapat dibandingkan dengan Max Havelaar menurut ukuran kesusastraan?
Ukuran tiap-tiap buah kesenian, demikian juga buah kesusastraan, prosa maupun sajak, tetap hanya mengenai isi dan bangun. Keindahan tak lain dari kesetimbangan antara bangun dan isi. Kesetimbangan itu bukan suatu kesetimbangan yang statis, yang tetap. Bangun tak perlu beku, menurut skema dan konsepsi yang dirancang seperti kaart terlebih dahulu. Bangun boleh hidup, dinamis, menurut isi yang hidup, ditentukan oleh isi yang hidup.
Bagaimana rupa bangun yang baik itu tak dapat ditentukan atau dikelaskan oleh buku pelajaran kesusastraan mana pun juga. Ia tergantung pada si pengarang dan stofnya. James Joyce dengan “Ylisseus”-nya mempergunakan bangun dan juga style yang luar biasa. Demikian pula Dos Passos dengan Forty Second Parallel.
Jadi bukan pula keindahan tadi terutama tergantung kepada bangun. Formalisme selamanya tanda kekosongan pikiran dan perasaan, kekosongan roh. Seni yang tiada berisi pikiran dan perasaan bukan seni. Yang utama selamanya adalah isi.
Pengertian isi ini dapat dipecah dalam tiga, yaitu stof, pengertian (begrip, opvatting), dan bahasa (kekuasaan perkataan dan style). Di dalam buah kesusastraan yang indah ketiga ini menjadi satu yang tidak dapat dipisah lagi.
Umpamanya di dalam kesusastraan Belanda karangan Multatuli, Max Havelaar atau karangan Arthur van Schendel, De Rijke Man atau karangan Willem Elsschot, Lijmen. Tiga macam buah kesusastraan, tiga macam stof, tiga macam inteligensi (kesanggupan untuk mengerti), tiga macam style. Ini dapat ditambah lagi dengan Vijfde Zegel karangan Vestdijk atau Bint karangan Bordewijk, menjadi lima macam yang berbeda benar-benar, akan tetapi diukur dengan ukuran yang diajukan di atas harganya hampir sama tinggi. Apa jadinya “De Rijke Man” jika ditulis dengan style Bint atau Max Havelaar atau sebaliknya Bint atau Max Havelaar ditulis dengan style De Rijke Man? Bahasa, style, ditentukan oleh stof dan pengertian, begitu pun sesuatu pengarang akan mempergunakan style yang berbeda dari style-nya yang biasa, jika ia memilih stof yang mesti dikarang dengan lain style. Umpamanya bandingkan style Vestdijk dalam karangannya Terug naar Ida Damman dan di dalam roman tentang El Greco, Het Vijfde Zegel. Benar bahwa perbedaan style dua pujangga selamanya lebih besar, meskipun mereka membicarakan satu macam stof dari perbedaan style yang terdapat di dalam dua buah karangan seorang pujangga yang membicarakan dua macam stof, akan tetapi di dalam satu inteligensi — yang menentukan pengertian stof — mesti didapat kesanggupan untuk menyesuaikan bahasanya pada stof. Dan biasanya pula, di dalam buah kesusastraan yang berharga meskipun stofnya sama dengan buah kesusastraan lain, tidak pernah pengertian (begrip dan opvatting) sama.
Lain dari itu stof dan terutama style tergantung pada zaman, kepada style sesuatu kebudayaan. Kebudayaan kita umpamanya mempunyai stye zakelijk. Demikian pula style yang tidak zakelijk sukar dapat menimbulkan perasaan keindahan itu pada kita. Dahulu perkataan-perkataan satu-satunya tak perlu diperiksa dan ditimbang isinya, hanya pengaruhnya saja. Beratus perkataan kadang-kadang digunakan untuk mencapai suatu maksud: sfeer dan stemming. Umpamanya di dalam buah kesusastraan Hoffmann, Dickens, Dumas, Van Lennep, pendek kata di dalam kesusastraan romantik. Style zaman dan kebudayaan pada waktu itu romantik juga.
Sekarang tiap-tiap perkataan harus berisi (geladen). Dan menurut kehendak style sekarang tiap perkataan kalau boleh dapat menimbulkan suatu dunia perasaan dan pikiran (dengan asosiasi). Apa yang dikatakan harus diceritakan sepekat-pekatnya, sependek-pendeknya. Contoh yang bagus untuk negeri Belanda, ialah Van Schendel. Apa yang dapat dihilangkan dengan tidak mengganggu kejernihan dihilangkannya di dalam De Rijke Man, beratus koma yang dipandang perlu oleh orang lain. Tanda mula berkata dan menutup kata, tak digunakannya sama sekali. Orang yang berbicara pun acap kali tak disebutnya. Meskipun begitu buku dan ceritanya tinggal jernih, malahan bertambah jernih pekat menjadi rupa kristal.
Pengertian dan bahasa ialah alat yang yang dipergunakan pujangga untuk menguasai dan mempunyai sesuatu stof. Dan dengan kesanggupannya membentuk sesuatu disempurnakannya kekuasaan itu menjadi buah kesusastraan.
Menurut ukuran zaman kita bangun dari luar yaitu pembagian stof, susunannya, pendek kata apa yang lazim disebut struktur karangan harus menurut stof dan style. Oleh karena itu bermacam-macam struktur dapat diterima asal sesuai dengan stof.
Ukuran zakelijk menjadi: Bangun harus setimbang dengan isi, akan tetapi isi yang menentukan bangun.
Ukuran yang saya kemukakan di atas ini dapat dipakaikan pada tiap-tiap buah kesusastraan, terutama roman, roman sosial, atau roman politik sekalipun.
Siapa yang akan teringat pada tendenz, kalau lagi membaca Fontamara atau La Condition Humaine atau In de schaduw van den leider. Soal tendenz atau tidak tendenz sedikit jua tiada perlu mengganggu pikiran pengarang atau kandidat pengarang di Indonesia.
Jika ia hendak berjasa pada rakyat ia harus mempelajari penghidupan rakyat seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya. Ia harus berikhtiar mengambil stof untuk karangannya dari penghidupan rakyat-banyak itu. Keinginannya mendidik rakyat dengan makna yang seluas-luasnya terutama harus mendorongnya untuk mengenal rakyat itu, kedua untuk memperlengkapkan alat-alat untuk mengerjakan pendidikannya sesempurna-sempurnanya sebagai pujangga dengan kesusatraannya, yang harus dapat diukur dengan ukuran kesusastraan. Ia tidak dapat memaafkan kekurangan di dalam buah kesusastraannya dengan alasan bahwa buah kesusastraannya tidak dapat dan tidak boleh diukur dengan ukuran kesusastraan biasa sebab dimaksudkan untuk mendidik rakyat. Kalau ia tak sanggup mendidik rakyat dengan kesusastraan yang dapat diukur dengan ukuran kesusastraan, tak pantas ia hendak mendidik dengan kesusastraan dan tempatnya bekerja untuk rakyat ialah di perguruan, jurnalistik, atau politik.
Malahan oleh karena memang kedudukannya sebagai pujangga yang hendak berguna untuk rakyat-banyak, membakti pada cita-cita yang lebih luas dari cita-cita kesenian, memberatkan pekerjaannya sebagai pujangga (pengakuan Albert Helman di dalam Gulden Winekel Januari yang lalu menarik perhatian dalam hal ini), oleh karena itu ia harus berikhtiar, belajar lebih banyak dari pujangga yang hidup hanya untuk kesusastraan saja. Ia terus menerus harus mencari bangun yang sebaiknya dan sepantasnya untuk kesusastraan yang hendak dipergunakan untuk rakyat. Untuk itu ia harus belajar pada sekalian pujangga besar yang ada dan yang dikenal di dalam riwayat kesusastraan. Dari Dante, Pascal, Moliere, Shakespeare, Milton, melalui Goethe, Hugo, Balzac, Zola, Nietsche, Multatuli, Poesykien, Dostoyevski, Gogol, Tolstoi ke Maxim Gorki, Marcel Proust, Andre Gide, Van Schendel, van Oudshoorn hingga ke Upton Sinclair, Jules Romains, Thomas Mann, Julien Benda, Martin du Gard, Joyce, Kafka, D.H. Lawrence, Ernest Hemingway dan Aldous Huxley, Plivier, Guehenno, Andre Malraux, Ignazio Silone dan Luiz Guzman, di negeri Belanda Vestdijk, Gresshoff, Slauerhoff, Elssschot, Bordewijk, du Perron dan Ter Braak.
Dari klasik ke humanisme, ke renaissance melalui romantik, positivisme dan naturalisme ke realisme modern. Ia harus berikhtiar menguasai kesusastraan yang lalu, dan menguasai teknik kesusastraan yang baru.
Di dalam karangan lain, yang telah saya sebut di atas, saya telah berikhtiar menerangkan arti realisme di dalam kebudayaan sekarang dan untuk kebudayaan yang akan datang. Demikian pula perhubungannya dengan rasionalisme modern. Realisme kasar yang ada pada rakyat, yang membuat ia tertarik pada naturalisme dalam kesusatraan harus diasah menjadi realisme modern. Kebudayaan untuk rakyat harus berdasar realistis modern. Mempunyai style zakelijk. Demikian pula dengan kesusastraan. Bermacam-macam warna realisme itu telah saya sebut di atas dengan menyebut nama-nama wakil-wakilnya, dari realisme Upton Sinclair yang meluas semata-mata dan tidak merdeka, dari romantisme ke realisme Proust, Kafka dan Huxley yang mendalam semata-mata hingga ke realisme yang lebih baru lagi: document humain, mendalam dengan meluas hampir menjadi simbolik kembali jika tidak realistis terus menerus: Silone, Malraux.
Semua pujangga yang berbakti kepada rakyat-banyak harus belajar dari mereka. Kesusastraannya harus dibawanya pada tingkatan modern realisme. Ia merdeka untuk memilih atau menggabungkan warna-warna yang telah ada menjadi warna sendiri, sesuai dengan kesanggupannya sendiri dan sesuai dengan pikiran dan perasaan rakyat. Rakyat-banyak di Indonesia dan dirinya sendiri harus dikenalnya untuk dapat menentukan warna realisme yang akan dipilihnya untuk kesusastraannya.
Dapatkah semboyan Pujangga Baru yang menuntut kebudayaan baru, ditambah, diisi, menjadi: dengan realisme baru memimpin semangat dinamis menuntut kebudayaan untuk Rakyat Indonesia?
NEIRA, Mei.
Tulisan sebelumnya: http://sastra-indonesia.com/2019/01/persatuan-indonesia/
Sepilihan Esai & Kritik Sastra, Copyright © Pusat Pembinaan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Cetakan Pertama, Juli 2017, ISBN: 978-602-6447-29-6, KURATOR/ EDITOR: MAMAN S MAHAYANA, Hak Posting: PUstaka puJAngga (PuJa).