Yunanto Sutyastomo
Tanggal 17 Agustus adalah hari kelahiran Kho Ping Hoo. Ia dikenal sebagai ikon pengarang cerita silat Indonesia dengan karya-karya yang sangat digemari berdekade-dekade, hingga kini. Tapi, Kho Ping Hoo juga menyimpan tragedi dalam kesastraan Indonesia. Ada kesan Kho Ping Hoo laksana aib yang harus ditutupi kesastraan Indonesia karena berbagai faktor yang membuatnya termarginalkan di dunia sastra. Kho Ping Hoo “dijajah“ oleh teori-teori dan politik kesastraan yang berakibat dia tak masuk dalam lingkup sastrawan.
Lelaki kelahiran 17 Agustus 1926 ini sebenarnya tidak bercita-cita menjadi penulis. Ia waktu kecil tidak pernah membayangkan akan menjadi penulis. Berasal dari keluarga peranakan yang miskin di Sragen, Kho Ping Hoo merupakan anak pertama dari 13 bersaudara. Jalan hidupnya di dunia sastra merupakan sebuah hal yang tidak sengaja.
Berbagai profesi digeluti sebelum jadi pengarang. Kho Ping Hoo pernah menjadi buruh pabrik rokok di Kudus, jadi anggota staf kontraktor di Tasikmalaya, dan terakhir sebelum memutuskan jadi pengarang Kho Ping Hoo menjadi koordinator pekerja transportasi di Priangan Timur. Pada 1951 Kho Ping Hoo memiliki niat untuk menulis. Awalnya Kho Ping Hoo, seperti halnya pengarang waktu itu menulis, tentang cerita roman.
Tak lama setelah menulis cerita roman, Kho Ping Hoo mendapat tawaran menulis cerita silat dari majalah Teratai, sebuah majalah yang dikelola para sastrawan di Jawa Barat. Mulailah ia menulis cerita silat. Cerita silat pertamannya berjudul Pedang Naga Putih. Cerita silat sepertinya jadi suratan takdir Kho Ping Hoo. Walau pun memiliki seorang ayah yang guru ilmu kungfu, tapi Kho Ping Hoo tidak menguasai ilmu bela diri sama sekali.
Untuk memudahkan menulis cerita silat, Kho Ping Hoo selalu berpedoman pada buku sejarah Tiongkok dan peta Republik Rakyat China. Hal ini dilakukan agar data tempat yang dia tulis tidak menyimpang jauh dari realitas. Banyak tempat dalam cerita silat Kho Ping Hoo tidak asal ambil nama. Ketika dibuktikan seseorang saat di China, tempat itu memang benar-benar ada. Kepopuleran Kho Ping Hoo sebagai pengarang di dekade 1960-an tidak membuat dirinya bebas dari stigma terhadap kaum Tionghoa.
Pada 1963 terjadi kerusuhan di Tasikmalaya, dan rumah Kho Ping Hoo menjadi salah satu korban kerusuhan tersebut. Tampaknya peristiwa tersebut sangat membekas di pikiran Kho Ping Hoo sampai kemudian dirinya pindah ke Solo. Pilihan pindah ke kota Solo selain alasan dekat dengan keluarga, dia juga merasa nyaman dengan suasana Solo yang lebih bersahabat. Seluruh keluarga besar Kho Ping Hoo pindah ke daerah Mertokusuman, belakang Pasar Gede Solo.
Kerusuhan tidak membuat dirinya berhenti mengarang. Justru dari Solo inilah muncul karya-karya besarnya seperti Bu Kek Sian Su, Dewi Sungai Kuning, Pedang Kayu Harum, dan Banjir Darah di Borobudur. Di Solo, awalnya Kho Ping Hoo masih mencetakkan karyanya di tempat lain, dan peredaran karya-karya dia diurus agen. Kemudian Kho Ping Hoo berinisiatif membuat percetakan sendiri, dan juga mendistribusikan sendiri karya-karyanya. Untuk ini Kho Ping Hoo melibatkan beberapa tetangga dekat serta sebagian anggota keluarganya.
Inilah awal kepopuleran Kho Ping Hoo sebagai penulis cerita silat yang mumpuni di Indonesia. Dia mendapat tempat di hati masyarakat luas saat itu. Persaingan yang sehat dengan beberapa sahabat akrabnya sesama penulis juga terjadi. Saat itu muncul beberapa pengarang silat terkenal seperti SD Liong, Gan KL, Herman Pratikto, atau SH Mintardja. Satu hal yang menarik dari karier kepenulisan Kho Ping Hoo adalah kemampuan dirinya meracik cerita sedemikian rupa seolah cerita itu benar-benar terjadi sampai masyarakat luas sangat tertarik.
Padahal sebagian besar cerita silat Kho Ping Hoo berlatar Tionghoa dan Kho Ping Hoo belum pernah bepergian ke China. Saat Kho Ping Hoo berada di puncak kejayaannya sebagai pengarang, saat itu Orde Baru juga dalam masa kejayaan. Salah satu yang kita ingat dalam diri pemerintahan Orde Baru adalah diskriminasi terhadap kaum Tionghoa. Diskriminasi ini sengaja dilakukan oleh pemerintah karena kepentingan politik terhadap kaum Tionghoa.
Penghargaan
Bentuk-bentuk diskriminasi itu antara lain tidak diperbolehkannya unsur seni budaya Tionghoa di Indonesia, pembatasan kesempatan bersekolah di skeolah negeri bagi kaum Tionghoa, masyarakat Tionghoa tidak boleh menggunakan nama Tionghoa mereka yang artinya mereka harus memakai nama yang berbau Indonesia, dan pembatasan kegiatan kaum Tionghoa di wilayah politik dan pemerintahan.
Politik diskriminasi ini berlangsung puluhan tahun, dan hanya beberapa orang saja yang berani menentangnya. Dapat dibayangkan selama puluhan tahun masyarakat Tionghoa dipinggirkan oleh negaranya sendiri, dan menjadi warga negara nomor dua. Hal ini juga terjadi pada Kho Ping Hoo sebagai penulis. Dia sebenarnya tidak begitu peduli dengan hal ini, walau tidak disadarinya dia melakukan perlawanan yang cukup masif dan cerdik. Era 1980-an merupakan puncak kepenulisan Kho Ping Hoo di Indonesia. Itu berarti sebagian besar pembaca di Indonesia membaca karya-karya dia yang berlatar Tionghoa.
Ini merupakan sesuatu yang tak terelakkan di tengah politik diskriminasi tadi. Berbagai regulasi pembatasan tidak mampu menyentuh karya sastra Kho Ping Hoo yang beredar luas. Namun, Kho Ping Hoo menerima dampak lain dari kepopuleran dirinya. Saat itu Kho Ping Hoo seperti tidak mendapat ruang dan pengakuan dari lembaga-lembaga kesastraan Indonesia. Karya-karya dia oleh sebagian besar akademisi dan intelektual sastra dianggap karya pinggiran. Bahkan hampir semua Jurusan Sastra Indonesia di berbagai perguruan tinggi di Indonesia tidak mengizinkan para mahasiswa menulis skripsi dengan bahan dari karya-karya Kho Ping Hoo.
Cerita silat dikategorikan bukan bagian dari kesastraan Indonesia, padahal cerita silat merupakan karya yang paling digemari masyarakat kita. Inilah risiko yang harus dialami Kho Ping Hoo sebagai penulis Tionghoa yang menulis cerita silat berlatar Tiongkok. Di Solo, Kho Ping Hoo adalah sebuah nama yang memasyarakat, tapi tersembunyi dari gebyarnya kesenian kota ini sampai dia meninggal dunia pada 1994. Sepanjang kehidupan dia di Solo belum pernah ditemukan catatan tentang dilibatkannya dia dalam kegiatan seni dan budaya di Solo.
Padahal di era ’70-an sampai ’90-an di Solo banyak sekali kegiatan seni budaya yang terpusat di beberapa tempat seperti Sasonomulyo dan Taman Budaya Surakarta. Baru setelah reformasi 1998 dan ketika keterbukaan terjadi, serta penghapusan politik diskriminasi terhadap kaum Tionghoa, nama Kho Ping Hoo kembali diangkat dan ini sudah dilakukan beberapa lembaga swasta. Masyarakat dan Pemerintah Kota Solo bisa menghargai Kho Ping Hoo sebagai orang yang punya cukup jasa dengan berbagai cara. Secara kebetulan Kho Ping Hoo lahir pada 17 Agustus yang bertepatan dengan hari Proklmasi Kemerdekaan Indonesia. Mungkin saja tanggal tersebut dapat juga diperingati sebagai hari Kho Ping Hoo, atau juga penghargaan terhadap penerbitan CV Gema milik Kho Ping Hoo sebagai salah satu pusat produksi karya kesastraan di Solo.
19/8/2013
*) Pemerhati Masalah Sosial Budaya, saat ini bekerja di Balai Soedjatmoko. emailku_nde@yahoo.co.id
http://www.bentarabudaya.com/detail-peristiwa/kho-ping-hoo-penulis-solo-yang-terpinggirkan