Tubuh Tanah Kami
Tambang-tambang masuk
ke tubuh tanah kami
tidak pernah ditimbang
hutan kami tumbang,
kami melihat hari depan tanah kami
seperti perempuan luka dan telanjang
ia terbaring kesakitan
di atas ranjang beratapkan langit
dan sungai-sungai yang mengalir
di tubuhnya menjelma air mata
setiap hari kami keringkan dengan matahari
Ketika langit menghitam
dan hujan tumpah
kami berenang
di atas tubuh tanah kami
dan ketika tubuh kami telah sampai di laut
lengkap sudah, sempurna sudah, asinnya tubuh kami.
Morotai, 2019.
Tamu Musim Hujan
Di tubuh tanah kami
banjir merupa tamu
mereka datang
dari suatu pengembaraan
mereka lelah dan singgah di sini
di halaman rumah dan kami telah
mempersilakan mereka masuk
mereka berbasah-basah
sama seperti kami
kami ingin sekali memberi selimut
tapi selimut kami
telah kami pinjamkan kepada hujan
kami ingin sekali menjamu
dan merayakan kedatangan mereka
tapi rumah-rumah kami
tak punya banyak piring dan leper
kami butuh piring dan leper
dari rumah-rumah yang lain
adakah yang ingin membantu?
Morotai, 2019.
Jika Kau Berlayar
Jika kau berlayar
ke barat Halmahera
tidak melihat batu-batu
berdiri kokoh di Kahatola
pulau berjejer di kelopak mata
perahu dan funae beradu ombak
kelapa berbaris di sepanjang pantai
di bukit hijau daun cengkeh memanggil-manggil
maka periksalah kemudi dan kompas pelayaranmu
sebab kau tidak sedang berada di atas laut Loloda.
Jika kau berlayar
ke utara Halmahera
tidak melihat pasir putih
membentang dari Tate ke Posi-posi
di Bisoa ombak memecah
batu rijang berdiri kokoh
perahu dan ketinting saling berkejaran
anak-anak berselancar di atas ombak
ibu pulang memapah salohi
ayah pulang menggendong bika
berjalan di garis pantai
maka periksalah kemudi dan kompas pelayaranmu
sebab kau tidak sedang berada di atas laut Loloda.
Jika kau berlayar dan tiba di Loloda
tapi tidak menemukan jejak apa-apa
maka periksalah halaman buku-buku sejarahmu
barangkali ada yang tercecer yang lupa kau baca.
Morotai, 2019.
Desember di Ujung Mata
Desember di ujung mata
rindu di ujung lidah
ke mana perahu-perahu pergi
ke mana kapal-kapal berlayar
ke mana nasib pergi
di sana takdir membayar
o——–, sio
rindu yang terus berair
ke mana—kau mengalir
Desember sudah berakhir
ke laut biru itukah?
ke hutan gundul itukah?
Bila kau lelah, mari sini
kembali saja ke dadaku
jadi ikan gete-gete atau lebo
berenanglah seperti kenangan
atau berlayarlah seperti sejarah
seperti para canga membelah
laut Maluku, Seram, dan Sulawesi
tapi jangan keluar dari dadaku
dadaku lebih luas dari samudera
lebih dalam dari laut Maluku
maka tetaplah di sini, menetaplah
sebagai sejarah, biar aku yang berdarah
di tengah kemarau yang parau, di negeri
yang penuh kakatene, duri babi, dan sosoro
biar kumandikan kau
dengan wangi cengkeh
dan wangi pala, dan bila
kau kedinginan, biar
kubaringkan kau
di atas atas para-para
biar aku yang menjadi kayu
atau arang yang merindukan api
lalu tidurlah di dadaku
tidak sebagai apa-apa
tidak sebagai siapa-siapa
biar kubasuh kepalamu
dengan tangan paling ibu
biar kuantar– kau
dengan doa-doa paling ayah.
Morotai, 2019.
____________________
Abi N. Bayan lahir di Desa Supu Kec. Loloda Utara, Kab. Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara, 14 September 1990. Anak dari Hi. Naser Dano Bayan dan Hj. Rasiba Nabiu. Kini tinggal di Morotai sebagai guru MA Nurul Huda Gotalamo dan Pembina Sanggar Nurul Huda Gotalamo.
Luar biasa