Sastrawan Asal Blora

Galang Ari P.

“Pramoedya Besar karena Kegelisahan. Pramoedya Menulis karena Kegelisahan. Pramoedya Mati karena (tidak lagi) merasakan Kegelisahan, dalam Hidup.”

Sastrawan yang bernama lengkap Pramoedya Ananta Toer ini yang kerap disapa Pram. Pria kelahiran 6 Februari1925 dari Blora ini memang sangat sering diperbincangkan di ranah sastra Indonesia. Karya-karyanya yang sangat mutakhir banyak dikritik dan dinilai sangat berani dalam menulis karya sastra. Hasil tulisannya yang lahir berupa novel, cerpen, dan naskah drama mempunyai andil dalam perkembangan sastra Indonesia dari zaman kolonial hingga masa kini.

Pram yang mempunyai ciri khas dalam menulis karya sastra dari sudut pandang pengalaman yang ia rasakan semasa hidupnya, sehingga membuat ia banyak melahirkan tulisan-tulisan bertema kritik sosial. Kepekaan itu seperti enggan diajak kompromi dengan ketidakadilan dan ketidakjujuran. Dengan kekayaan batin yang ia miliki, Pram berkarya dan setia pada keyakinannya dengan teguh berpegang pada sebuah kepercayaan.

Pramoedya menganggap bahwa seni sastra yang terbaik adalah yang melakukan pemihakan, karena kedudukan pengarang yang dihidupkan oleh dinamika masyarakat. Pram menulis karya-karyanya ketika emosi mendapat tekanan, ketika ia berada di pengasingan. Persoalan kesengsaraan dan ketidakadilan bangsa di bawah kekuasaan penjajah telah menimbulkan desakan batin Pramoedya. Desakan yang ia alami memang sebagai rangsangan untuk menuangkan tulisan ke dalam karya sastra.

Pram memang sangat bertanggung jawab dengan karya-karyanya. Ia rela di dipenjara daripada tidak menulis. Ia juga tetap menulis walaupun tekanan demi tekanan datang mengampirinya. Pemikiran Pram dalam menulis karya sastra juga mengantarkannya ke persfektif proses kreatifitas dalam menciptakan karya sastra. Pram pernah berkata bahwa pengarang sejati akan menuntut pengorbanan pribadinya sendiri.

Pram, Dunia dan Karyanya

Pada Desember 2003, Pramoedya tercatat sebagai sastrawan Jakarta. Tercatat dalam buku Leksikon Sastra Jakarta Sastrawan Jakarta dan Sekitarnya, Pram dan karyanya juga tercatat dengan jelas dari mulai riwayat hidupnya hingga karya-karyanya yang sudah terbit. Prakarsa untuk membuat buku tentang sastrawan yang bermukim di Jakarta itu lahir dari pertemuan-pertemuan sastrawan yang diadakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Dewan Pekerja Harian Agus R. Sarjono yang juga menjabat ketua program di DKJ juga ambil andil dalam sambutan dan pembuatan buku. Tujuan dalam pembuatan buku sastrawan Jakarta hanya semata-mata untuk mengumpulkan para sastrawan-sastrawan yang tinggal dan berkarya di Jakarta.

Berawal dari pendidikan SD di Blora, menjadi juru ketik di Kantor Berita Jepang Domei (1942-1945), anggota pimpinan Pusat Lekra (1958), sampai menjadi dosen di Fakultas Sastra Universitas Res Publica di Jakarta, dan menjadi dosen Akademik Jurnalistik Dr. Abdul Rivai di Jakarta. Meletusnya kejadian G30S ia di tahan Belanda kisaran dari tahun 1947-1979, ia merasakan tekanan di dalam penjara tanpa diadili. Walaupun ia ditahan, ia tidak berhenti untuk menulis. Karya-karyanya yang lahir hasil tekanan selama ia di penjara membuatnya menjadi terkenal di Dunia dan di kalangan Sastra Indonesia.

Prof. Koh Young Hun menegaskan dalam bukunya Pramoedya Menggugat Melacak Jejak Indonesia,bahwa sejak awal kiprah kepengarangannya, perhatian Pram lebih pada aspek manusia ketimbang pada peristiwa. Pemikiran seperti itu timbul dari benak Pram bahwa manusialah yang bertindak sebagai akar dan dasar untuk memajukan bangsa. Pram adalah kebebasan keadilan sosial dan kemanusiaan bagi rakyat jelata. Pram juga selalu menampilkan revolutionary hero dalam karya-karya kreatifnya.

Pramoedya ingin menyampaikan sesuatu yang bermanfaat untuk kemajuan bangsanya, karena sastrawan memberi makna lewat kenyataan yang dapat dipahami oleh pembaca, sebagaimana pembaca memahami konvensi yang ada, yaitu dari mulai bahasa, sosial-budaya, dan sastra. Pram juga menciptakan Dunia alternatif; after dalam bahasa Latin berarti ‘yang lain’, dalam pertentangan dengan yang satu. Alternatif selalu mengandalkan dasar bersama; dan hanya atas dasar itu alternatif menjadi berbeda dengan yang ada. Kalimat semacam ini memang perlu diingat, bahwa “rasa simpati Pram tidak berpihak pada satu isme, kecuali pada humanitas”.

Pramoedya banyak menggali inspirasi dari kisah-kisah revolusi. Karya-karyanya yang lahir pun juga terlihat pada Keluarga Gerilya (1950), Perburuan (1950), Di Tepi Kali Bekasi (1950), dan Bukan Pasar Malam (1951). Dari keempat novel tersebutlah yang mengantarkan Pram pengarang asal Blora yang hidup di Jakarta sebagai pengarang prosa Indonesia yang terkemuka. Jakob Sumardjo juga berpendapat bahwa Pram adalah salah satu seorang prosais yang besar, kalau tidak yang paling besar. Masalah yang dikupas lewat tulisannya adalah masalah-masalah kecintaannya pada keluarga dan bangsa, kebenciannya pada kebatilan sesama manusia dan kebahagiaan. Semua dituangkan dalam fiksi yang padat, menarik dan mengharukan rasa kemanusiaan.

Pram Tercebur Lumpur Kotor

Siapa yang tidak kenal organisasi yang menyokong nilai kebudayaan dan nilai-nilai seni, Lekra namanya. Lekra didirikan pada 17 Agustus 1950, tepat lima tahun sesudah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Banyak yang bilang Lekra adalah darah dari PKI, ada yang bilang juga Lekra untuk rakyat. Pada zaman Orde Baru hal tersebut juga sulit dinafikan bahwa Lekra adalah satu organisasi atau gerakan yang berada di bawah naungan PKI. Hal tersebut dikarenakan adanya anggota PKI yang masuk ke dalam anggota Lekra, termasuk Nyoto dan DN Aidit. Satu hal yang menarik pada waktu pergerakan Lekra, pimpina Lekra tidak menganggap salah jika menerima anggota PKI sebagai anggota organisasinya. Hal itu disebabkan pada zaman Ode Lama, PKI merupakan salah satu partai yang berpengaruh dan berwibawa di bawah naungan Presiden Soekarno. Joebar Ajoeb berpendapat bahwa mem-PKI-kan Lekra adalah sebuah pembicaraan yang sangat bersifat politik.

Pada tahun 1957 tidak ada hubungan erat antara Pram dan pihak Lekra. Sepulangnya Pram dari Beijing pada Februari 1957, ia sempat menulis satu makalah yang berjudul “Jembatan Gantung dan Konsepsi Presiden” dalam Harian Rakyat. Pram dalam membuat tulisan seperti itu hanya semata-mata untuk mendukung konsep “demokrasi terpimpin” yang diprakasai oleh Presiden Soekarno. Pada saat itu Pram belum masuk Lekra dan belum ‘kotor’.

Pada 24 Maret 1957, Pram diundang untuk menghadiri peringatan 5 tahun berdirinya Lekra cabang Bandung, dan sempat memberi ceramah yang ia beri judul “Pedoman Kehidupan Kesenian Indonesia: Dalam Rangka Pelaksanaan dan Pengisian Konsepsi Prsiden”. Pada bulan Desember dan seterusnya, Pram diangkat menjadi anggota penasihat untuk Kementrian Patera (Pengerahan Tenaga Rakyat). H.B. Jassin menegaskan bahwa pada waktu itu memang Pram lebih banyak berpolitik praktis daripada berkarya. Ini disebabkan lawatan ke luar negeri menyadarkan Pram bahwa pembangunan negara itu menjadi sangat bermanfaat bagi bangsanya, sebagai seorang sastrawan, ia mengambil bagian untuk memenuhi tanggung jawab sebagai cendekiawan dalam bidang yang tertentu.

Terceburnya pram ‘kelumpur kotor’, bisa disebabkan dengan karya terjemahannya. Pada tahun 1958, Pram menerjemahkan karya Marxis Gorky yang berjudul Ibunda. Karya tersebut dianggap sebaggai peletak dasar konsep “Realisme Sosial”, dan kebetulan diterbitkan di Yayasan Pembaruan yang merupakan agen penerbitan PKI. Dari karya terjemahan Pram tentang Realisme Sosial, malah merangsang pihak Lekra/PKI untuk menerima Pram , seorang tokoh sastra yang berpengaruh, dan diangkat sebagai anggota Lekra. Pram kemudian diundang dalam Kongres Nasional I Lekra yang dilaksanakan pada 28-29 di Solo. Di dalam hadirnya Pram di dalam Kongres, Pram diangkat menjadi salah seorang anggota dalam Pimpina Pusat Lekra.

DN. Aidit sebenarnya menjalankan dasar yang pernah dilaksanakan Mao Tze-Tung sebelum tokoh itu berkuasa dalam politik tanah air. Aidit membiarkan para cendekiawan bersama-sama menjalankan aktivitas budaya menurut pengalaman masing-masing, walaupun kurang dari dasar cita-cita komunisme. Menurut Aidit yang terpenting itu adalah kekuasaan, dan kekuasaan itu masih belum diperoleh sepenuhnya oleh PKI, meski juga PKI mempunyai kekuatan massa yang besar, yang terdiri dari golongan intelektual sampai golongan proletar. Maka dari itu, PKI dapat menerima pengarang-pengarang yang mempunyai vested-inters dalam Lekra. Hal yang paling penting adalah PKI dapat memperalat mereka untuk mencapai cita-cita PKI sendiri.

Pramoedya adalah salah seorang sastrawan Indonesia yang terkemuka, yang banyak dikagumi di dalam maupun di luar negeri. Karya-karyanya juga sudah dinilai dan dikenal sebagai karya sastra bermutu tinggi. Maka dari itu kenapa pihak Lekra/PKI ingin menceburkan Pram ke dalam organisasi dan memberi jabatan sebagai seorang Pimpinan Pusat Lekra, karena PKI dapat memperalat dan memanfaatkan prestasinya untuk tujuan berbagai aktivitas politik-budaya PKI.

Daftar Pustaka:
Herfanda, Ahmadun Yosi., Rosa Hervy Tiana, Dkk. 2003. Leksikon Sastra Jakarta.
Sastrawan Jakarta dan Sekitarnya. Yogyakarta: Dewan Kesenian Jakarta dan Bentang Budaya.
Hun, Koh Young. 2011. Pramoedya Menggugat melacak Jejak Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
https://galangprata.wordpress.com/2014/03/03/sasrawan-asal-blora/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *