2 Cerita Mini tentang Kolonialisme Karya Ahmad Yulden Erwin *

1. KAKEKNYA

Semarang, 1927. Tepat tiga hari setelah Chiang Kai Sek menggorok leher kaum komunis di Cina, kakeknya yang bertulang punggung tegap laiknya Homo Soloensis, nekat mendaftar jadi anggota Partai Komunis Indonesia (di bawah pimpinan utusan rahasia Komintern, Paul Mussotte), di kota Semarang.

Kenekatan kakeknya menjadi anggota PKI, partai yang baru setahun berdiri serta gagal total melakukan pemberontakan di Jawa dan Sumatera, awalnya dilandasi semacam rasa dendam yang aneh, karena istrinya—juga sawahnya—telah dirampas oleh seorang meneer Belanda. Sentot Kidri, kakeknya itu, yang konon masih segaris keturunan dengan Panglima Sentot Alibasya dalam perang Diponegoro, mulanya hanyalah seorang tuan tanah yang santun. Laiknya para priyayi level menengah di Jawa ia pun memiliki dua puluh bidang sawah. Namun, setelah pemerintah kolonial Belanda memaksa para petani dan tuan tanah untuk menanam tebu, Sentot Kidri menolak dan memutuskan menjadi aktivis kiri radikal.

Bersama deru kereta uap pengangkut batang tebu, simbol industrialisasi pertama di Jawa guna memuaskan hasrat para meneer akan rasa manis, maka lidah kakeknya yang kerap diserang rasa pahit secara fantastik bertransformasi menjadi lidah api. Kemudian, dari bintik-bintik di ujung lidah api itulah muncul titik-titik api yang menyimpan percik paling panas di bawahnya, yang kelak tanpa ampun akan membakar ladang-ladang tebu milik Ratu Wilhelmina di selatan Kota Semarang.

Muasal lidah api itu tidaklah muncul secara tiba-tiba, tetapi hasil proses penggodokan sistematis dari kursus politik di partainya. Setelah Sentot Kidri mendaftar menjadi anggota PKI di Semarang, dimulailah hari-hari padat jadwal kursus politik yang dilakukan sembunyi-sembunyi, hari-hari baru yang penuh gairah intelektual Eropa. “Fajar baru akan terbit di tanah Hindia ini, Sentot!” Itulah kalimat pertama yang didengarnya dari Semaun, mentor politiknya, seorang aktivis buruh kereta api yang pernah menjadi Ketua Committee Central PKI.

Selanjutnya, hari-hari Sentot Kadri diisi dengan tembakan-tembakan senapan yang meletus dari ujung mata penanya. Ia menjadi wartawan Koran Serikat Merah, koran partai yang selalu menggelorakan perlawanan terhadap kolonialisme: Boeroeh Kereta Api Moesti Mogok! — Boeroeh Tani Keboen Teboe Djangan Maoe Coema Djadi Kebo Belanda! — Ganjang Itoe Kaoem Bordjoeis Djawa Antek Kolonial! — Kita Orang Boekan Anjing Para Meneer! — Djalan Baroe, Mari Bebareng Bergerak! Begitulah, hanya dalam waktu lima bulan, Sentot Kidri telah melahirkan puluhan tulisan penuh aroma kebencian terhadap borjuasi dan kolonialisme di tanah Jawa. Hingga suatu kejadian, yang bermula dari satu pancuran bambu, membuatnya mengamuk bagai banteng terluka dan membakar ladang-ladang tebu pemerintah kolonial Belanda. Ia pun ditangkap dengan dua rusuk patah dan satu codet di keningnya.

Semua kejadian itu bermula ketika Sentot Kidri mendapat penugasan khusus melakukan pengorganisasian buruh tani perkebunan tebu di Dusun Sekaten (percayalah, kau tak akan menemukan dusun ini sebagai titik hitam pada peta di pulau Jawa, karena yang tersisa kini hanyalah ladang-ladang tebu, tepatnya bekas ladang-ladang tebu), di selatan Kota Semarang. Suatu penugasan pengorganisasian massa pertama yang ia terima dengan suka cita dari ketua partai, Paul Mussotte, yang juga salah satu mentor politik paling dikaguminya. Penugasan itu jelas bukanlah penugasan konyol, apalagi setelah pencidukan besar-besaran para aktivis politik akibat kegagalan pemberontakan PKI tahun 1926, karena sang ketua partai dengan kematangan pikiran hasil pertobatan ideologisnya di Moskow, telah merancangkan satu penugasan rahasia bagi Sentot Kidri dengan kamuflase peliputan berita Koran Serikat Merah.

Hal yang sama sekali tak diduganya dalam penugasan revolusioner itu adalah guyuran air-cinta yang luar biasa sejuk, mengalir dari pancuran bambu, menyentuh cahaya fajar pertama yang menyusup dari celah daun-daun akasia, dan memercik ke jantungnya. Lalu dapat kaubayangkan bagaimana aktivis kiri radikal itu tiarap ke tanah, mengendap di balik semak, menatap kemurnian tubuh sintal seorang gadis remaja di antara suara ricik pancuran bambu. Itulah tatapan aneh yang membuat Joko Tarub tega mencuri selendang seorang bidadari yang tengah mandi di sebuah telaga. Dan kini ia seolah menjadi Joko Tarub yang lain, di bawah air terjun yang lain, yang lebih kecil, tetapi dengan tingkat keterpanaan yang sama dahsyatnya. Lalu, suara terpekik itu! Jeritan terkejut gadis sintal berkulit sawo matang itu meluncur begitu murni dari tenggorokannya, membuat nada-nada pentatonis menari-nari di antara pita suaranya: Siapa di situ? Siapa sembunyi di semak-semak itu?

Kali ini, dengan keberanian genetik khas Panglima Perang Sentot Alibasya, bangkit berdirilah Sentot Kidri dari balik semak, memancarkan seringai khas macan akar, lantas berkata dengan suara agak berat: Maaf, saya tidak tahu kalau ada yang sedang mandi di sini.

“Apa kamu tidak tahu di sini bukan tempat mandi laki-laki?” bentak gadis itu. “Tempat mandi kamu di sana, di bawah pohon jati itu.”

Joko Tarub Dadakan, yang tak menyangka akan mendapatkan jawaban polos seberani itu, terbata menjawab: Maaf, saya keponakan Pak Dali. Saya baru kemarin malam datang dari Kota Semarang.

Dengan berkacak pinggang bidadari pancuran bambu itu berkata: “O, keponakan Mbah Dali. Ya sudah, cepat pergi sana, sebentar lagi ibu-ibu akan mencuci baju di sini!”

Joko Tarub Dadakan yang sepenuhnya telah kikuk merespon dengan gagap seperti seekor anjing kampung yang baru saja ditimpuk: Maaf, maaf, maaf.

Sekilas ia masih sempat menoleh ke belakang, menatap wajah oval kedondong bidadari pancuran bambu dengan sudut matanya, sebelum ia tersandung akar pohon entah apa (Sial! umpatnya dalam hati) dan membuat tawa berderai gadis sintal itu menderas bersama aliran sungai kecil di tepi hutan kecil. Kini Joko Tarub Dadakan merasa pasti ia telah jatuh cinta untuk kedua kalinya.

Namun, beginilah akhir dari kisah itu: gadis pancuran bambu, kekasih revolusioner Joko Tarub Dadakan, tewas setelah diperkosa dengan keji oleh empat serdadu pribumi Kerajaan Belanda. Dan, masih dalam nuansa politik etis, Joko Tarub Dadakan akhirnya dihukum kerja paksa dan dipenjara, sebagai konsekuensi atas tindakan kalapnya membakari ladang-ladang tebu di selatan Kota Semarang. Begitulah, tiga tahun kemudian, Sentot Kidri mati di penjara dengan tubuh kurus kering. Mayatnya dilempar ke jurang bagai bangkai anjing.

_____________________

2. PARA PEMAKAN BANGKAI

30.000 tahun setelah para pemakan bangkai itu meninggalkan gua-gua, mereka masih juga tertipu oleh yang-bukan-rahasia.

_____________________

*) Ahmad Yulden Erwin lahir di Bandarlampung, 15 Juli 1972. Ia telah menerbitkan kumpulan puisi “Perawi Tanpa Rumah” (2013), “Sabda Ruang” (2015), “Hara Semua Kata” (2018) “Perawi Tanpa Rumah (Edisi revisi, 2018), “Perawi Rempah” (5 besar Kusala Sastra Khatulistiwa 2018).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *