1. GENOSIDA AZTEC
Kabarnya, dalam suatu upacara religius selama empat hari, para imam suku Aztec pernah mencabut jantung empat puluh ribu orang selagi hidup dan menggelindingkan kepala-kepala tanpa batang leher dari puncak piramida. Upacara pengorbanan manusia itu dilakukan di kuil untuk membalas kebaikan Dewa Matahari yang telah mengorbankan darahnya demi mencipta semesta. Anehnya, yang terpenggal itu justru kepala-kepala para budak dari suku Indian lainnya.
Namun, selang beberapa waktu kemudian, suku Aztec pun “hilang” tanpa diketahui sebabnya. Lalu bangsa Eropa yang beradab dan luar biasa religius masuk ke bekas wilayah-wilayah suku Aztec. Tanpa ampun mereka membantai penduduk Indian yang menganggapnya sebagai dewa-dewa agung. Tampaknya kolonialisme telah menulis ulang riwayat suku Aztec sebagai kisah cermin dua sisi yang, tentu saja, tak akan pernah menampilkan wajah asli pembuat cermin itu sendiri.
_________________________
2. KRITIKUS PEMABUK
Kadang, di saat-saat subjektif dan terambung hangat anggur, seorang pemabuk bisa salah tafsir mencium bau aroma kopi dengan aroma wine 1876—tersesat di semak bulu hidungnya. Ia bilang kepul asap kopi itu sama sekali tak menyemburkan bau empati. Sayangnya, tanpa ia sadari, seekor kutu busuk tengah menghirup sedikit bau ampas di atas anusnya. Buat urusan kritik bau bawah sadar ini, pemabuk itu memang narsis sejati.
______________________________
3. HUJAN TIDAK JADI TURUN SORE ITU
Hujan tidak jadi turun sore itu, seperti hujan yang turun sore kemarin, atau dua hari kemarin, atau tiga hari kemarin, atau satu minggu kemarin—karena di mata Garmin hujan memang tak pernah turun sore itu. Gadis yang bermata hitam itu, seperti setiap gadis pada lukisan-lukisan Jeihan, selalu berdiri di halte bus yang sama. Bukan, ia bukan menunggu bus di sana, sebab ia tak peduli pada setiap bus yang datang dan pergi. Ia hanya menanti hujan yang tak akan pernah turun sore itu.
Suatu hari seorang ibu tua bertanya kepada Garmin, “Kamu menunggu bus jurusan mana?” Garmin tersenyum dan menjawab, “Saya menanti hujan yang turun sore kemarin?” Seorang mahasiswa, seorang buruh bangunan, seorang pedagang es cincau, seorang bocah kelas tiga SD, seorang polisi juga pernah bertanya perihal yang sama. Dan Garmin, dengan senyum yang sama, dengan keteguhan hati yang sama, menjawab, “Saya menanti hujan yang turun sore kemarin.”
_________________________________
4. SAYA ADALAH PRESIDEN SEGELAS AIR INI
Pagi begini sesak oleh berita tentang seorang sahabat yang ditahan polisi sekira 18 jam, serasa-rasa hidup sekarang lebih mirip satu cara kuno untuk bertahan, sepotong instink untuk saling menikam dengan cara yang elegan. Tidak mengerikan, hanya sedikit membikin sayu bangkit dari perasaan. Atau mirip sebuah percakapan dengan bayangan, dan kita akan semakin sulit menentukan mana sebenarnya subjek yang tengah bercakap dan mana yang dipercakapkan.
Saya berselancar di alam maya dengan perasaan kering. Hidup yang aneh di antara bit-bit digital, tidak mencium wangi uap kopi, pagi lewat begitu cepat. Saya membaca acak beberapa situs berita, sastra, lukisan, dan politik—tidak menarik. Lalu, tiba-tiba mata saya terjeda satu puisi karya penyair dan editor kelahiran Washington, Matthew Zapruder. Kalimat-kalimat puitiknya terasa seperti gumam, seperti sebuah dialog lirih satu jurusan yang disusupkan ke dalam narasi, sedikit peduli musik, lebih fokus pada citraan visual, serta, dengan halus, mengaburkan urutan waktu di dalam teks. Begini saya terjemahkan secara bebas satu puisi karya Matthew Zapruder yang saya petik dari buku puisinya, “Come On All You Ghosts (2010)”:
SALJU APRIL
Hari ini di El Paso semua pesawat terlelap di landasan. Dunia hadir dalam jadwal tertunda. Semua konsultan politik minum wiski, menjaga kepala mereka tetap tertunduk, dan mendongak hanya agar bisa menatap bekas luka perempuan pelayan yang memakai tombol-tombol mesin ketik sebagai kalung. Gemirincing tatkala pelayan itu membawakan mereka minuman. Di luar jendela-jendela kaca pesawat raksasa benar-benar tertutup salju, salju yang memenuhi sayap. Saya merasa tak lain baterai pengisi daya ponsel. Setiap kepercayaan nenek moyang hanya sebagian dilindungi. Saya tidak ingin bicara di telepon dengan seorang bidadari. Pada malam sebelum saya terlelap saya sudah bermimpi. Tentang kopi, tentang jenderal kuno, tentang beberapa wajah patung yang masing-masing memiliki ekspresi kekal salah satu perasaan saya. Saya memeriksa perasaan saya dan tak merasakan apa-apa. Saya naik sepeda biru di tepi gurun. Saya adalah presiden segelas air ini.
Ah, Matthew, di sana engkau menulis sepotong puisi politik dengan laju semantik yang sedingin salju dan tetap mampu membangkitkan rasa haru. Dan di sini, Zapruder, di sini, saya hanya mampu berharap presiden negeri ini tetap menjadi segelas air, bukan segumpal batu, atau sepotong monolit.
_________________________
5. SARUNG DAN STALIN
Sudah lama tidak pakai sarung. Terasa nyaman dan santai. Sebelum tidur, bisa baca dulu satu bab buku Young Stalin; buku sejarah yang ditulis dengan detil, dengan ironi yang halus oleh seorang penulis muda Inggris, Simon Sebag Montefiore. Sarung dan Stalin, perpaduan yang kontras, terasa jauh dan (mungkin) dapat menarik rasa ambang, meski kita tetap bisa memilih untuk melupakannya.
__________________________
6. SOCRATES DAN SEORANG SAHABATNYA
Menjelang Socrates menjalani prosesi minum racun dari tangan sang Dewi Keadilan, seorang sahabatnya, pemuda paling progresif pada masanya, bertanya: “Mengapa kau rela menerima hukuman bunuh diri itu, Socrates, meski kau tak bersalah?” Dengan tenang Socrates menjawab: “Karena aku menghormati hukum.” Pemuda pemberani itu, yang mungkin tak mewarisi selera satir pahit ala Socrates, masih tampak tak mengerti, kedua matanya berkaca-kaca menatap Socrates dengan tenang menenggak racunnya.
____________________________
7. KEMBARANKU
Ini adalah kisah kembaranku, Ahmad Julden Erwin, dalam semesta paralel yang lain. Umur empat tahun ia telah lancar membaca dan, dasar bengal, yang pertama kali dibacanya justru kisah sepasang manusia pertama terusir dari surga. “Aku tak mau, pokoknya tak mau masuk sekolah yang cuma nyanyi-nyanyi!” tolak kembaranku setelah ditawari ayahnya masuk TK di seberang rumahnya. Sebagai semacam petisi kepada ayahnya, untuk membuktikan bahwa ia layak masuk SD, maka ia tulis ulang kisah pengusiran Adam dan Hawa dari surga. Saat tengah malam, ia letakkan lima lembar surat petisi tentang kebengalan sepasang manusia pertama itu di meja kerja ayahnya. Alhasil, saat umurnya genap lima tahun, terpaksalah sang ayah berjuang habis-habisan agar putra pertamanya itu bisa masuk SD dan, sudah pasti, dengan alasan belum cukup umur, ditolak di sekolah negeri mana pun. Hanya satu sekolah swasta yang cukup berani, dengan alasan kekurangan murid, menerima kembaran bengalku itu. Di samping pintu ruang ibu kepala sekolah, Ibu Miriam, sebuah papan nama tercantel agak miring di dinding: SD 1 Muhammadiyah Tanjungkarang (sebuah lambang matahari hijau di samping kanan). Alangkah senang ia bisa bersekolah, tak jarang jam lima subuh telah pula ia kenakan seragam putih-merah. Tiada sedikit pun raut kecewa terbit di wajah polosnya, meski jelas-jelas ia bersekolah di SD yang lokalnya cuma tiga, gentengnya bocor, lantainya tanah, dan, seperti telah menjadi takdir ilahi, gelap tanpa listrik. Tentu saja, yang patut disyukuri, setelah lonceng jam istirahat berdentang tiga kali, ruang kelasnya langsung beralih fungsi jadi tempat berteduh sepasang kambing kacang milik ibu kepala sekolah.
Umur tujuh tahun ia jadi penggila komik Gundala Putra Petir. Dan itulah masanya ia melupakan komik pengusiran manusia pertama dari surga. Umur delapan tahun ia keranjingan bertualang “main ban”. Ini permainan favorit anak-anak lelaki Gang Sidodadi masa itu. Jadi, bila kedua orang tuamu tak mampu membelikan sepeda mini, janganlah cepat-cepat mewek. Pakai otakmu! Maka, terciptalah satu penemuan cemerlang yang membuat Babah Cian pemilik toko sepeda mini di Pasar Koga garuk-garuk kepala. Inovasi luar biasa itu adalah menggelindingkan ban motor bekas dengan sepotong kayu sebagai kemudinya. Usai sekolah, bersama teman-temannya satu gang, bertualanglah ia main ban hingga ke kaki Gunung Banten. Waktu itu musim jambu air tengah moncreng-moncrengnya. Bersaing dengan puluhan monyet gunung, geng anak-anak main ban yang kehausan itu kalap berpesta jambu air. Sebelum maghrib pulanglah ia beradu kencang menggelindingkan ban motor bekas bersama teman-temannya. Sampai di sini, bolehlah kita sedikit berimajinasi bahwa yang ada di dalam kepala anak-anak lelaki Gang Sidodadi itu justru adegan mereka tengah beradu kencang menggowes sepeda mini–yang tentulah seumur-umur tak bakal mereka miliki. Menjelang umur sembilan tahun ia telah jadi pecandu komik Si Buta dari Goa Hantu. Dan itulah masanya ia mengucapkan sayonara kepada permainan paling inovatif, sekaligus paling ilusif, temuan anak-anak Gang Sidodadi (Johan Moncong, Rudi Pitak, Dawam Menges, Ijal Koreng, Candra Ingus, uh, dimanakah kalian kini?)–satu tahun sebelum “bom kenaikan harga minyak dunia” memakmurkan keluarga Bapak Pembangunan Indonesia.
Pada ulang tahunnya yang kesembilan, ia naik motor plat merah Suzuki A-100, ia dibonceng ayahnya ke toko buku Alaydrus. Itulah satu-satunya toko buku di kotanya yang menjual komik nabi-nabi pada masa TVRI sedang getol-getolnya menggemakan Era-Tinggal-Landas. “Pilihlah tiga komik. Jangan lupa, tetap rajin belajar,” kata ayahnya. Dengan hidung kembang-kempis gembira, sesekali tercium bau parfum Arab yang menyengat, ia memilih tiga buku komik: satu komik tentang kisah Nabi Yusuf yang, oleh kakak-kakaknya, dicemplungkan ke sumur tua bersama seekor srigala terluka; serta dua seri komik perjuangan Nabi Muhammad yang berperang mempertahankan satu-satunya sumber air bagi kaum Muhajirin di sumur Badar. Namun, dengan ragu-ragu, ia juga tengah menimang-nimang dua seri pertama komik silat Raden Kian Santang. Ayahnya tersenyum dan berkata: “Ya sudah, boleh ambil lima komik.” Bukan kepalang ia senang, rasanya seperti hendak bersalto ia meniru adegan Raden Kian Santang melawan ular raksasa di Gua Lumut. Ayahnya tak tahu bahwa sejak beberapa bulan lalu ia telah keranjingan komik silat. Setelah mereka pindah ke rumah kontrakan bergaya Belanda, terpaksa pula ia pindah sekolah (akhirnya ia bisa juga masuk SD Negeri!), ia melakukan semacam pengenalan lingkungan dengan kelayapan di gang-gang sekitar rumah kontrakan baru ayahnya. Tiga siang usai menggambar tiap simpang jalan pada peta buta ingatannya, sampailah ia di satu wilayah tersembunyi tempat penyimpanan harta karun imajinasinya, bernama: KEDAI KOMIK FREINDS–dulu sering ia sebut “Gua Pertapaan si Buta”. Sejak itu, usai pulang sekolah, hampir tiap hari selama sekitar dua jam lebih ia memuaskan hasrat pengembaraan lorong waktunya ke masa lalu dengan membaca berbagai komik silat di gua-harta-karun-imajinasinya. Uang saku sekolahnya yang pas-pasan tak lagi sudi ia jajankan pisang goreng atau combro Mak Kempot, tetapi telah ia dermakan demi perawatan “kitab-kitab sejarah bergambar” di kedai komik Freinds milik Om Kribo. (Di manakah kau KINI, Om Kribo? Apakah istrimu masih suka ancam-ancam cerai bila tak lekas kau ganti kerja?). Begitulah, lewat komik-komik silat karya Djair dan Ganes TH, sang pengembara cilik lorong waktu itu menyusuri jejak-jejak sejarah penindasan bangsanya. Jaka Sembung, Si Tolol, Jampang Jago Betawi, Taufan, Krakatau, dan, tentu saja, Si Buta dari Goa Hantu–itulah sederet judul komik silat yang membuatnya betah “bertapa” berjam-jam di kedai komik Freinds. Tak jarang ibunya memuntir kuping pertapa kecil itu setiap kali ia pulang sore dan tak memberi alasan tepat ke mana ia menghilang. Kisah-kisah silat dengan latar pergulatan sejarah-rakyat-jelata, jatuh-bangun berkehendak hidup merdeka, itulah cacing hendak jadi naga, amatlah kerap membuat mata bocah delapan tahun itu memerah. Pelan-pelan tumbuhlah dalam kesadarannya: hidup memang tak selalu mudah, apa lagi di negeri yang selalu terjajah.
________________________
8. KRITIKUS PEMABUK, II
Ini pendapat sedikit ada aroma Tao Te Ching. Seorang pemabuk yang, dengan argumen sedikit lucu dan sedikit sedih, bilang lebih lembab 1 + 1 = 2 daripada 1 – 1 = 0. ketika dibantah bahwa keduanya berbeda secara metode dan, jelas sekali, tak bisa dibandingkan; sang pemabuk kita ini langsung singut-singut kelinci dan mendengking gaya keledai dicambuk: “Lagi-lagi, kau kering emosi.” Saya pikir, sudah saatnya ia mengendus aroma kopi tahi musang pada sebaris silogisme matematis ala A.N. Whitehead.
________________________
Cerita Mini ©2012 – 2014
________________________
*) Ahmad Yulden Erwin lahir di Bandarlampung, 15 Juli 1972. Ia telah menerbitkan kumpulan puisi “Perawi Tanpa Rumah” (2013), “Sabda Ruang” (2015), “Hara Semua Kata” (2018) “Perawi Tanpa Rumah (Edisi revisi, 2018), “Perawi Rempah” (5 besar Kusala Sastra Khatulistiwa 2018).