1. IBU
Seorang ibu, bermata setajam tombak tulang, sendiri melintasi padang es di Pegunungan Kaukasia. Kelaparan memburu sukunya. Rambutnya masai, giginya hitam, tiga hari sudah lapar terkeji mencekik ususnya. Bermantel bulu beruang, cermat ia ikuti jejak-jejak kaki dan cecer darah seekor mamouth terluka. Terlindungi rahim yang hangat, 12.000 tahun lalu, janin itu, moyang segenap ras Arya, mulai belajar menendang perut ibunya.
__________________________
2. JERICHO
9000 tahun lalu Jericho adalah kota pertama yang dikelilingi tembok batu dan memproduksi citra damai kematian. Bagi penduduk Jericho wajah kematian tak lain sebentuk totem akrab: mereka lapisi setiap tengkorak keluarga dengan lumpur, menjemurnya, kemudian dengan khidmat meletakkannya di dalam rumah sebagai penebus kerinduan. Penduduk Jericho rata-rata hanya berumur 24 tahun, tak heran mereka begitu terobsesi untuk mencipta seni berdamai dengan kematian.
____________________________
3. GILGAMESH
Gilgamesh, menurut saya, adalah raja pertama yang memanfaatkan sastra demi kepentingan politik. Di Delta Mesopotamia, 4000 tahun lalu, awalnya ia cuma kepala suku kecil yang keranjingan berkelahi. Titik balik terjadi, saat ia dengan persuasif memaksa para penyair mengguratkan versi awal epik fantastik kepahlawan-ilahiahnya di lempeng-lempeng tanah liat. Sejak itu, tradisi melantunkan keras-keras (tak jarang melengking histeris) epik Gilgamesh menjadi semacam liturgi mula-mula pada setiap rumah di Delta Mesopotamia. Ancaman bagi keluarga yang menolak membaca liturgi itu cukup setimpal: tubuh para pembangkang akan disayat, pelan dan dalam, sambil ditetesi air garam. Kombinasi keji sayatan tubuh dengan dusta yang indah itu rasa-rasanya memang terbukti cukup efektif untuk mendamaikan dunia.
_________________________
4. RUMAH
Ini adalah rumah. Kau bisa berkeliling dan tak menemukan perabot apa pun kecuali dirimu sendiri. Kau adalah satu-satunya perabot dalam rumah itu. Kau duduk di atas kakimu sendiri. Kau menyantap pikiranmu sendiri. Kau berbaring di dalam hatimu sendiri. Kau tengok ke samping, ke atas, ke bawah; kau hanya menemukan ribuan kata menjelma cermin. Kata-kata itu adalah rumahmu yang lain, tercipta dari setiap suit angin.
____________________________
5. PATAFISIKA TELUR MATA SAPI
Pagi ini saya sarapan nasi goreng dan telur mata sapi.
Ketika telur mata sapi itu tinggal setengah, nasi goreng di piring saya telah habis. Dan, tiba-tiba, saya merasa saya tak lain telur mata sapi itu sendiri.
Saya berdiri dan telur mata sapi yang tinggal setengah itu juga ikut berdiri. Kami berjalan-jalan di halaman rumah. Saya mulai melihat dunia dari perspektif telur mata sapi. Saya bertanya kepada telur mata sapi yang tengah melangkah pelan di samping saya, “Apa kita perlu keluar halaman?” Ia menjawab, “Bisa saja. Tapi, itu hanya akan mengantarkan kita kembali ke sini.”
Tiga abad kemudian, kami masih melanjutkan perjalanan di dalam dunia telur mata sapi, dunia yang tak mengantarkan kami ke mana-mana.
__________________________
6. MATA SANG PENILAI
Orang mungkin bisa menilai, dengan kedua ekor matanya yang berkilat tajam, bahwa kedua kakimu lemah, cenderung gemetar, bahkan ketika kau mencoba berdiri di atas kakimu sendiri. Namun, hanya engkau sendirilah yang benar-benar tahu seberapa jauh engkau mampu berjalan dan meninggalkan ribuan jejak kaki. Percayalah, kedua ekor mata sang penilai itu sama sekali tidak mampu berjalan.
__________________________
7. BAYANG
Bosan oleh suasana tertekan, saya bangun. Melangkah ke kamar tidur, ke dapur, ke ruang tengah, ke ruang tamu—saya berpikir ada baiknya bila, dua-tiga detik saja, saya tengok bayang di belakang saya.
Bayang tubuh saya tampak rata di lantai, benar-benar tak berdaya, tetapi tegar. Kemudian ia mulai bergerak-gerak sedikit, seperti menggeliat, lalu menarik-narik bagian tubuhnya agar terlepas dari tubuh saya.
“Kita mesti berpisah,” katanya.
“Kamu benci aku?” tanya saya.
“Kamu terlalu melekat padaku,” jawabnya.
“Meski kamu sudah jadi bagian tubuhku sejak lama, sejak remang-remang tercipta, sejak gelap dan terang menjauh; kamu jelas tak bisa mengingkari fakta ini,” kata saya.
“Aku cuma ingin menari,” katanya, “menari di udara.”
Bayang tubuh saya mulai tertawa dan bergema dan, beberapa detik kemudian, gema tawa bayang tubuh saya itu menjelma jadi puluhan kunang-kunang. Saya mulai ikut tertawa, seperti tawa inosen bocah dua tahun, menyaksikan puluhan kunang-kunang terbang di ruang tamu.
Lampu mati. Saya membuka mata dan, pelan-pelan, melangkah memasuki kegelapan jiwa saya.
__________________________
8. ABNORMAL
Sebagian besar kita (atau, semata eufimisme, sebagian kecil kita) memiliki kehidupan pribadi yang abnormal, yang berusaha mati-matian kita tutupi. Namun, sebagian kecil dari sebagian kecil kita itu terus saja berupaya mengekspresikan abnormalitas kita dalam kehidupan sehari-hari melalui karyanya. Mereka adalah para seniman yang, mungkin tanpa kita ketahui riwayat abnormalitasnya, justru kita kagumi karyanya.
Para seniman yang abnormal itu telah menampilkan aneka cermin bagi kita. Saya cuma ingin berkata, bila kita tidak kelewat hipokrit, sisi gelap kehidupan pribadi kita mungkin tak lebih kelam daripada kehidupan para seniman yang kita anggap abnormal itu.
___________________________
9. LUGU
Saya rasa George Orwell terlalu lugu untuk bisa memahami bahwa kehidupan hagemonik dalam “Animal Farm” tak hanya tercipta oleh kuasa seorang diktator yang terprovokasi oleh pikiran utopisnya sendiri, tetapi (lebih-lebih pada abad ke-21 ini) juga oleh aneka sihir informasi melalui perusahaan-perusahaan media yang berebut teritori di dalam sistem limbik otak manusia.
Seperti saat seorang penasihat ekonomi presiden AS berkata kepada George Soros: “Kau nampak begitu sibuk membaca masa lalu untuk menciptakan dunia yang lebih masuk akal dan lebih baik pada masa kini, justru pada saat kami tengah merancang suatu dunia untuk kami hegemoni.”
Oh, Tuan Soros yang malang, sayangnya engkau mungkin telah tahu bahwa rancangan dunia ini sama sekali belum bisa keluar dari disutopia manis George Orwell: “Babi tampan itu masih saja menggunakan kemeja merah jambu.”
__________________________
Cerita Mini ©2012 – 2014
__________________________
*) Ahmad Yulden Erwin lahir di Bandarlampung, 15 Juli 1972. Ia telah menerbitkan kumpulan puisi “Perawi Tanpa Rumah” (2013), “Sabda Ruang” (2015), “Hara Semua Kata” (2018) “Perawi Tanpa Rumah (Edisi revisi, 2018), “Perawi Rempah” (5 besar Kusala Sastra Khatulistiwa 2018).