BERJUBEL

Hilmi Abedillah

Ada ruangan sesak di depan matamu. Mirip dengan antrean pembuatan ktp di disdukcapil, antrean pembayaran pajak motor di samsat, atau antrean niat mau mengeluh di customer service bri cukir.

Semua akan bertambah sesak. Terutama jika galeri hapemu selalu kau tambah dengan foto selfi atau dokumentasi jalan-jalan. Populasi pakaian di lemari sepertinya wajib bertambah minimal sekali dalam setahun saat lebaran, sedangkan pakaian lama sayang untuk dibuang. Informasi dalam kepala pun tidak bisa dipilah antara yang penting dan yang remeh, sama persis dengan file di komputermu.

Pernahkah kita berpikir bahwa setiap kita membeli produk, kita telah menciptakan bibit sampah, berapa pun usia gunanya. Untung, Tuhan menciptakan api untuk membakar mereka. Kadang dihalang-halangi oleh air dan ketidakpedulian.

Masyarakat hari ini memakai istilah baru untuk pelajaran lama. Kesederhanaan telah diajarkan Nabi melalui percontohan tindak-tanduknya sehari-hari: makan secukupnya, menjahit baju yang robek, dan tidak bermegah-megahan. Tentu masih banyak wajah kesederhanaan yang sekarang dikenal dengan konsep minimalisme. Ala Jepang, misalnya.

Minimalisme diaplikasikan dalam berbagai gaya hidup: rumah tinggal, pakaian, makanan, bahkan waktu. Dengan desain minimalis, ruangan di rumah akan semakian luas. Mata juga sudah jenuh dengan visual yang begitu saja.

Barang yang layak dibeli adalah barang yang benar-benar dibutuhkan. Ada hierarki dalam kebutuhan itu. Kalau sudah ada jam di hape, untuk apa membeli jam tangan? Salah satu kalimat racun muncul dengan suara “ayo beli, mumpung di sini”. Sama seperti bayang-bayang diskon di marketplace.

Kebiasaanmu menumpuk barang tidak diimbangi dengan kemampuan membuangnya. Wadah demi wadah dibuat untuk menampung mereka. Alasannya mungkin simpel, setiap barang memiliki kenangan, atau yang lain. Semakin hari semakin banyak barang yang berjubel.

~Abede, habis mimpi, 22 Januari 2020

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *