Djoko Saryono
Sekarang kita (baca: manusia) tengah berada di perahu kehidupan, kebudayaan, dan atau peradaban Abad XXI di planet bumi. Apakah yang diperlukan untuk melangsungkan dan memberlanjutkan kehidupan (umat) manusia secara bermartabat pada zaman sekarang, apalagi zaman akan datang di perahu Abad XXI? Di situ, apakah yang diperlukan demi keselamatan dan keberlanjutan eksistensial kita sebagai spesies sapiens? Kearifan-kebijaksanaan atau kecerdasan-kepandaian? Ataukah keduanya sesungguhnya yang sedang diperlukan?
Rasionalitas, moralitas [etika], imajinasi ataukah ketiganya yang dibutuhkan untuk ketahanan dan kejulangan kemanusiaan, kebudayaan, dan atau peradaban pada zaman sekarang, lebih-lebih zaman akan datang? Kognisi, afeksi ataukah praksis keduanya yang sesungguhnya diperlukan oleh manusia pada zaman sekarang, bahkan pada zaman akan datang? Akal, pikiran-nalar, akhlak mulia, ataukah kombinasi di antaranya yang sedang diperlukan oleh masa kini, apalagi oleh masa depan kebudayaan dan peradaban yang dapat meluhurkan manusia dan kemanusiaan?
Sejak zaman dahulu sampai dengan zaman sekarang – mungkin juga zaman akan datang – beberapa pertanyaan tersebut telah dan akan menyibukkan manusia. Bahkan menghadapkan kita ke dalam posisi dan keadaan penuh simalakama, paradoks, dan kontradiksi dalam rangkai ‘perjalanan’ kebudayaan dan peradaban. Kita bagaikan bermuka-muka dengan dewa Janus – dan bingung memandang wajah kehidupan yang dijalani dan dihuni. Malah kita seolah terpedaya Kotak Pandora – berhasrat menginginkan kemajuan, kebahagiaan, dan kebaikan serta harapan pada satu sisi. Tetapi, kita berhadapan dengan realitas kemunduran, penderitaan, keburukan, dan keputus-asaan pada sisi lain.
Meminjam kata Harari dalam Sapiens (2017:500), manusia merasa sedang berada di puncak evolusi kognitif sebagai homo sapiens yang sanggup menjaga-melindungi alam-lingkungan dan makhluk lain. Akan tetapi, kenyataannya “…manusia semakin tidak bertanggung jawab kepada siapa pun… sehingga menimbulkan kerusakan bagi rekan-rekan hewan kita dan ekosistem sekeliling…”. Kita sedang berada di dalam zaman yang – pinjam larik Amir Hamzah – “bertukar tangkap dengan lepas”.
Itu semua akibat kita tidak sanggup memastikan atau memapankan gambaran dunia yang sedang kita huni dan hidupi. Bahkan juga dunia yang sudah di belakang hidup kita dan dunia yang akan menjelang di akanan hidup kita. Terasa tidak ada jawaban paling tepat, mapan, dan utuh bagi pertanyaan: dunia dan atau zaman apakah sedang kita huni sekarang?
Tidak ada satu gambaran dunia yang bisa disebut berwibawa, kemudian digunakan oleh sebagian besar manusia. Berbagai pakar dan buku menyebutnya bermacam-macam berdasar pada lensa pandang masing-masing. Sekadar contoh, jauh pada tahun 1970-an dan 1980-an, dalam Future Shock (1970) dan Third Wave (1980), Toffler menyebutnya dunia Gelombang Ketiga. Gelombang Ketiga dipenuhi dengan kebaruan sekaligus keusangan yang dihela oleh kecepatan dan kebergegasan tinggi – yang bisa membuat kita mengidap gegar masa depan.
Memasuki awal milenium ketiga, dalam Run Away World (2002) Giddens menyebutnya dunia sedang lari lintang pukang (run away world). Ini karena kecepatan menjadi tolok ukur segala. Kemudian Klaus Schwab dalam The Fourth Industrial Revolution (2016) menyebut masa sekarang yang berdampak besar pada masa depan sebagai zaman Revolusi Industri Keempat. Dalam zaman tersebut kita terperosok ke dalam dunia serba tidak pasti, tidak terduga, mendua, dan penuh kompleksitas tinggi – yang disebut VUCA (volatility, uncertainty, complexity, ambiguity) oleh Oliver Mack dan Anshuman Khare dalam Managing in a VUCA World (2016).
Melalui dunia VUCA inilah kecepatan-kebergegasan dan disrupsi menjadi dua konsep utama-idola. Menjadi pusat pergerakan hampir segala sektor kebudayaan dan peradaban. Kita memasuki kehidupan zaman disrupsi yang ditandai oleh kebudayaan serba-harus-cepat (culture of speed – istilah Tomlinson). Kecepatan menjadi ukuran dan tolok ukur hampir segala hal. Tak heran, seperti menggemakan kembali pernyataan Heraclitus ribuan tahun lalu, Harari (2018: 281) menyatakan bahwa perubahan adalah satu-satunya konstanta kehidupan Abad XXI yang penuh disrupsi.
Di situlah perubahan disruptif-teknologis secara terus-menerus (harus?) diterima atau diyakini sebagai kewajaran dan kenormalan kehidupan. Tak heran, kestabilan dan ketakberubahan malah mengalami peyorasi. Kenyamanan pun menjadi hina – semua orang dihela untuk memasuki dunia tak nyaman. Berada dan berdiam di zona nyaman dianggap kesalahan dan ketakpatutan – dipersepsi negatif oleh nyaris semua orang.
Hal tersebut menjadikan manusia tak hanya berhadapan dengan eksploitasi. Tetapi, juga bertumbukan dengan irelevansi (ketak-relevanan) dalam banyak hal. Menurut Harari (2018:xii), hal itu merupakan sesuatu yang lebih buruk dari eksploitasi. Menurut Carr (2016) dalam The Shallows, di situ manusia lantas berhadapan dengan kedangkalan hidup, bukan kedalaman hidup.
Keadaan tersebut – seturut kata Harari (2018:279) – lalu memberangus kita ke dalam zaman kebingungan. Mungkin juga zaman kepanikan, kecemasan, keputusasaan, dan ketaktahuan sekalipun dalam batas-batas tententu harapan masih tumbuh. Ini tak hanya menimbulkan kelabilan kondisi manusia dan kemanusiaan. Tetapi, juga kerentanan atau kerapuhan kebudayaan dan peradaban kita.
#ndlemingsiang, 20/02/2020