Yudi Anugrah Nugroho
merahputih.com, 7/9/2017
ADDHAKIL atau ‘sang penakluk’ sempat bersanding di belakang nama Abdurrahman. Entah mengapa nama tersebut berganti menjadi Wahid. Dua arti kata tersebut bisa jadi merupakan doa agar pria kelahiran hari ke-4 bulan Sya`ban atau 7 September 1940, Denanyar, Jombang, Jawa Timur, kelak menjadi ‘sang penankluk’ juga orang nomor wahid atau satu.
Doa itu pun terkabul. Putra pertama dari enam bersaudara pasangan Wahid Hasyim, seorang tokoh nasional, Menteri Agama (1945 dan 1949-1950, serta 1950-1952), putra KH Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), dan HJ Sholehah, putri KH Bisri Syansuri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang, pesantren pertama membuka pengajaran bagi kaum perempuan, memang menaklukan jaman.
Gus Dur sapaan Abdurrahman Wahid, memiliki ruang gerak tak terbatas sebagai santri kampung. “Ia (Gus Dur) orang santri dari kalangan pesantren yang, sebagai orang intelek ilmu agama, punya lingkungan keilmuan Islam. Lalu, lingkungan ilmuwan sosial dia masuki. Ikut seminar-seminar. Dia kan punya perangkat teori sosial, belajar ilmu sosial. Juga lingkungan pergerakan keagamaan dengan aktif di NU. Jadi orang LSM. Orang gerakan demokrasi dan hak asasi. Masuk lingkungan antar-agama. Sampai ke tingkat antar-negara. Tapi juga, sebelumnya, orang Taman Ismail Marzuki,” tulis Syubah Asa, Wartawan Senior Majalah Tempo, pada Melawan Melalui Lelucon; Kumpulan Kolom Abdurrahman Wahid di TEMPO.
Gus Dur hampir menaklukan semua bidang. Dia hidup berpindah Jombang-Jakarta sedari kecil seturut riuh-rendah karir politik sang ayah. Di Jakarta, Gus Dur bersekolah dasar d SD KRIS, kemudian pindah SD Matraman Perwari.
Setahun lepas sang ayah, Wahid Hasyim meninggal akibat kcelakaan mobil pada April 1953, Gus Dur menempuh pendidikan Sekolah Menengah Pertama di Yogyakarta, kemudian melanjutkan pendidikan pesantren di Magelang, Jawa Tengah, lalu pindah menjadi santri Pesantren Tambakberas, Jombang.
Di sana, Gus Dur mengabdi menjadi guru dan kelak kepala sekolah sebuah madrasah, lalu menulis berbagai artikel di majalah Budaya Jawa. Pada tahun 1963, Gus Dur mencoba menaklukan keilmuan Timur-Tengah. Dia mencecap studi di Al-azhar, Kairo, Mesir, melalui beasiswa Kementrian Agama Republik Indonesia.
Kuliah Islam dan Bahasa Arab di Al-azhar tak berjalan mulus. Di gagal dan nyari pulang ke tanah air, sebelum diselamatkan beasiswa baru di Universitas Baghdad. Gus Dur menetap di Irak hingga studi rampung pada tahun 1970.
Di tanah air, Gus Dur langsung bergabung di Lembaga Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3S), organ kaum intelektual Islam progresif. Di LP3S, Gus Dur menjadi kontributor majalah Prisma. Dia pun terkenal rajin menulis kolom diberbagai media, seperti TEMPO dan Kompas.
Di TEMPO, tulisannya begitu produktif dan apik. “Hampir tiap minggu Gus Dur menulis,” kenang Syubah Asa. Tulisan Gus Dur, menurut Syubah Asa, bisa berbicara segar tentang ‘komersialisasi keberagaman’ dengan kedua pihak sama-sama setuju. Ide tentang tulisan bisa bermacam-macam, bahkan dianggap orang sepele bisa berubah penting dengan dikemukakan melalui kalimat-kalimat serius.
Ungkapan-ungkapan Gus Dur, lanjut Syubah Asa, memang rata-rata menyegarkan. Judul seperti Menunggu Setan Lewat, murni dari buah pikir dan pengalaman pandangan mata, bukan hasil suntingan. “Berpikirnya ringan tapi amot (kaya),” ungkap Syubah Asa.
Gus Dur memang menghidupi keluarga, setelah menikahi Sinta Nuriyah (in-absentia) saat di Kairo, dengan menulis di berbagai media. Dia sempat mengajar di Pesantren Tambakberas Jombang. Sebagai garis keturunan pendiri NU, Gus Dur berkali-kali diminta bergabung untuk menjadi Dewan Penasehat Agama NU. Dia menolak.
Pada permintaan kali ketiga, juga mempertimbangkan tawaran sang mertua, KH Bisri Syansuri, Gus Dur pun mengamini dan pindah ke Jakarta untuk memudahkan segala urusan. Segera Gus Dur beroleh pengalaman poitik perdana, turut berkampanye untuk Partai Persatuan Pembangunan pada Pemilu 1982.
Saat itu, NU dianggap sebagai organisasi ‘hidup segan, mati pun tak mau’. Gus Dur mengambil peran untuk mereformasi NU, hingga mengantarkannya pada posisi puncak NU. Meningkatkan kualitas sistem pesantren menjadi agenda utama Gus Dur sebagai Ketu PBNU.
Gus Dur menempati posisi tersebut selama 3 periode, dan acap kali berselisih dengan pemerintahan Soeharto, salah satunya mengkritik pemerintah pada proyek Waduk Kedung Ombo. Tak heran bila jelang Munas NU pada 1994, terdapat kampanye melawan Gus Dur melalui tokoh-tokoh pendukung pemerintahan, meski tak membuat suara Gus Dur menciut dan tetap menempati posisi puncak di NU.
Paska-Reformasi, NU membentuk Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan meraup suara sejumlah 12% pada Pemilu 1999, sementara PDI Perjuangan menag dengan suara 33%. Pada sidang umum MPR 1999, PDI Perjuangan tidak memiliki mayoritas penuh lantaran Amien Rasi membentuk Poros Tengah, koalisi partai-partai Islam.
Pada 7 Oktober 1999, Poros Tengah resmi mencalonkan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai calon presiden dan tiga belas hari berselang Abdurrahman Wahid terpilih sebagai presiden keempat Republik Indonesia dengan capaian 373 suara, unggul tipis dari Megawati dengan 313 suara.
Lagi-lagi, Gus Dur menjadi ‘sang penakluk’ bahkan menjadi orang nomor wahid di Republik Indonesia. Meski umur kepresidenan Gus Dur singkat 1999-2001, kemudian dimakzulkan pada pelaksanaan Sidang Istimewa MPR, terobosan-terobosannya tak bisa dianggap sepele.
Salah satunya, mencabut Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967, produk hukum jaman Orde Baru, membatasi pembatasan aktifitas tradisi, perayaan keagamaan, dan kegiatan budaya Tionghoa, kemudian menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000.
Kini, tepat 77 tahun, bangsa Indonesia mengenang kelahiran ‘sang penakluk’ dan orang nomor wahid pada isu keberagaman, di tengah kerentanan keberagaman di bumi Nusantara.
***
https://merahputih.com/post/read/gus-dur-sang-penakluk-nomor-wahid