In memoriam: Wiratmo Soekito

H. Rosihan Anwar

Budayawan Wiratmo Soekito meninggal dunia dalam usia 72 tahun. Banyak berjasa dalam melawan PKI. Ia konseptor Manifes Kebudayaan yang menantang Lembaga Kebudayaan Rakyat.

BUDAYAWAN Wiratmo Soekito, 72 tahun, meninggal dunia Rabu, 14 Maret 2001 tengah hari, setelah mengalami stroke. Sekitar pukul empat petang jenazahnya tiba di rumah duka, dan 10 menit kemudian Presiden Abdurrahman Wahid datang, berdiri beberapa waktu di depan jenazah. Mulutnya komat-kamit. Kendati dua meter dari dia, bagi saya tidak jelas apakah Kiai Presiden sedang berdoa atau salat mayit.

Ketika hendak melangkah ke luar, saya bersalaman dengan Gus Dur, saling bertanyakan kesehatan. “Gus Dur juga sehat-sehat?” kata saya. “O ya, makin besar krisis politik, makin segar saya… ha, ha, ha,” jawab Kiai Presiden. Saya pikir, Gus Dur ini optimis abadi.

Pukul lima petang jenazah dibawa ke Karet. Budiman S. Hartoyo, Ketua PWI Reformasi, berkata kepada saya, Wiratmo besar jasanya dalam melawan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1960-an. Dialah konseptor Manifes Kebudayaan yang menantang Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), mantel-organisasi PKI yang dijurubicarai pengarang Pramoedya Ananta Toer.

Dalam diary saya tercatat entry berikut: 8 Desember 1963. Dalam surat kabar NU, Duta Masyarakat, terdapat hari ini sebuah tulisan oleh Soe Hok Djin (kini Dr. Arief Budiman) tentang Manifes Kebudayaan yang dikeluarkan tanggal 17 Agustus 1963. Manifes ini lahir dari pertemuan 13 seniman di Jakarta: H.B. Jassin, Trisno Sumardjo, Wiratmo Soekito, Zaini, Bokor Hutasuhut, Goenawan Mohamad, A. Bastari Asnin, Bur Rasuanto, Soe Hok Djin, D.S. Muljanto, Ras Siregar, Sjahwil, dan Djufri Tanissan.

Entry 27 Februari 1964 mencatat: Harian Bintang Timur hari ini memuat tulisan Joebaar Ajoeb di halaman mukanya, “Humanisme universal harus diganyang”. Joebaar Ajoeb, pimpinan Lekra, berbicara di sidang pleno V Pimpinan Pusat Lekra di Palembang. Para penanda tangan Manifes Kebudayaan dituduh PKI sebagai penganut humanisme universal.

Entry 4 Maret 1964 menyebutkan berlangsungnya di Jakarta Konferensi Karyawan Pengarang se-Indonesia (KKPI) yang didukung oleh Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN), Organisasi Pengarang Indonesia (OPI), Himpunan Seni Budaya Islam (HSBI), Lembaga Kebudayaan Kristen, para penanda tangan Manifes Kebudayaan, dan lain-lain.

Golongan komunis seperti Lekra/Pramoedya, dan golongan nasionalis seperti Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN/Sitor Situmorang), tidak setuju KKPI itu. Mereka menamakan KKPI sebagai “KK-PSI”, untuk menimbulkan kesan KKPI diatur oleh orang-orang PSI (Partai Sosialis Indonesia). Manifes Kebudayaan dicap oleh orang-orang komunis sebagai “Manikebu”, dan H.B. Jassin serta Wiratmo Soekito dijadikan bulan-bulanan serangan pribadi pihak Lekra.

Entry 28 April 1964: Aktivitas PKI menyingkirkan lawannya tampak pada heboh terhadap H.B. Jassin, Lektor Fakultas Sastra Universitas Indonesia (UI). Dipelopori oleh CGMI, mahasiswa komunis, dilancarkan aksi terhadap “Manikebu” dan dituntut supaya Jassin di-retool. Tanggal 13 April, delegasi mahasiswa kiri bertemu dengan Rektor UI Kolonel Dr. Sjarif Thayeb dan minta Jassin dicopot sebagai lektor.

Apa kata Sjarif Thayeb waktu itu? “Saya akan bendung Jassin agar ia tidak dapat lagi memberi kuliah di fakultas sastra.” Ia juga menyatakan secara pribadi tidak setuju dengan Manifes Kebudayaan yang berdasarkan cita-cita humanisme universal, karena telah out of date.

Entry 10 Mei 1964 mencatat: Presiden Soekarno tanggal 8 Mei menyatakan Manikebu terlarang. Alasannya, Manifesto Politik (Manipol) Republik Indonesia sebagai pancaran Pancasila telah menjadi Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan tidak mungkin didampingi dengan manifesto lain, apalagi kalau manifesto itu menunjukkan sikap ragu-ragu terhadap revolusi.

Tapi, Wiratmo tidak berhenti melawan komunis. Ia bekerja pada RRI menjadi komentator soal-soal luar negeri (1950-1972) dan terus mengupas masalah Eropa Timur. Ia dosen Akademi Teater Nasional Indonesia, ATNI (1958-1962), sejak 1976 dosen Institut Kesenian Jakarta mengajar dramaturgi. Ia pernah jadi anggota DPR-GR (1968- 1971).

Agak terlambat Wiratmo menikah pada 1968, dengan Hakim Agung Sri Widowati, SH. Ia yang tadinya Katolik lalu memeluk agama Islam. Setelah istrinya meninggal tahun 1982, ia kesepian dan tinggal bersama anaknya, Hario, ditemani oleh buku-bukunya. Putra mantan Kepala Perpustakaan Mangkunegoro VII ini memang seorang kutu buku.

Wiratmo belajar filsafat di Universitas Roma Katolik di Nijmegen, Nederland (tidak tamat), dan banyak menulis esai tentang filsafat eksistensialisme. Sebagai kolomnis, dia menulis tentang kebudayaan dan filsafat. Biografinya mengatakan “penulis terkemuka ini konon tidak mengutamakan honoranium”. Saya ingat tulisan Wiratmo di harian KAMI, akhir 1960-an. Dia mengutip ucapan saya bahwa saya tidak keberatan dibayar satu dolar saja untuk artikel, tetapi saya mesti diberi honorarium, betapa pun kecilnya, demi martabat dan kehormatan profesional saya.

Tapi, masa itu kami berdua sama-sama bego dan bloon, mau saja dibayar sedikit. Sedangkan bos-bos penerbitan, yang waktu jadi reporter tidak punya duit dan tidur di atas tikar asrama haji, setelah menduduki posisi pemimpin umum koran atau majalah bersikap pelit dan ganas kapitalis terhadap wartawan karyawan. Wiratmo geleng-geleng kepala dibuatnya. Tapi, kini dia sudah tutup usia. Semoga Tuhan menerima arwahnya di sisi-Nya.

http://arsip.gatra.com/2001-03-24/majalah/artikel.php?id=44818

Leave a Reply

Bahasa »