Taufiq Wr. Hidayat
Labudah tak pernah membaca “Orang-orang Bloomington” Budi Darma. Orang lain memperkenalkan sosok Labudah dari pikiran-pikiran kotornya, sikap yang menampakkan diri dermawan padahal pelit, licik, cabul, punya watak sadis yang terpendam. Sejumlah watak kotor Labudah itu, diceritakan orang lain dalam cerita ini. Orang lain itu bernama Zabalkat.
Menurut Zabalkat, Labudah sering mendampingi orang-orang penting, para pengusaha besar yang duitnya milyaran rupiah. Juga para pejabat dari pusat.
“Dari pusat?” tanya saya heran.
“Iya! Dari pusat. Pusatnya perkara!” jawab Zabalkat tertawa.
Saya juga tertawa. Kami sama-sama tertawa. Tertawa keras dan panjang sekali. Setelah sama-sama lelah tertawa, Zabalkat melanjutkan kisahnya perihal Labudah.
“Para pejabat dari pusat itu datang ke daerah. Kadang-kadang pejabat dari wilayah. Labudah mendampingi. Labudah harus mempersiapkan hotel, mobil antar yang mewah, penceramah agama untuk menyiram rohani para tamu dari pusat atau wilayah itu. Tak lupa, perempuan seksi untuk menyiram kepala mereka!”
“Kepala?” ujar saya heran lagi.
“Ya kepala! Kepala bawah mereka yang botak,” jawab Zabalkat kembali tertawa keras.
Saya ikut tertawa. Kami sama-sama tertawa.
“Kepala botak yang gak pernah sekolah itu!” kata saya.
“Ya! Kepala keluarga,” ujar Zabalkat.
Kami tertawa keras. Panjang. Dan lelah. Setelah sama-sama lelah, Zabalkat melanjutkan kisah Labudah. Disedotnya sebatang rokok kretek dalam-dalam. Dihempaskan asap pada ruang tamu rumah Zabalkat. Dan di luar hujan.
“Labudah pandai bicara agama. Ia fasih bicara surga dan neraka. Para tamunya terkantuk-kantuk. Labudah selalu mengulang-ulang pembicaraan tentang agama bagaikan suara rekaman yang diputar, yang tak akan berhenti berbunyi jika tombol tak dioffkan.”
Malam itu, hujan deras. Saya di ruang tamu rumah Zabalkat yang terpencil di pinggiran kota kabupaten. Zabalkat penggemar wayang. Dia juga memelihara tanaman di halaman rumahnya yang sempit. Rumahnya menunjukkan kemiskinan. Tapi tak cukup kumuh. Zabalkat gemar tertawa, perokok berat, dan pecandu kopi.
Menurut Zabalkat, Labudah menyimpan hidup yang kesepian, meski ia senantiasa berada di tempat ramai bersama orang-orang penting. Kesepian yang diderita bagai kisah “Orang-orang Bloomington”nya Budi Darma. Orang-orang yang diam-diam memendam sakit jiwa. Tapi bukan orang gila. Manusia terhormat yang menyimpan dendam yang tak mudah dipadamkan waktu. Manusia terhormat yang cabul di tempat sepi, yang diam-diam matanya melirik penuh nafsu pada paha atau belahan dada perempuan segar di tempat ramai. Mereka yang berbicara sopan, memakai baju rapi, pejabat pusat atau wilayah, membutuhkan penceramah agama, di sudut diam-diam yang dimaklumi meminta anggur dan perempuan bertarif.
“Apa yang harus engkau sesalkan?” tanya Zabalkat. “Semua adalah kenyataan dunia sejak zaman purba!” lanjut Zabalkat, “kenyataan yang akan selalu ada,” pungkasnya.
Di dalam tempat yang sepi, Labudah merasakan patah hati, kekasihnya meninggalkan Labudah. Dendam mendidih dalam dadanya. Tapi tak berdaya ditelan kenangan. Labudah menangis. Tak ada orang tahu. Zabalkat memergoki Labudah menangis saat memandang foto mantan kekasihnya di tempat sepi. Zabalkat tak menjelaskan dengan detil di mana tempat itu.
Kesepian Labudah itu, membuatnya memelihara banyak gundik. Ia gampang marah, reaktif. Tapi gampang reda lantaran terpengaruh keadaan. Kedua matanya selalu sibuk membalas pesan pada layar sentuh di tangannya. Orang tak dapat berbicara secara utuh dengan Labudah. Manusia layar, yang selalu ikut tertawa ketika melihat video lucu, atau mengerutkan dahi, marah, benci, dan entah apa lagi tergantung adegan pada layar yang menyala-nyala di tangannya.
Labudah pernah mengaku sebagai keturunan orang suci. Orang-orang menghormatinya. Tapi Labudah selalu membuang-buang waktu. Dia tak pernah benar-benar bersedia mengulurkan tangan, lantaran bagi Labudah hidup hanyalah penebusan. Ia akan melakukan kengawuran, lalu menebusnya dengan sedekah. Semakin banyak sedekah yang dikeluarkan Labudah, pertanda semakin banyak kengawuran yang telah dilakukannya. Ia tak ingin dihantui rasa bersalah.
Menurut Zabalkat, Labudah yang memunculkan isu SARA dan mengabarkan kewaspadaan pada akan munculnya partai terlarang yang akan dimunculkan anak-cucu eks partai terlarang tersebut. Itu semua demi agar orang-orang ketakutan, lalu mendukung eks kaum bersenjata memimpin negara.
“Ketakutan-ketakutan dan kewaspadaan harus ditebarkan, agar orang-orang mencari perlindungan. Supaya sosok eks kaum bersenjata mendapatkan dukungan kuat dari orang-orang ketakutan,” ujar Zabalkat menirukan ucapan Labudah.
“Berapa bayaran yang Labudah dapatkan dari tugas sontoloyonya itu guna menimbulkan ketakutan pada genderuwo?” tanya saya.
“Aku tak tahu. Pastinya banyak. Dan Labudah selalu bekerjasama dengan orang-orang pusat!”
Saya tertawa. Zabalkat tertawa. Kami sama-sama tertawa.
“Orang-orang yang menjadi pusatnya perkara!”
“Kepalanya yang botak selalu minta perempuan!”
Kami tertawa panjang. Keras. Dan di luar, hujan deras.
Kesepian di dada Labudah bagai dibedah di meja ruang tamu rumah Zabalkat. Kesepian yang tolol dan mengerikan. Dunia terus asik dengan layar sentuh melulu. Orang-orang berlalu.
Zabalkat orang biasa. Bukan orang penting. Tapi, ia mengikuti kehidupan Labudah melalui koran dan tivi. Dia mengetahui bekas goresan di bawah bibir Labudah. Sebagaimana Hans Hariyanto, Zabalkat pernah berhubungan dengan Labudah.
Labudah telah merubah hidupnya. Dia sukses di dunia politik dengan menggunakan isu-isu agama. Labudah punya istri, anak. Tapi dia memelihara gundik-gundik. Baik Zabalkat maupun Hans Hariyanto, tak dapat menghitung pasti berapa perempuan yang telah menjadi gundik-gundik Labudah. Rata-rata, para gundik Labudah adalah perempuan-perempuan muda. Bahkan ada yang masih berusia belasan tahun, yang bulu alisnya masih sangat tipis dan halus.
Pada suatu malam, Hans Hariyanto bertemu Zabalkat. Saya mendapatkan banyak informasi perihal Labudah dari kedua orang ini.
“Apa kabar Labudah sekarang, Hans?” tanya Zabalkat.
“Sejak dia jadi ahli strategi seorang calon pemimpin dari kalangan kaum bersenjata, saya tak lagi bertemu langsung dengan Labudah. Tapi saya sering berkomunikasi dengan sopirnya. Dia memberi info ke mana saja Labudah pergi,” jawab Hans Hariyanto sembari mengepulkan rokok filter.
Saya menyimak. Perbincangan berlangsung di ruang tamu rumah Zabalkat. Ada asap rokok dan tiga gelas kopi. Pertemuan itu seperti sebuah adegan dalam film G 30 S. Tetapi Zabalkat tak menyamakan Labudah seperti salah satu tokoh dalam film tersebut. Zabalkat menduga, Labudah terjangkit gangguan jiwa seperti dialami Jack dalam film “The Shinning” karya Stanley Kubrick. Jack yang dicekam kesepian, mengetik kalimat berulang-ulang hingga ribuan lembar pada mesin ketiknya. Dengan riang gembira, Jack berusaha membunuh istri dan putrinya sendiri. Hotel mewah yang memenjara, mencekam Jack dengan kesepian dan putus asa. Delusif.
Labudah pun. Tapi ia tak hendak membunuh siapa pun. Ia menciptakan hantu SARA dan hantu komunis, hantu kafir dan kesesatan. Untuk menegakkan dirinya, ia harus memunculkan musuh bersama.
“Seorang yang karib dengan peperangan, akan tak punya arti jika berada di sebuah keadaan yang aman dan damai. Musuh harus diciptakan guna menata keadaan. Kewaspadaan dan kecurigaan harus diselenggarakan dengan biaya berapa pun, dan dengan cara apa pun. Kebencian dan ujaran-ujaran permusuhan harus ditebarkan. Semua agar tercipta musuh bersama, agar tegak citra politik dari eks kaum bersenjata. Itu strategi Labudah,” ujar Zabalkat mengurai.
“Apakah kau masih mengetahui hubungan Labudah dengan janda muda dari seorang mantan jendral yang uzur?” tanya Hans Hariyanto.
“Terakhir aku tahu, Labudah bertengkar dengan janda muda seorang mantan jendral uzur itu. Tapi bukan itu yang membuat Labudah murung. Ia tak bisa melupakan mantan kekasihnya.”
Perbincangan antara Zabalkat dan Hans Hariyanto berlangsung di antara bunyi hujan. Saya dapat mendengar seksama. Di samping dekat dengan penguasa, menurut Hans, Labudah juga dekat dengan pengusaha tambang emas di Tumpangpitu. Tidak mengherankan jika gundik-gundik Labudah memakai perhiasan emas yang berbobot, indah, dan menghina kemiskinan. Bahkan kalung di leher kucing milik Labudah pun emas. Emas yang ditambang dari Tumpangpitu.
Zabalkat pun memberikan keterangan perihal bisnis yang dijalankan Labudah. Labudah menarik sedekah. Siapa yang bersedekah pada Labudah, dijanjikan akan mendapatkan rezeki berlipat ganda. Ia menggunakan ayat-ayat suci untuk membenarkan dan memperlancar bisnisnya tersebut. Hans Hariyanto membenarkan. Labudah gemar menghadiri pertemuan-pertemuan mewah di hotel, dikelilingi perempuan-perempuan muda dengan dada dan paha separuh terbuka. Menenggak anggur sambil sebentar-sebentar menyebutkan nama Tuhan.
Konon Zabalkat pernah memergoki Labudah sedang melamun di teras rumahnya yang mewah. Halaman rumah Labudah luas, rindang, rerumputan, dan kuda piaraan yang milyaran rupiah harganya. Barangkali dalam lamunan Labudah, begitu dugaan Zabalkat, masa lalu bermain-main di sana. Masa ketika ia bergumul dengan perempuan pujaannya di sebuah kamar yang remang. Masa berkasih-kasihan mesra, ketika hujan, dan bunga-bunga jambu air merontokkan bulu-bulunya yang halus di halaman rumah. Masa ketika tak mudah bicara. Orang bicara akan dituduh makar. Orang terdidik yang tak bisa diatur akan menghilang tanpa jejak, bagai raib di udara.
Tapi menurut Hans, Labudah seringkali mengeluhkan moral generasi muda. Sambil menampar bokong gundiknya yang kenyal, Labudah berkhotbah soal moral pada para jongosnya.
“Apakah menurutmu moralitas hari ini perlu kita cemaskan sebagaimana kecemasan Labudah, Hans?” tanya saya.
“Entahlah,” jawab Hans menghempaskan asap rokok.
“Oh moral! Tidak, Saudara. Moral tak perlu dicemaskan. Tak penting dibicarakan. Para moralis hanya pandai bersandiwara. Mereka adalah “pengkhianat cinta bertopengkan dewa, sungguh pengecut kau bersandiwara”, kata lagu dangdut!” ujar Zabalkat tertawa.
“Bicara berapa uang yang kau punya, jauh lebih penting daripada bicara moral. Para moralis berkepala botak tak lebih menguntungkan dunia daripada segelas kopi,” pungkas Zabalkat.
Tertawa. Hujan makin deras. Dan semakin deras saja.
Siti Inggil, 2018
*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab IBlis” (PSBB, 2018), “Agama Para bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.