Kata Sastrawan Jamal T Suryanata, buku puisi: “kuberi kau nama: tuan. bukan fulan” adalah buku dengan beragam percobaan ekspresi estetis dari penyairnya. Ini merupakan upaya memberikan sentuhan baru dalam kovensional perpuisian Indonesia.
Buku ini punya tema yang kuat dan unik. Sebuah cerita dari seorang tokoh “si tuan” dengan tokoh figurannya “si fulan”. Keunikan lainnya adalah puisi ini seperti sambung menyambung antara puisi satu dan lainnya. Seperti sebuah cerbung, tetapi ia tetap bisa berdiri sendiri tanpa bantuan puisi yang lain. Memuat perjalanan hidup si Tuan dari hidup, mati, dan akhirat. Beberapa puisi dibuat layaknya konsep kupu-kupu, dengan dua bentangan sayap kiri dan kanan, maka ada dua belah puisi a dan b yang saling bertautan.
Alhamdulillah buku ini sedang dicetak ulang. Ada sedikit perubahan dibandingkan cetakan pertama, salah satunya tambahan satu puisi. Kemudian, perubahan warna sampul yang menjadi lebih sederhana dan polos. Buku ini dicetak terbatas. Bagi yang berminat silakan PO.
***
Berikut testimoni dari beberapa penyair, sastrawan, dan beberapa sahabat:
1/
membaca dan meresapi sajak-sajak Indra Intisa membuncahkan akal pikiran dan menggelegakkan hati-nurani dalam memaknai hidup dan kehidupan yang segar nan indah.
Indra Intisa termasuk “menjulang” di antara leretan penyair yang bukan hanya pandai dan mahir menulis puisi—sebagaimana pada dasarnya banyak orang bisa menulis puisi—-tetapi mampu membentuk dan mengemas puisi-puisinya sehingga berciri khas, unik dan kentara kebaruannya di dalam perentangan perpuisian Indonesia. Bahasa ucap puisi-puisi Indra Intisa orisinil, segar, dan kaya sehingga menggoda dan mempesona-lena bagi sesiapa membacanya.
kuberi kau nama:
tuan. bukan fulan, mesti singgah di qalbu.
Tabik kepada sesiapa. Tahniah. Syabas untuk Sang Penyair Indra Intisa. (Abdul Kadir Ibrahim, Sastrawan).
2/
Di buku kuberi kau nama: tuan. bukan fulan ini, kau akan mendapati beragam percobaan ekspresi estetis penyairnya, Indra Intisa. Kau tahu, pada tataran bentuk strukturnya, paling tidak ini merupakan upaya memberikan sentuhan baru dalam konversionalitas perpuisian Indonesia. Namun, terlalu sederhana jika kautakan semua itu sekadar inovasi bentuk. Sebab, bagaimanapun, imajinasi dan pikiran adalah keniscayaan lain yang mesti hadir dalam sebuah puisi. Lalu, untuk menangguki kearifannya, kau pun mesti menyelam jauh hingga ke lubuk terdalam medan makna setiap diksi dan metafor yang didedahkannya.
(Jamal T. Suryanata, Sastrawan).
3/
Menelusuri sajak-sajak Indra Intisa—pertemanan Facebook yang tiba-tiba saja seperti menemukan teman bermain—maka tak heran jika menuruti jejak karyanya seperti melihat cermin yang memantulkan segala celah yang terkecuali juga panggung wajah. Tetapi membaca ‘khotbah’ 47 sajak ini, saya seperti disalib dan diarak menuju bukit untuk kemudian disejajarkan dengan sosok yang tersalib di kiri dan di kanan—entah mau disebut sebagai penjaga pintu surga maupun neraka. Refleksi yang menghunjam dalam seakan percakapan yang mengguncangkan iman saya dengan teriakan—inilah wajahku! Dengan guyuh kususuri masa lalu yang makin tidak terang karena rabun mata batin terserimpung rasa terlambat seperti tertera pada sajak Hari Persaksian:
Di hari itu mulutmu terkunci
Lidahmu mati berat bagai besi
Kau tak jawab apa-apa dari tanya
Kau sembunyi kisah-kisah kentara
Diam-diam tanganmu tumbuh
Kaki berjalan bawa tubuh
Telinga dan mata turut menabuh
Kisah-kisah yang mau kau basuh
Saya tak sanggup menatap halaman neraka yang mengikutinya.
(Cunong Nunuk Suraja, Penyuka Literasi, Pernah mengajar Intercultural Communication di FKIP—Universitas Ibn Khadun Bogor hingga 2016).
4/
Buku Indra Intisa ini bukan hanya puisi, tapi bentuk ‘safar rihlah’—perjalanan batin yang akan terjadi pada kita semua. Menegur dengan puisi dalam dongeng yang jenaka, saya larut. Dan terakhir saya sadar, “Saya objeknya”. Sebenarnya Indra Intisa ingin mengajak kita sadar pada ayat ini: “Maka apakah kamu mengira bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak dikembalikan kepada Kami?” Q.S Al Mu’minun: 115.
(Abdul Wafi Dhimyathi, Santri pengamat puisi).
5/
Membaca puisi-puisi Ompi Indra Intisa dalam kumpulan puisi kuberi kau nama: tuan. bukan fulan membuat kita seakan melakukan perjalanan, mulai dari perjalanan hidup hari ini, hingga hidup setelah mati: kehidupan kampong akhirat yang abadi. Puisi-puisi Ompi ini, secara implisit, mengandung pengingat, teguran, juga ancaman terhadap kehidupan umat manusia, secara umum. Ini dakwah yang molek sekali: menikam namun tidak menggurui. Tak banyak penyair yang siap menyusun rencana sistematis menulis puisi seperti ini. Dulu konsepsi ini dapat ditemui dalam hikayat-hikayat. Namun kini, ternyata ada dalam buku ini—yang tampil betul-betul kekinian dan aduhai.
(Norham Abdul Wahab, Penyair dan Cerpenis).
6/
Puisi di buku ini sudah berulang-ulang dibaca, dan saya tak bosan-bosan untuk menelaah dan mencari makna. Karena begitu dalam makna yang tersembunyi, ibaratkan menyelam ke dasar lautan. Ternyata semakin banyak harta karun di dalamnya. Ikan pun besar-besar. Kesimpulan saya, buku puisi kuberi kau nama: tuan. bukan fulan ini adalah buku yang sangat keren. Saya rekomendasikan kepada teman-teman. Ada banyak nasihat dan pencerahan di dalamnya.
(Abinya Umar Abdurrahman, Penyair).
7/
Bahwa hidup adalah kendaraan menuju alam yang kekal abadi bernama akhirat dan manusia dihadapkan pada pilihan baik-buruk. Demikianlah Indra Intisa teramat piawai mengemas diksi ke dalam puisi religi berantai seakan setiap bagian terhubung satu sama lainnya; buku yang berjudul kuberi kau nama: tuan. bukan fulan ini saya seolah dicekoki dengan tuak ilahiyah, dan alam dunia hanyalah kesementaraan hingga dapat kumafhum sebagai tarikan muhasabah yang semoga menjelma api membakar dada hingga dapat mengantar pembaca menjemput hikmah.
(Julia Asviana, Penikmat Puisi).
8/
Membaca sebuah buku kumpulan puisi Indra Intisa “kuberi kau nama: tuan. bukan fulan.” Membuat saya berani mengambil sebuah penilaian, Indra Intisa telah mencapai kemajuan sebagai seorang penulis, sebab indra telah lepas dari “penyakit penyair indonesia” yaitu: puisi sekedar sarana pelepasan, sarana pelampiasan pencarian identitas diri atau masih seputar si aku lirik. “The progres of an artist is continual self-sacrifice, a continual extinction of personality. Kemajuan sang seniman terdiri atas pengorbanan diri dan pemadaman kepribadian yang terus-menerus” (Eliot 1969: 17). Di buku ini, Indra Intisa membuat puisi yang temanya membuat saya ternganga: hidup dan kehidupan, kematian dan kehidupan setelah kematian. Mengungkap isi hati, perasaan, dan keterharuan, rasa sunyi, dalam bentuk puisi adalah kegiatan yang dianggap wajar, tapi jarang penulis puisi yang membukukan puisinya dan saat saya membacanya, berulang-ulang membacanya ada hal yang “menamper: mengendap dalam pikiran sang pembaca (terutama bagi saya)” puisi-puisi di buku ini berhasil melakukan hal itu. Dalam rangkain puisi-puisi ini saya temukan puisi rasa satire nan unik: saya sebagai pembaca merasa tersindir akan cara saya mengisi hidup dan kehidupan tapi anehnya saya mengangguk, mengiyakan apa yang ditulis Sang penulis puisi Indra Intisa. Tidak semua yang membaca puisi di buku ini akan setuju dengan kesaksian saya ini, tapi selaku pembaca, anda akan menemukan hal yang sama dengan saya yaitu: Indra Intisa berhasil menggali apa yang ada di jiwa manusia. TUAN dan FULAN: Satir yang unik.
(Mang NTèd Ted, Pemerhati Puisi).
9/
membaca puisi indra intisa “kuberi kau nama tuan” membangkitkan kesadaran saya, tentang bagaimana sikap saya tentang hidup, waktu, harta, keluarga dan juga kematian.
cukup ‘creepy’ ketika membaca beberapa baris dalam sebuah puisinya:
…
“Itu daging siapa, Bu?”
tanya anakmu.
“ini daging ayahmu,
cepat habiskan. Biar baunya
ikut melekat pada napasmu.”
—
(Patricia Pawestri, penikmat puisi).
***
Tentang Indra Intisa:
Penulis telah menerbitkan beberapa buku solo, seperti: Puisi Mbeling “Panggung Demokrasi” (2015), Puisi Lama—Syair, Gurindam, Pantun, Seloka, Karmina, Talibun, Mantra. “Nasihat Lebah” (2015), Puisi Imajis “Ketika Fajar” (2015), Putika (Puisi Tiga Kata) “Teori dan Konsep” (2015), Dialog Waktu (2016), Novel: “Dalam Dunia Sajak” (2016), Sang Pengintai (2017), Kumpulan Cerpen: “Sungai yang Dikencingi Emas” (2017), Kumpulan Esai Apresiasi Puisi (2018). Beberapa karyanya pernah terbit di berbagai media cetak, seperti: Media Indonesia, Riau Pos, Tanjung Pinangpos, Koran Padang, Lampung Post, Haluan, dan beberapa media online seperti Kawaca.com, Islampos, Floressastra, Sastra-Indonesia.com, dst.