DI PELABUHAN MENENG DAN TERMINAL KAPURAN
(Ayam Jantan, Cat minyak di kanvas, lukisan Ndix Endik)
Taufiq Wr. Hidayat *
Angin dari Selat Bali tiba juga pada tiang-tiang di Pelabuhan Meneng. Pelabuhan utama Jawa dan Bali di utara kota Banyuwangi itu, menyerbakkan aroma lautan ketika malam, pagi dan senja hari. Perusahaan penyeberangan yang dikelola orang-orang luar. Sedang perusahaan penyeberangan milik pemerintah setempat, bangkrut. Kau akan menemui “anak-anak logam” yang berkulit hitam kebiruan, menyelam memungut uang logam ke dasar lautan. Para penjual kacamata, dan mereka yang bepergian. Orang-orang asing datang dari Bali, kembali ke Bali, beli makan di tempat mewah, lalu menikmati gunung Ijen yang dipahat cor-coran. Sedang masyarakat masih saja bertani, berkebun, berdagang. Mereka tak ambil bagian dari industri. Hanya korban. Korban yang setiap saat dibawa-bawa namanya, disanjung-sanjung kesabarannya, diberi pelatihan supaya bisa bekerja, dan didatangkan “tukang ceramah” untuk mencekokkan agama pada ketakberdayaan, yang disebut-sebut sebagai kedaulatan dan yang mewakili suara Tuhan waktu pemilihan umum. Sejak kapan Tuhan bersuara melalui rakyat, dan apa bukti rakyat mendengar suara-Nya? Tanya seseorang dari balik kegelapan.
Nama Pelabuhan Tanjung Wangi yang disematkan negara, tak pernah dipakai masyarakat. Orang tetap menyebut pelabuhan itu Pelabuhan Ketapang atau Pelabuhan Meneng. Begitu juga terminal di utara pelabuhan. Orang menyebutnya Terminal Kapuran, tapi negara memberi nama Terminal Induk Sritanjung. Dari soal nama saja, negara selalu memaksa masyarakat. Sehingga jangan heran, bila lidah masyarakat tak patuh pada nama pemberian negara. Di situ, kau saksikan terminal yang bernafas seolah sekarat di antara bukit-bukit berkapur di barat. Pabrik semen. Dan udara yang tak bersahabat bagi paru-paru manusia. Bis-bis malam keluar-masuk pada lambung terminal yang selalu sepi. Dulu pada tahun 1990-an, terminal tersebut ramai. Angkutan antardesa dan kecamatan yang disebut “lin”, mengangkut penumpang sampai penuh. Bokong harus digeser sedikit demi sedikit, agar tempat duduk yang sempit cukup. Kernet seringkali keluar pintu mobil, karena mobil sesak hendak meledak. Anak-anak sekolah. Dan orang-orang yang akan berbelanja atau pulang dari kota. Terus ke arah utara dari Terminal Kapuran, kau akan bertemu Pantai Kampe. Di pantai itu, tersimpan bangunan dan alat perbaikan kapal yang terbengkalai. Kebutuhan dan harapan manusia, selalu dikalahkan politik. Dan hukum menjadi senjatanya yang ampuh.
Sebelum Terminal Kapuran, tepat depan pintu masuk pelabuhan Meneng sebelah utara, tumbuhlah warung tepi jalan yang memanjang. Orang menyebutnya Warung Panjang. Di warung yang memanjang itu, perempuan-perempuan penghibur setengah baya menanti tamu; sopir, laki-laki kesepian, dan entah siapa lagi. Perempuan-perempuan malam di sana rata-rata perantau, datang dari tempat jauh, mencari nafkah dengan mengadu tubuh dan nasibnya. Sekarang Warung Panjang yang kumuh dan legendaris telah diratakan petugas. Barangkali negara tidak ingin melihat kekumuhan dipamerkan di tepian jalan. Agar dunia tak jijik. Menolak pelacuran yang terang-terangan dan murah. Maka kemudian lahirlah hotel-hotel besar ke dunia, megah dan mewah. Prostitusi yang purba tak pernah bisa kau kira musnah hanya lantaran tempat praktik prostitusi dimusnahkan. Tapi tenang saja, masih ada warung cukup bersih, yang tatkala malam masih menyimpan perempuan-perempuan yang cukup muda dengan tubuh yang montok. Karaokean. Dangdutan. Dan bir. Di mana para penikmat malam dengan uang pas-pasan, dapat meraih surga semalam dengan harga terjangkau dan bersahabat. Malam selalu membawakan udara dingin dari lautan, seolah membisikkan harapan yang setiap saat melintas di antara hujan, yang secara samar bersijingkat di jalan kecil itu, dan yang seringkali kau ajak singgah demi sekadar air melepaskan dahaga. Kadangkala harapan yang melintas, kau biarkan saja berlalu. Kau biarkan saja ia tertatih melewati jalanan yang panjang, tanpa siapa-siapa, sendiri, tak ingin ada yang memahami dan mengerti, terus berjalan entah sampai kapan.
Kata orang entah siapa, kepedihan selalu mengajak manusia berlari. Ia akan lari ke harum parfum perempuan asing, lantaran rumahnya sesak kesibukan sehari-hari tanpa kemesraan yang bermakna, sementara kebutuhan sehari-hari kian hari kian melambung tinggi. Ketenteraman rumah tangga pun sering diukur dengan pencapaian materi. Apa boleh buat? Toh pada kenyataannya, mereka yang terhimpit akhirnya menemui kejatuhan, kebimbangan, dan hidup yang tak berhasil diberinya judul. Tapi siapa bilang mereka yang mapan tidak juga melarikan diri? Mereka pun melakukan pelarian diri secara membabibuta dari kenyataan, karena tak kebagian peran aktual atau diteror kebosanan hidup yang mencekam kepada moral dan agama. Sampai-sampai membuat agama dan moral tampil berwajah tolol dan kaku. Orang mencari sesuatu yang tak nyata untuk menyelesaikan perkara-perkara nyata yang pelik dan tak bisa dibereskan. Ada “hidup yang tergadai, pikiran yang dipabrikkan, dan masyarakat yang diternakkan,” kata WS. Rendra. Di tengah kenyataan yang menghanguskan hati, rutinitas yang seragam, doktrin-doktrin keyakinan yang membatu, kepastian teknologi yang harus, manusia menjadi robot yang pikirannya “dipabrikkan” dan hak hidupnya “diternakkan” kehendak-kehendak kekuasaan dan kebendaan di dalam atau di luar dirinya. Nyanyian kematian terhadap kemanusiaan dilantunkan dengan hikmat dan menyedihkan. Banyuwangi didatangi orang: Tumpangpitu digali emasnya, gunung dan hutan lindung diperkosa. Di sana, perkara Omnibus Law yang mencemaskan, Revitalisasi TIM entah buat siapa, RUU Ketahanan Keluarga, sepakbola yang menyimpan api dan selalu kisruh, Pancasila yang dipertegangkan dengan Agama. Di situ pula, orang melihat banjir yang tak masuk akal, tanah longsor yang mengubur siapa saja. Corona jadi ketakutan juga guyonan. Para mantan ISIS yang ingin pulang, berita dan informasi penculikan anak yang meresahkan. Ada berita yang salah atau kenyataan yang keliru? Ataukah peristiwa yang tak sempat dicerna dalam kesadaran hukum dan kemanusiaan?
Di antara segalanya, ada yang memang terasa hilang. Dalam kegelisahan yang kelam, WS. Rendra mencemaskan tanya dalam sajaknya “Doa di Jakarta”. Ia galau. “Ketika air mata menjadi gombal,” katanya. Sedangkan semua komunikasi dan informasi cuma rangkaian “kata-kata menjadi lumpur becek” belaka. Ia menoleh ke semua arah, kemudian bertanya dalam cemas yang menggemas: ”di manakah kamu?” ujarnya. “Di manakah tabungan keramik untuk uang logam? Di manakah catatan belanja harian? Di manakah peradaban?”
Barangkali kecemasan Rendra mencekam sampai jendela, tatkala ia berada di ibukota. Ia tak menulis sajaknya di Meneng dan Kapuran, nama pelabuhan dan terminal di ujung timur pulau Jawa. Namun kecemasan dan gelisah yang sama, tentu bertemu. Keadaan yang tak berbeda. Kepedihan yang serupa. Yang dibeli negara, yang terbengkalai pula pada akhirnya. Kesia-siaan yang tak dapat didaur ulang menjadi kemungkinan.
Siapa yang mau pulang dalam kesepian? Siapa yang mabuk di antara lampu-lampu, perempuan-perempuan malam dengan segenggam harapan di balik celana dalamnya? Di stasiun Ketapang, sebelum pintu, jalan berbatu. Sejumlah warung. Orang-orang datang dan pergi. Ia menyimpan wajahmu di situ. Orang-orang ramai, dan negara mendirikan bangunan dari telur ular. Setiap kemegahan pasti meminta tumbal, menyelenggarakan penghisapan. Memang demikiankah hukum sejarah? Ada yang tenggelam di Selat Bali yang mengamuk, ada yang pergi ke stasiun Ketapang, ada yang menanti di bawah atap darurat, ada yang tertawa menikmati minuman, ada yang mengebor gunung, ada yang berpesta pora, ada yang terluka. Di sana, di tepi pelabuhan, rumah-rumah malam dihuni perempuan malam, tanpa nama tanpa harapan. Mereka tak membutuhkan identitas, bahkan ingin mengubur identitasnya di antara sampah yang mengalir pelan di sungai yang menuju muara. Kadangkala kau mencari sepi di sana, mencoba menemukan mimpi anak-anak yang bersih tawanya. Dan kau akan menemukan sepi mengambang bagai bangkai anjing berperut gembung. Ada yang bergembira, ada yang berduka. Tapi tetap saja: di manakah kini kamu berada? “Ada yang jaya, ada yang terhina,” kata Rendra. Kemudian tepat di jantung kenyataan dan peristiwa, ia bertanya gelisah: “dan saudara berdiri di pihak yang mana?” ujarnya. Sedang di segenap wilayah Banyuwangi, festival ramai sekali. Persoalan hidup semakin tak mudah untuk dikenali, cukup berikan pesta pada derita dan ketimpangan, maka semua akan tampak baik-baik saja, ujar Julius Caesar dengan wajah yang pongah.
Barangkali dengan menghikmati pedih dan komedi, akan membawa manusia kembali kepada sunyi guna melihat dirinya sendiri. Sahdan setiap manusia, sejatinya dari sunyi. Ia akan merindukan sunyi kembali. Ada yang menyadarinya, lalu pulang dalam sunyi. Tapi ada pula yang tak menyadari, sampai jiwa-raganya dihancurkan keramaian dan meladeni segala keinginan kekuasaan. Konon menurut cerita lama—orang boleh menyebutnya dongeng atau agama, di dalam kesunyian, terdapatlah sang aku. Karena sesungguhnya sang aku, katanya. Tak pernah beranjak sejengkal pun dari sunyi yang asing dan tersembunyi. Kemudian singgahlah malam dan hujan pada atap-atap bulan Pebruari di Pelabuhan Meneng dan Terminal Kapuran yang tampak tua, lelah, tapi terus ingin tetap remaja. Ia yang di pedalaman sunyi itu, berkata-kata tanpa bersuara, dan merangkai nyanyi tanpa bunyi.
Ketapang, Banyuwangi, 2020
*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab IBlis” (PSBB, 2018), “Agama Para bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.