Di wilayah Banyuwangi utara itu, lombok jadi andalan. Wilayahnya luas. Memanjang dan melebar. Berbatasan hutan Baluran. Bagian barat desa, tanah-tanah berbukit yang kering dan tandus. Di situ lombok ditanam, disiram air dari sumur bor.
Hiduplah di pasar itu, orang-orang Madura, Jawa, Arab, dan China. Toko kelontong orang Arab, Tuan Kadir, berjajar dengan rumah dan toko jamu orang China, orang menyebut Lie Chuk. Ada juga toko lama Haji Usman. Ada toko Ming Lieng, Chie Ho, dan Chow-an Chieng. Entah apa arti nama. Beda etnis yang beda agama, hidup rukun. Walau di antara keduanya kadang saling mengolok-olok iseng, usil, dan berjarak. Telah bergenerasi. Pelan-pelan menjadi bangunan lama, orang-orang lama, dan cerita lama.
Pada pertengahan tahun 1980-an, perdagangan orang-orang Madura, Jawa, dan Tionghoa ramai di pasar Wongsorejo. Toko orang Tionghoa menjual alat-alat pancing, benang layangan, beras, minyak, jagung. Bangunan tua dengan pemilik toko yang tua, cat tembok memudar, dan pagar besi yang kuno. Sebuah masjid agung. Sungai dari hutang Sodung, mengalir di bawah jembatan. Terus ke selatan, terbentang lagi jembatan yang menikung tajam. Jembatan itu disebut Keramasan. Jembatan yang sering memakan korban kecelakaan lantaran medannya menikung amat tajam. Sekarang ditutup. Pemerintah membangun jembatan lurus. Ada pula jurang yang memanjang, tepat di bawah jalan menurun tajam sebelum masjid Wongsorejo dari arah utara. Di situ banyak terdapat jembatan. Panas matahari meminta alat untuk mengalirkan air.
Di pasar yang ramai tiap Sabtu, dulu sering tampil tukang obat jalanan dengan segala sulapnya. Bila malam, warung kopi Cak Man yang legendaris berdenyut hingga pagi. Di barat sana, hutan kapuk, jati, dan pohon-pohon lombok. Di timur sana, sawah, sungai-sungai yang curam, jalan-jalan kecil yang berkelok-kelok, dan laut yang menyimpan ikan. Surau tua sebelum sungai, di antara kebun jeruk Mbah Lan. Anak-anak berlari jauh. Gadis-gadis desa yang cantik, daunan jagung, pohon-pohon mangga, dan cinta yang pertama. Segala peristiwa berlalu jauh dalam ingatanku. Diam-diam ada yang berubah. Apa yang tak berubah? Tapi manusia masih saja.
Dalam hidup sehari-hari, selalu ada gagasan bening perihal yang tak melulu harus. Ketidakpastian. Kepastian. Keraguan. Kemantapan. Terlalu banyak peristiwa yang tak semua dapat diuraikan. Tanpa kepastian, barangkali hidup mustahil dijalani. Tetapi dengan keserbapastian, hidup pun kering, tersesat, jumawah. “Mudhar diri,” kata orang Jawa. Namun dengan keserba-tak-pastian, hidup hanya menyerah, lemah tak berdaya.
Di pasar yang berdiri di tepi jalan lintas propinsi itu, kedatangan dan kepergian tak ada kesempatan dikenangkan. Ruang dan peristiwa mengalir saja dalam waktu, bagai banjir di musim penghujan. Menara tua masjid agung. Radio amatiran. Dangdutan. Lapak-lapak pedagang. Toko-toko orang China, Arab, dan bengkel sepeda. Pada 1990-an, malam dari pasar tua itu membawa aroma kopi, lapak rokok Tuan Marhayu, dan Topi Miring (merek lama minuman beralkohol). Bayangan lenyap dalam perbincangan yang tiada habisnya. Di wilayah Banyuwangi utara itu, banyak petani dan pengrajin bonsai. Lantaran bukit-bukit dan jurang-jurang kering itu menyediakan pohon-pohon serut yang kerdil. Baik lombok, bonsai, beras, ternak sapi, dan pasar tak pernah tersentuh kekuasaan. Orang-orang hidup tanpa bantuan negara. Dari dulu, negara tak mesti hadir sebagai kawan baik dalam kehidupan orang banyak, dan dalam waktu yang tepat. Hanya kaum pendusta yang tiba, membawa cerita-cerita surga di penjelang pemungutan suara.
Tapi di pasar tua itu, hidup tak melulu. Anak-anak tumbuh remaja. Dewasa. Berkeluarga. Selalu kembali ke warung jalanan. Seolah jalan dan pasar tua adalah rumah, tempat pulang dari kembara sehari-hari. Malam di pasar Wongsorejo, apa pun bercampuran, asing, pekat, kemiskinan, ketimpangan yang tak terselesaikan, agama yang tak punya jalan keluar, negara dan agamawan menghantu dengan metafisika kekuasaannya yang kukuh mencengkeram, seakan suara-suara malam dalam karya I. L. Peretz dalam tafsir-drama Alexis Gronovsky, di-Inggriskan Joseph Gordon, pada terjemah Indonesia Dwi Pranoto dari “Night in The Old Market”. Sahdan tatkala malam turun di sebuah pasar tua, suara-suara malam terdengar:
SEBERKAS SUARA DARI ATAS
Manusia baru, pahlawan, bangkit
Menjelangkan Tuhan dan dunia
Menjelangkan penjara dan belenggu
Aku dengarnya di kejauhan.
PENJAGA MALAM
Malam, pengembara!
SUARA
Malam, pemadam!
BADKHN
Padamkan sisa lampu-lampu dengan saputangannya.
BADKHN
Malam!
Akan kupadamkan semua cahaya di rumah-rumah
Biar jadi gelap seperti dalam kubur!
Senyap seperti kubur
Senyap, sunyi, sunyi
Senyap seperti kubur!
SUARA-SUARA MALAM
Tidurlah, pasar dan kota.
Demimu. Tuhan akan menolong.
Penjaga,
Lindungi pasar!
PENJAGA MALAM
Aku siap!
(Dwi Pranoto, lepasparagraf.blogspot.com, 17 Februari 2011)
Namun pasar tua di Banyuwangi utara itu terus berdenyut. Segala peristiwa hanyut. Yang datang, yang pergi, yang tak kembali. Lombok dipanen di musim panas yang panjang. Barang-barang dijelang ketika petang. Ada suara burung. Jembatan-jembatan yang menghelai di atas jurang panjang, dan senjakala yang ramai. Orang-orang bergantian, pembicaraan panjang yang tak kunjung usai, orang-orang kaya yang haus pujian, para penjilat, juga penjahat. Tapi surau-surau kecil, masih memelihara anak-anak kecil dalam dekapan petang, mengajari cara memasuki sunyi tanpa bunyi. Mengurai ayat-ayat Tuhan tanpa pengeras suara. Sebelum waktu merampas usia, dan zaman menelan manusia dalam lambung dunia yang kelaparan, pikiran dicetak, dan masyarakat dijadikan robot. Meski langitmu masih biru melulu.
Wongsorejo, 2020
Keterangan gambar: “Padepokan di Atas Angin”
Foto oleh: Yat.
*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab IBlis” (PSBB, 2018), “Agama Para bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.