MELIHAT DUNIA DENGAN CARA BERBEDA

Ahmad Yulden Erwin

Selepas pertengkaran dan kepergian Paul Gauguin, sahabat sekaligus “guru” yang dikagumi oleh Vincent van Gogh, dari “rumah kuning”–rumah yang dimaksudkan Vincent sebagai rumah bagi komunitas para pelukis masa itu–pelukis Belanda yang seumur hidupnya hanya mampu menjual satu lukisannya itu mulai dianggap gila oleh masyarakat di Kota Arles. Kabar yang santer beredar di Kota Arles bahwa Vincent telah gila dan memotong sendiri sebelah daun telinganya. Para tokoh di Kota Arles khawatir Vincent akan menyerang warga baik-baik secara tiba-tiba akibat kegilaannya, hingga mereka sepakat untuk memasukkan Vincent ke rumah sakit jiwa. Namun, sesungguhnya ia tidak gila, hanya pada saat menjelang serangan apilepsi, emosinya menjadi sangat tidak stabil dan ia cenderung meledak-ledak.

Saat di rawat di rumah sakit jiwa, ia masih diperkenankan melukis. Ini saja menunjukkan bahwa ia memang tidak gila. Sebaliknya, saat di rumah sakit jiwa itulah ia justru menghasilkan lukisan-lukisan “ajaib” dan menemukan gaya lukisnya sendiri. Ia mulai menyadari kebenaran dari pendapat Gauguin soal warna: “Substansi seni lukis adalah warna. Namun, warna-warna itu tidak sekadar meniru warna yang ada di alam, tetapi mesti meletus dari kedalaman hatimu, dari gerak emosimu, dari keheningan batinmu.” Begitulah, Vincent van Gogh kemudian mulai membebaskan dirinya dari rantai “konvensi warna” standar seni lukis neoklasikisme dan impresionisme pada zamannya. Ia membebaskan dirinya untuk mengikuti gerak hatinya sendiri. “Kepala harus diletakkan di pergelangan tangan,” katanya, di dalam satu surat kepada adik kandungnya di Paris, Theo. Sapuan dengan teknik impastonya mengalir suturut gerak hatinya. Ia memberi warna hijau pada tanah, warna merah pada batang pohon, warna biru tua pada langit malam, warna biru laut pada gunung, dst. Sapuan kuas “stakato”-nya mulai mengalir bagai gelombang, tak lagi sekadar vertikal atau horisontal, tetapi juga diagonal maupun lengkungan yang dinamis.

Perahan-lahan Vincent van Gogh mulai menyadari bahwa alam tak pernah terpisah sedetik pun dari dirinya. Alam adalah gerak batinnya sendiri. Warna-warna yang ada di alam adalah warna hatinya sendiri. Batas hanyalah soal persepsi. Tak ada dualisme antara dunia di luar dan di dalam batin manusia. Tak ada representasi dan nonrepresentasi, yang ada hanyalah presensi dari saat kini ke saat kini. Dengan kesadaran baru ini, Vincent van Gogh terus melukis dan melukis. Ia melihat dunia dengan cara yang sama sekali berbeda, bukan sebuah dunia yang mati, tetapi sebuah dunia yang hidup, berdenyut, bergelora, dan penuh warna. Dalam waktu sekira 12 bulan antara pertengahan tahun 1889 hingga pertengahan 1890, sebelum Vincent mengakhiri hidupnya dengan menembak lambungnya sendiri, ia telah melahirkan 200 lebih lukisan “ajaib” yang kelak menjadi landasan dan inspirasi tak kunjung habis bagi seni lukis modern maupun kontemporer dunia.

Vincent van Gogh memang jenius “gila”. Ia mengorbankan dirinya untuk menghadirkan keindahan tanpa batas ke hadapan kita. Dan kini, di tengah sunyi begini, serasa-rasa belaian halus di dalam telinga, ia seakan berkata: “Bangun. Lihatlah dunia dengan cara berbeda…”

@Maret 2015

*) Ahmad Yulden Erwin lahir di Bandarlampung, 15 Juli 1972. Ia telah menerbitkan kumpulan puisi “Perawi Tanpa Rumah” (2013), “Sabda Ruang” (2015), “Hara Semua Kata” (2018) “Perawi Tanpa Rumah (Edisi revisi, 2018), “Perawi Rempah” (5 besar Kusala Sastra Khatulistiwa 2018).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *