Dhoni Zustiyantoro
Suara Merdeka, 28 Sep 2014
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta memunculkan wacana bahwa novel dapat menggantikan skripsi. Gagasan tersebut dinilai dapat menjadi sarana mendorong kemunculan banyak sastrawan muda berkelas. Hal itu sekaligus menjawab kegelisahan akan minimnya sastrawan sekelas Rendra, Umar Kayam, atau Sapardi Djoko Damono (Koran Tempo, 8 Agustus 2014).
Gagasan itu menarik untuk diperbincangkan dan sudah sepatutnya disambut baik oleh pengajar dam akademisi, tentu yang memiliki program studi maupun fakultas sastra. Betapa tidak, selama ini motivasi untuk menulis fiksi masih minim, bahkan di kalangan mahasiswa dan pengajar sastra di perguruan tinggi. Di kampus, produktivitas kepenulisan kreatif masih menjadi hal mewah. Meskipun terdapat mata kuliah kepenulisan kreatif, namun tuntutan itu seakan berhenti pada tugas. Mahasiswa sastra belum mampu memproduksi sastra, baik dari sisi kuantitas maupun kualitasnya.
Tentu kita tak bisa sepenuhnya menyalahkan perguruan tinggi. Karena telah semenjak lama para penyair yang ambil bagian dalam jagat kesusastraan baik dalam tataran nasional maupun daerah justru tak lahir dari rahim pawiyatan itu. Berharap para lulusan dan, mungkin pengajar di dalamnya, untuk berada pada jalur estetis-kepengarangan ibarat jauh kendang dari penari. Karena mereka dengan mudah bisa berkilah, ”tugas kami mengamati, menelaah, meneliti, mengkritik, bukan menjadi sastrawan…”
Belum Bersambut
Menggantikan skripsi dengan novel maupun karya sastra lain tentu bukan hal yang mustahil. Namun pada kenyataannya, gagasan yang sebenarnya telah lama dan berulang-ulang terlontar ini belum juga disambut baik oleh perguruan tinggi. Alih-alih memberi perhatian, banyak pengajar terjebak pada penelitian sastra yang terbatas pada proyek yang menghasilkan profit. Mereka hanya melakukan telaah secara kondisional: mengkaji sastra jika ada proyek dan pengabdian, mendekati tenggat penerbitan jurnal, atau dikirim untuk ikut diterbitkan dalam seminar sastra.
Sama halnya dengan skripsi mahasiswa, yang digadang-gadang banyak memberi telaah terhadap karya, hanya memenuhi rak perpustakaan. Semenjak selesai diujikan skripsi itu nyaris hanya dibaca oleh penulis, pembimbing, dan penguji. Maka, boleh dikata, keberpengaruhan ”sastra” dari perguruan tinggi hampir bisa dikata gagal dan tak mampu memberi daya hidup terhadap kehidupan sastra itu sendiri. Lantas, patutkah kita berharap dari tempat tersebut sastra bakal tumbuh subur, dengan melegalkan novel sebagai pengganti skripsi?
Tak sulit merealisasikan gagasan besar di atas. Hal yang sama, tentang skripsi yang dapat digantikan dengan karya, jauh-jauh hari telah dilakukan oleh banyak jurusan seni, seperti seni rupa yang meliputi lukis, kriya, patung, hingga desain, termasuk juga seni musik dan tari. Mahasiswa dari pelbagai jurusan tersebut diperbolehkan membuat tugas akhir berwujud karya. Lantas, mengapa sastra belum mampu, untuk menyebut tak berani, melakukan hal serupa?
Tentu dibutuhkan standar agar sebuah ”produk” dianggap mampu mewakili mahasiswa layak dan patut lulus, termasuk melalui pembimbingan dan pengujian oleh sejumlah ahli. Dan, skripsi-lah yang dianggap sebagai produk akhir yang memenuhi standar tersebut. Orientasi kekaryaan, dalam hal ini novel, belum dianggap produk intelektual yang mampu berdaya saing seperti halnya produk seni lain. Novel selalu saja berada pada diskursif cerita rekaan, yang seakan tak layak untuk mengantar kelulusan mahasiswa sebagai kaum intelektual.
Elitisitas skripsi tentu dapat dilihat dari sejumlah teori yang digunakan untuk melakukan kajian. Berada pada ranah ilmiah, ada hal-hal yang dapat dinilai secara jelas, baik dari segi nalar ilmiah, pemilihan dan pengoperasian teori sehingga bermuara pada hasil. Kesemua itu lantas dipertanggunjawabkan pada uji skripsi. Dalam arti, ada kejelasan standar dan mutu yang telah lama dilakukan sehingga muncul. Namun bukan hal yang tidak mungkin menjalankan gagasan di awal.
Libatkan Pengarang
Secara teknis, pembimbingan dalam proses penciptaan novel pun bisa melibatkan pengarang yang dianggap mumpuni, tentu dengan tetap melibatkan campur tangan pihak universitas. Pengajar pun harus bersikap terbuka terhadap pengarang. Hal itu karena, diakui atau tidak, perguruan tinggi justru acap berjarak dengan pengarang. Bukan tidak mungkin peleburan antara pengarang dan pengkaji bisa jadi menimbulkan friksi antara ”yang idealis” dan ”yang akademis”.
Uji ahli pun diperlukan untuk mengukuhkan novel benar-benar layak sebagai sebuah tugas akhir. Dalam tahap ini, selain diperlukan lagi pengarang lain di luar pembimbing, juga dibutuhkan pembaca sastra. Hal itu diperlukan, selain agar novel memiliki standar estetis tertentu, juga sekaligus menepis anggapan bahwa novel hanya sekadar karya rekaan yang bisa dibuat dengan ngawur.
Satu hal paling penting dari gagasan besar tersebut adalah memfasilitasi mahasiswa agar mampu membuat novel yang bisa memberi kontribusi. Itu jika kita ingat bahwa novel pengganti skripsi telah melalui tahapan pembimbingan intensif dan uji ahli juga pembaca sastra. Idealisme pengarang pun jangan ditenggelamkan oleh kekangan para pembimbing. Karena bagaimanapun, dalam proses penciptaan, pengarang selalu ingin mendobrak konvensi atau yang telah lebih dulu disajikan pengarang lain. Pembimbingan bisa lebih diarahkan pada proses kreatif dan pendalaman karakter dan cerita.
Setelah berwujud novel, tugas berikutnya tentu menerbitkannya supaya bisa semakin banyak dikonsumsi khalayak. Mahasiswa tentu berharap karyanya dilirik penerbit besar sehingga dapat menasional, terlebih jika novel yang ia buat memenuhi standar tertentu, apalagi jika pengarang yang terlibat tersohor. Namun tentu tak mudah mencapai tataran tersebut. Cara yang kemudian acap ditempuh adalah menerbitkannya secara self publishing, menerbitkan sendiri.
Sebagai gambaran, jika ditebitkan secara mandiri, sebuah buku dengan ketebalan 150 halaman membutuhkan dana sekitar Rp 800 ribu. Jika menghendaki untuk dicetak lebih, pengarang tinggal mengganti biaya cetak per buku dengan biaya tak lebih dari Rp 30 ribu. Distribusi karya, yang secara langsung berkait dengan pendapatan pengarang, dapat dilakukan secara gerilya. Bisa melalui sentra kebudayaan, diskusi, sarasehan, hingga menitipkannya kepada dosen supaya menjadi salah satu referensi mengajar di kampus.
Biar terus-menerus mendapat perhatian, novel juga harus diperbincangkan dan berada pada ranah kritik dan pengkajian sastra. Dalam hal ini, harus ada peran sinergis dengan para akademisi dan kritikus sastra untuk mendorong kualitas novel pengganti skripsi.
Ya, boleh jadi ketakutan sering terlampau lebih besar dari apa yang bakal terjadi. Terlebih, tak banyak yang berani mengkritisi atau mengubah aturan yang selama ini tercantum dalam sistem pendidikan tinggi.
Sepertinya novel harus menempuh jalan lebih panjang untuk bisa mengganti skripsi.
***