Bakdi Soemanto, M.Th. Krishdiana Putri
Danarto meluncurkan Setangkai Melati di Sayap Jibril. Sikap batin yang tak getir.
PADA dinding kamar tamu rumah budayawan Umar Kayam di Yogya tampak sebuah lukisan gaya dekoratif dari tinta cina dan kertas. Di situ Arjuna digambarkan sedang bertapa, seperti dalam lakon Arjuna Wiwaha. Menatapnya tenang-tenang, apalagi mencermatinya dalam jarak dekat, muncullah detail-detailnya yang sangat mengagumkan.
Rambut Arjuna tergerai gimbal -tetapi indah- hingga menyentuh tanah. Tubuhnya atletis, perut ramping dan kakinya merentang lebar tetapi kokoh memijak bumi, seperti kaki tokoh Setyaki pada wayang kulit gaya Yogyakarta. Tangannya bersilang, sekujur tubuhnya dililit pohonan merambat. Berapa abad sudah Arjuna bertapa?
Tetapi, kalau diperhatikan wajahnya, astaga! Kok kayak wajah Umar Kayam dalam posisi en-profile. Itulah lukisan karya Danarto yang dihadiahkan kepada “begawan” terkemuka itu. Lukisan itu memancarkan karisma luar biasa sang tokoh, juga kewaspadaannya, bahkan kesigapannya. Tapi tetap bisa memancing senyum: kok bisa, ya, Umar Kayam berlaku tapa sedahsyat itu?
Dalam karya itu, Danarto sepertinya bersastra dalam lukisan. Sebaliknya dengan kumpulan cerpen terbitan Bentang, Setangkai Melati di Sayap Jibril (2001), ini, kita seperti melihat lukisan dalam sastra. Bahasa kata, verbal, tidak hadir secara linear seperti nalurinya, melainkan menjadi ikon-ikon. Menikmati kumpulan ini, kami berdua bagaikan menatap kanvas yang menyajikan peristiwa.
Waktu yang dibutuhkan untuk membaca berubah menjadi ruang yang menyajikan berbagai citraan sekaligus. Seperti lukisan Arjuna itu, cerpen-cerpen Danarto ini juga sekaligus menyajikan keseriusan dan humor. Kumpulan ini, sebenarnya, adalah parodi kehidupan di sekeliling kita. Jika dalam cerpen ada kata-kata yang menyentuhkan alusi Islami, pada akhirnya adalah sebuah komentar tentang peristiwa di masyarakat.
Cerpen Setangkai Melati di Sayap Jibril (halaman 108-117) merupakan contoh menarik. Di sana ditemukan istilah-istilah Islami, misalnya sajadah, Jibril, Subhanallah, Kiai, dan masih banyak lagi, tetapi pada akhirnya sindiran halus mengarah ke sebuah rumah di Jalan Cendana, Jakarta. Sekuntum melati milik Jibril, yang jatuh di sajadah Kiai, ternyata sudah tersimpan di rumah orang paling berkuasa di era Orde Baru itu.
Cerpen Lempengan-lempengan Cahaya (halaman 11-28) menunjukkan sikap pembelaan kepada perjuangan Palestina. Namun, sikap batinnya tak getir. Lucunya tetap: kejengkelannya terhadap Israel diungkapkan begini, “Israel bukanlah Israel kalau ia tidak Israel” (halaman 17). Terkadang, kumpulan ini juga mengungkit masalah duit, yang senantiasa jadi rebutan, bahkan di antara seniman.
Kita toh tahu, kalau ada kegiatan seni dengan dana pemerintah, rayahan pun terjadi di antara para ahli seni itu. Ujung-ujungnya tampak berpola sama dengan yang terjadi di masyarakat luas. Hal ini tampak pada cerpen Simfoni Melompat Jendela (halaman 1-10). Seperti parodi lainnya dalam kumpulan ini, sindirannya gurih dan lucu.
Fransciscus Woltgang Amadeus Herbito, dirigen yang hebat sekaligus mencatut honor teman-teman pemain musik, lari lompat jendela meninggalkan gedung konser, sementara penonton masih bertepuk tangan mengaguminya. Cerpen-cerpen dalam kumpulan ini memang tak hanya parodi kehidupan sehari-hari, melainkan juga sederetan ledekan terhadap sastra, teori sastra, bahkan bahasa.
Dengan merdeka gagasan-gagasan Danarto dituangkannya dengan enak, tanpa alur urut. Alinea-alinea yang bermunculan terkadang tidak menunjukkan kesinambungan, sepertinya peristiwa yang disajikan umpah sekaligus. Kosakata Jawa juga seenaknya muncul tanpa menggubris siapa nanti pembacanya. Seakan Danarto “menantang”: pahami, atau tingkatkan daya intelek dan fantasimu….
Ada banyak kelebihan dalam cerpen ini. Misalnya, leluconnya berani, tetapi menyejukkan, menimbulkan tawa sekaligus merangsang permenungan. Kumpulan ini juga memberikan hiburan, tetapi hanya untuk mereka yang sudah dewasa dalam sastra. Kritikus yang masih terlalu muda dalam pengalaman akan tampak gagap menghadapinya.
Karena itu, kumpulan ini pantas mendapat perhatian dari para ahli sastra sebagai bahan studi yang lebih suntuk. Jika ada yang pantas disayangkan, “Pengantar Penyunting” (halamn vii-xi) tampaknya kurang berhasil memandu pembaca masuk ke dalam jagat pikir kumpulan cerpen ini. Barangkali karena ancang-ancangnya dengan pandangan yang terlalu serius, sehingga parodi yang menjadi “roh”-nya malahan lepas.
***
http://arsip.gatra.com/2001-03-24/majalah/artikel.php?pil=23&id=44817