Puisi-Puisi Abi N. Bayan

DI POSI-POSI

Tepat di ujung dermaga
kau seperti berdiri di bibir Talangame
saat kapal-kapal beranjak pergi

tapi pulau-pulau yang apung di mata
bukanlah Maitara, Moti, dan Tidore

begitu pun pasir putih yang membentang
yang kau saksikan air melompat
ke dadanya yang putih dan membiru,
kau tak pernah melihatnya di Gamalama
atau di sepanjang pantai Ngade, Sasa, dan Jambula.

Tepat di ujung dermaga
kau tak bisa lagi membayangkan apa-apa
setelah ombak yang bermalam-malam
kau temui dalam mimpi
berlari-lari menghajar ingatanmu yang bisoa.

Morotai, 2020.

JIKA BUKAN KARENA

Jika bukan karena
Tobelo Galela
Loloda Gane
Jailolo Weda
Patani Maba
Buli Ibu
dan nama-nama kecilku yang lain,
untuk apa kau panggil aku Halmahera?

Sedang kelapa yang bertahun-tahun menyusuiku
kini kehabisan asi, dan cengkeh yang sejak lama
menjadi akar tubuhku, kini menjadi paku dari duri
yang makin tajam menancap tubuh masa depanku.

Jika bukan karena
kelapa cengkeh
pala sagu dan coklat
jangan lagi kau panggil aku Halmahera,
aku terlalu lama menjadi Halmahera di bibirmu
menjadi Halmahare di hati, pikiran
dan tindak-tandukmu yang berlebihan selalu,
aku sudah cukup melayang
pada bayang yang terlalu lama kehilangan sayang.

Morotai, 2019.

SALA PAKU

Aku percaya
ombak tak mungkin bisa memindahkanmu
dari rijang-rijang ingatan ke batu-batu yang lain

meski di tengah pasang kau selalu berpindah
dari pelukan yang satu ke pelukan yang lain

sebab surut adalah ibu yang tak mungkin melepasmu
dari rijang-rijang ingatanku yang paling dahulu

saat laut kembali pulang dan aku menemukanmu
di sepanjang pantai kau peluk rijang itu erat-erat.

Morotai, 2020.

KITA PERNAH BERLABUH

Kita pernah berlabuh di Teru-teru
di tengah gelombang yang
menggetarkan tubuh koli-koli,
kita telah mencium bau kelapa
yang menguap dari lambung perahu

sementara di mata kita
air berloncatan dari bukit berbatu-batu
seperti harapan ayah yang berjatuhan
dari ujung pala, cengkeh, dan kelapa.

Kita juga pernah berlabuh di Igo
di tengah arus dan moku-moku
kita telah menyaksikan setabah apa
koli-koli dan perahu semang diadu ombak

sementara di mata
kita yang liat penuh rijang
sibilo melambai-lambai
seperti tangan seseorang
yang tak mengizinkan kita pergi.

Morotai, 2020.

MALUKU

Maluku malumu maluku
jangan buat jadi benalu
nanti cakalele jadi cedekele
nanti tide-tide jadi tede-tede
nanti soya-soya jadi foya-foya
nanti togal jadi togel
nanti sagu jadi dagu
nanti pupeda jadi padede
nanti pala jadi paha
nanti kelapa jadi celaka
nanti cengkeh jadi tengki
nanti ambon jadi amboi
nanti loloda jadi loda
nanti tidore jadi totofore
nanti ternate jadi tante-tante
nanti bacan jadi balacang
nanti jailolo jadi bilolo
nanti tobelo jadi totobe
nanti galela jadi gunene
nanti sanana jadi calana
nanti obi jadi ibo
nanti morotai jadi tai
nanti makean jadi makian
nanti sofifi jadi bifi
nanti halmahera jadi halmahare.

Morotai, 2019.

ITULAH SEBABNYA

Itulah sebabnya
aku tak dapat berpaling
dari birunya laut dan riangnya gelombang
sebab tiap-tiap aku menulis tentangmu
aku seperti berada di atas perahu
atau berada di puncak bukit
yang di bawahnya laut biru membentang
yang kusaksikan seperti tubuh ayah
yang kurasakan seperti tubuh ibu
dan perahu-perahu yang berlayar di atasnya
itu adalah aku.

Morotai, 2020.

HUJAN DI TENGAH GULITA

Hujan
adalah sentuhan
lembut tanganmu,
masih tetap kuhafal
detak dan geraknya

kepalaku sebidang
kebun yang tanamannya
kau rawat setiap waktu

sio mama,
saat hujan di tengah gulita
tak ada gelap karena kau pelita
dan aku tetap belia seperti dahulu

Morotai, 2020.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *