Pernahkah Aku Bertanya Kepadamu, Ma?
Ma, setelah berkali-kali subuh melepasmu
dari dinding-dinding bambu rumah itu,
dan pagi berulangkali mengantar ayah
ke bukit-bukit terjal, gelap, dan bersahaja
pernahkah aku bertanya kepadamu?
Berapa banyak keringat yang telah gugur
membasahi kebun, tanah liat, batu rijang,
hamparan pasir yang di atasnya hanya terik.
Begitu panas matahari mencium-memelukmu
begitu tajam hutan memeluk tubuh ayah.
Pernahkah, Ma?
Pernahkah aku bertanya kepadamu?
Atau kepada bika yang bermusim-musim dipapah ayah
dan saloi yang berhari-hari engkau papah
menempuh jalan-jalan berliku dan mengkhawatirkan,
saat pagi terbangun dan engkau buatkan aku teh manis,
asida, pisang goreng, cingkarong, lamed, dan pisang tumbu
agar aku dapat mengikuti pembelajaran
di sekolah dengan baik. Pernahkah, Ma?
Pernahkah aku bertanya kepadamu?
Atau kepada asap dapur yang berhari-hari menggarami matamu
demi mengisi perutku yang selalu keroncong.
Atau kepada doa-doa malammu yang selalu syahdu
melagukan air mata agar jalan-jalan terbuka dan mudah untukku.
Begitu panjang,
begitu dalam episode air mata itu.
tak dapat aku hitung dengan tangan
tak dapat aku ukur dengan bibir.
Pernahkah, Ma?
Pernakah aku bertanya kepadamu?
Atau kepada ayah
ketik terik di ubun-ubun
dalam kerumunan itu
wajah-wajah menyala-
tapi ayah tidak sedang menyalakan api
dan engkau begitu kuat, menahan gelombang
sedangkan kami hanyut dalam deras air mata.
Pernahkah, Ma?
Pernakah aku bertanya kepadamu?
Keringat dan air mata seribu tahun yang pernah gugur itu?
Morotai, 29 Januari 2019.
Mama
Ma
bila aku harus pulang
aku cuma ingin pulang
ke palungmu:
rahim yang melahirkanku
berulang-ulang.
Morotai, 2020.
Ke mana Kita akan Pulang
Akhirnya kita harus memilih
di rumah mana kita harus menetap
menghabiskan sisa hari yang semakin runcing
di negeri yang kucing-kucingnya menjadi tikus
yang tikus-tikusnya selalu bahagia menjadi gorango
kita akan berbahagia di sana
di mata orang-orang dan hewan-hewan
yang kehilangan tanah dan tempat tinggal
kita akan menjadi dua kekasih paling bahagia
di bawah jam-jam yang berputar
dan kemanusian satu demi satu menjadi hewan
kita akan bermandi
di sungai-sungai yang airnya merupa kopi susu
kita akan berenang
sambil menyelam
di lautan yang kehilangan ikan-ikan
kita akan berlarian
di atas hamparan pasir penuh jejak
dan ombak diam-diam menghapus jejak kita
kita akan tertidur di sana
tanpa mimpi sampai pagi
dan ketika terbangun
kita harus memilih
pulang atau menetap
Morotai, 2020.
Siapa Tahu Kita Berpisah Kemudian Bertemu
Siapa tahu kita bertemu kemudian berpisah
seperti cengkeh dan rantingnya
pala dan fulinya
atau kelapa dan dagingnya.
Kita bersumber dari ibu yang satu
kemudian tumbuh dan berbuah menjadi banyak
kemudian musim memetik atau membelah tubuh kita
kemudian kita pergi
membawa diri masing-masing kemudian kembali.
Siapa tahu kita berpisah kemudian bertemu
seperti ombak dan rijangnya
dayung dan perahunya
nahkoda dan kapalnya.
Kita berasal dari sumber yang satu
kemudian berpisah kemudian bertemu
kemudian pergi kemudian kembali
kemudian pergi kemudian lelah
dan satu-satu yang kita ingin
hanyalah pulang
kemudian tertidur tanpa mimpi.
Morotai, 2020.
Saatnya Kita Pulang
Saatnya kita pulang
kita ambil kembali
semua yang kita lemparkan ke udara
atau yang pernah kita titip di mulut angin
kita ambil semua
mimpi-mimpi yang kita ucapkan
kepada malam atau kepada matahari
bulan bintang-bintang
kita ambil semua
kenyataan-kenyatan yang kita beri kepada hujan
atau kepada laut yang berhari-hari mengirimkan ombak
kita ambil semua
yang selama ini kita percaya
hanyalah bayang-bayang
semoga kelak
tak ada lagi yang kembali
kepada kita.
Morotai, 2020.