PUISI-PUISI NEZAR PATRIA

Kompas, 2 Juli 2016

PELAJARAN GEOGRAFI

Sebelum memalingkan wajah
Kita memutar bola bumi

Mencari peta kenangan di sekolah
Belajar mengukur kebahagiaan remaja
Yang terkejut oleh ciuman pertama

Kita tahu dulu ia bukan hal sia-sia
Hingga kota-kota ini menjelma taman api
Melalap segala terlihat di Google Earth

Lalu sebuah zoom-in menjadi buram:
Mengapa kotamu legam
Dan kotaku dingin seperti logam?

Setelah memalingkan wajah
Kita adalah makhluk asing di bumi.

2016

MENGHADIRI PENGAJIAN RUMI

Alif.

Pada Alif aku belajar segala awal menuju Ya. Dia muncul suka-suka dari balik kitab, lalu mengabarkan sebelum ada cahaya, semesta adalah setangkup gelap. Ia tak takjub melihat bumi hanya sebutir debu, karena di kerjap mata kakinya terayun bima sakti. Begitulah kau ada dan tiada seperti Alif berjalan menuju Ya. Aku tak paham. Ia mungkin dongeng dari mereka yang kurang tidur siang. Rumi selalu mengantuk sewaktu aku bertanya soal rahasia-rahasia.

Ba.

Ada lelaki tambun berbaring di pematang. Ia Ba, perut bulatnya tak berhenti berguncang karena tertawa. Wajahnya selebar teratai di kolam air mata. Dia mengatakan aku tak sampai ke nirwana jika tergoda sebundel arsip bagaimana cara bergembira. Ia mengambil segulung kertas, lalu menulis: “Samsara adalah sumur daya cipta bagi segala termasuk menimba kata bahagia”.

Ta.

Aku duduk bermuka-muka bersama Ta, dan segera ia membuatku jadi skizofrenia. Segala yang melintas pada Ta akan terbelah dua: langit-bumi, air-tanah, bahagia-derita. Aku tak bisa membaca mana lebih baik, ke kanan atau kiri. Di kanan bersarang para pesolek pemuja diri. Aku lebih suka ke kiri karena begitulah Rumi mengajariku mengaji. Ia tak menghujah jika aku hilang arah. Ia hanya berbisik di antara benar dan salah ada sebuah savana, dan dia akan menemuiku di sana.

2015-2016

MEMBACA TANDA BACA

/1/
yang tak kita pahami dari tanda baca
dulu ada garis lurus ke hatimu
tak bersimpang dan menikung

/2/
di aortaku dia menderas
ke jantungmu dia menyerbu
begitu lama, dan terus begitu

/3/
ada sepotong hati di dalam laci
sebuah titik yang tak lagi berhenti
sesuatu yang bebas dari tanda petik

/4/
begitu lama dia membatu
begitu lama tak berwaktu
ke arahmu dia kembali menderu

/5/
Ia semacam cinta tanpa tanda seru

2016

____________
*) Nezar Patria, lahir di Sigli, 5 Oktober 1970. Lulus dari Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta (1997), dan program pasca sarjana untuk studi politik dan sejarah internasional di London School of Economics (LSE) pada 2007. Bekerja sebagai wartawan di sejumlah media, antara lain Majalah Berita Mingguan TEMPO (1999-2008), ikut mendirikan portal berita VIVA.coid (2008-2014), dan menjadi Wakil Pemimpin Redaksi CNNIndonesia.com (2014-2015). Kini bekerja di The Jakarta Post sebagai Digital Editor in Chief, dan tercatat sebagai Anggota Dewan Pers mewakili unsur wartawan. Selain menjadi wartawan, dia juga pembaca rakus karya sastra. Menulis sejumlah esai dan puisi, serta ikut menjadi wali sekolah di Komunitas Tikar Pandan, Banda Aceh.
https://puisikompas.wordpress.com/2016/07/07/puisi-nezar-patria-2/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *